Mongabay.co.id

Sawit Lahan Terlarang di Sulteng Mengalir ke Perusahaan Berkomitmen ‘Hijau’

 

 

 

 

 

Puluhan tahun lalu ratusan hektar lahan di Sulawesi Tengah itu berisi bermacam jenis tanaman. Beragam biodiversiti berumah di sana. Kini, lahan-lahan itu hanya berisi satu tanaman yakni sawit. Di Sulawesi Tengah, ada 178 bidang hak guna usaha (HGU) khusus perkebunan sawit 16 perusahaan dengan luasan 128.265 hektar. HGU itu tersebar di tujuh kabupaten, yaitu, Buol, Tolitoli, Donggala, Poso, Morowali, Morowali Utara dan Banggai.

Parahnya, ada kebun-kebun sawit yang merangsek masuk ke kawasan hutan termasuk lindung dan konservasi serta terus terjadi. Kehilangan tutupan hutan atau deforestasi, merupakan satu dampak yang muncul saat pembukaan kebun sawit ini. Itulah terjadi di Sulawesi Tengah dalam 20 tahun belakangan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, deforestasi netto Sulteng dalam dan di luar kawasan hutan sejak 2013-2020 mencapai 131.945.0 hektar. Rata-rata setiap tahun, ada 18.849.3 hektar hutan hilang.

Deforestasi cukup besar terjadi karena ada 331 izin usaha pertambangan dan perkebunan dengan luasan 1.382.711,43 hektar atau 22,60% dari 6.117.275 hektar luas daratan provinsi ini.

 

 

 

Berdasarkan data rantai pason dari Trase, rata-rata produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di Sulteng 553.469,94 ton per tahun terhitung sejak 2018-2021. Di balik produksi CPO cukup besar itu, ada kawasan hutan bahkan sampai kawasan konservasi jadi korban.

Identifikasi Yayasan Kompas Peduli Hutan (Komiu), dari 16 perusahaan sawit di Sulteng, ada tiga perusahaan merambah ke kawasan hutan termasuk kawasan konservasi selama dua dekade. Tiga perusahaan itu yakni PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS), PT Sinergi Perkebunan Nusantara (SPN), dan PT Pasangkayu.

Temuan itu berdasarkan hasil Citra Satelit Sentinel dengan membuat data time series hasil tumpang susun izin perkebunan dari tiga perusahaan itu.

Hasil identifikasi itu juga menunjukkan, sejak 2000-2020, deforestasi bruto dampak pembersihan lahan (land clearing) untuk perluasan perkebunan sawit dari tiga perusahaan itu mencapai 31.204 hektar dengan rata-rata 1.486 hektar per tahun. Deforestasi cukup masif itu, diduga secara ilegal oleh tiga perusahaan dengan berbagai modus.

Misal, PT KLS di Desa Sinorang, Kecamatan Batui Selatan, Banggai, Sulawesi Tengah. Perusahaan milik pengusaha lokal Murad Husain (alm) ini awalnya memiliki hak guna usaha (HGU) Nomor 15/HGU/1991 tertanggal 2 Oktober 1991 seluas 6.010 hektar.

 

Kebun sawit PT KLS yang masuk kawasan konservasi di Sulawesi Tengah. Foto: Yayasan Komiu

 

KLS juga memiliki izin usaha pengelolaan hasil hutan kayu hutan tanaman industri kepada PT Berkat Hutan Pusaka (BHP). Izin konsesi itu bernomor SK 146/Kpts-II/1996 seluas 13.400 hektar terbit 1 April 1996.

Awalnya, BHP merupakan perusahaan patungan antara KLS, pemilik 60% saham dan PT Inhutani. KLS mengakuisisi saham Inhutani, dan jadi pemilik tunggal. Sejak itulah, pembukaan lahan mulai dilakukan KLS dengan dana pinjaman dari pemerintah untuk menanam sengon dan akasia Rp11 miliar. Kenyataan lapangan, pengolahan HTI itu berubah jadi kebun sawit.

Anehnya, izin HTI itu berada di atas HGU yang sudah terbit sebelumnya. Pada 2005, terbit juga izin lokasi oleh Bupati Sudarto, kala itu kepada KLS guna perluasan perkebunan sawit. Izin lokasi itu bernomor SK 503/10.52/BPN tentang perpanjangan izin lokasi seluas 6.010 hektar.

Gifvents Lasimpo, Direktur Yayasan Komiu mengatakan, izin-izin itu diduga jadi alat pembukaan lahan pada hutan alam sampai ke kawasan konservasi, Suaka Margasatwa Bakiriang.

Mereka menemukan, deforestasi KLS dari aktivitas land clearing perluasan perkebunan sawit mencapai 19.971 hektar kurun 20 tahun dengan rata-rata 951 hektar pertahun.

“Data evaluasi dengan Citra Satelit Sentinel ini, kami lakukan pada Januari 2020, kami verifikasi di lokasi pada Februari 2022. Data-data ini kami sudah olah dengan sebenar-benarnya,” kata Gifvents, kepada Mongabay awal September lalu.

 

 

Komiu juga mencatat detail deforestasi berdasarkan jenis kawasan hutan oleh PT Berkat Hutan Pusaka (kini KLS) di beberapa wilayah yang sudah ditebang atau dikonversi jadi sawit di area penggunaan lain (APL) 11.403,50 hektar, hutan produksi 3.468,18 hektar. Kemudian, hutan produksi terbatas (HPT) 1.209,39 hektar, dan hutan lindung 112,83 hektar.

Suaka Margasatwa (SM) Bakiriang, tak luput dari deforestasi karena berubah jadi kebun sawit sekitar 3.532,46 hektar. Sekitar 1.077 hektar dari jumlah itu, merupakan pembukaan baru dari 2019-2021. Sekitar 931 hektar merupakan eksisting sawit, dan 1.524 hektar belum teridentifikasi pasti, tetapi diduga bisa jadi sawit muda.

SM Bakiriang yang awalnya memiliki luas 12.500, kini diciutkan jadi 12.309,80 hektar karena ada perambahan dan alih fungsi ke perkebunan sawit. Padahal, kawasan itu memiliki keanekaragaman jenis flora dan fauna yang cukup tinggi seperti maleo dan anoa. Juga memiliki tipe ekosistem hujan hutan dataran rendah, hutan pegunungan, dan hutan sekunder.

 

Kebun sawit PT Pasangkayu. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

***

April lalu, Mongabay mendatangi lokasi perkebunan sawit milik KLS di Kecamatan Batui Selatan, Banggai. Di lokasi, beberapa aktivitas di kawasan hutan lindung dan konservasi, termasuk pembukaan jalan kebun.

Ismail Nurdin, warga Desa Sinorang, Kecamata Batui Selatan, Banggai, mengatakan, masyarakat dimanfaatkan perusahaan untuk membuka lahan-lahan di kawasan konservasi buat jadi perkebunan sawit. Sejak 2002, lelaki 72 tahun ini bersama 25 petani lain diminta perusahaan membuat kelompok dan membuka lahan sekitar 50 hektar di tanah terlarang itu.

“Setiap orang, bertugas membuka dua hektar, satu hektar jadi kebun plasma, dan satu hektar kebun inti, yang nantinya akan diserahkan ke perusahaan KLS,” kata Ismail kepada Mongabay.

Mereka juga dijanjikan dapat modal dan bibit perusahaan untuk menanam sawit. Janji lain, mereka dibantu mendapatkan surat keterangan kepemilikan tanah (SKPT) dari pemerintah desa atas lahan yang sudah dibuka dalam kawasan konservasi.

Jangankan mendapatkan SKPT, mereka semua dibohongi dan lahan yang dibuka di kawasan konservasi itu jadi ‘milik’ KLS tanpa penyelesaian sesuai pembicaraan awal. Modus-modus inilah yang dibuat perusahaan agar masyarakat terkesan yang merambat kawasan konservasi.

“Sejak itu, perusahaan yang mengambil alih semua lahan yang kita buka saat itu. Kita tidak dapat apa-apa. Sejak itu juga, perusahaan menanam sawit di dalam kawasan konservasi yang katanya dilindungi itu,” kata Ismail.

Bukan hanya KLS, PT Sinergi Perkebunan Nusantara (SPN), di Desa Lembontonara, Kecamatan Mori Utara, Kabupaten Morowali Utara juga diduga melakukan hal sama.

Perusahaan pelat merah ini yang sebelumnya bernama PT Perkebunan Nusantara (PN) XIV memiliki 10 bidang HGU sekitar 15.903,12 hektar.

Berdasarkan identifikasi Yayasan Komiu, deforestasi dari operasi SPN untuk perluasan perkebunan sawit sekitar 7.616 hektar dalam dua 20 tahun dengan rata-rata 363 hektar per tahun. Ironisnya, 1.076,97 hektar sawit milik SPN terindikasi terdapat hutan primer, kawasan hutan, hingga konservasi.

Yayasan Komiu mencatat, perkebunan sawit SPN yang masuk dalam hutan primer di APL 8,87 hektar, kawasan hutan lindung 943,25 hektar, dan Taman Buru Landusa Tomata 68,43 hektar.

 

Pertengahan September lalu, Mongabay mendatangi perkebunan sawit SPN di hutan lindung Desa Kasingoli dan Taman Buru Landusa Tomata di Desa Tabarano, Morowali Utara. Di dua lokasi itu, beberapa aktivitas terjadi di dalam tanah terlarang, termasuk pemanenan dan pembukaan jalan kebun untuk kendaraan.

“SPN belum mendapatkan pelepasan kawasan hutan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” kata Gifvents.

Sementara Pasangkayu berada di antara dua provinsi–Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat–, merupakan anak perusahaan, PT Astra Agro Lestari Tbk dengan HGU 8.896 hektar. Ia terbagi di dua provinsi, yakni Sulawesi Barat 8.842,28 hektar, dan Sulawesi Tengah 53,72 hektar.

Berdasarkan hasil identifikasi Yayasan Komiu, deforestasi dari aktivitas pembersihan lahan Pasangkayu untuk perluasan perkebunan sawit mencapai 3.617 hektar dalam 20 tahun, dengan rata-rata 172 hektar per tahun. Data Komiu, HGU Pasangkayu di APL 8.222,54 hektar dan hutan lindung 664 hektar.

Perluasan perkebunan sawit Pasangkayu terjadi di hutan lindung di Desa Ngovi dan Mbulava, Kecamatan Rio Pakava, Donggala. Temuan Yayasan Komui, ternyata total eksisting sawit yang masuk hutan lindung di dua desa itu mencapai 2.139 hektar.

 

Kebun sawit PT SPN yang diduga masuk kawasan hutan lindung. Foto: Yayasan Komiu

 

Sementara, eksisting sawit tertanam di HGU teridentifikasi sudah 7.515 hektar, rinciannya, APL 7.300 hektar dan hutan lindung 215 hektar.

Gifvents bilang, kondisi itu belum bisa dipastikan masuk konsesi perusahaan atau tidak. Pasalnya, mereka menemukan Pasangkayu menawarkan model kemitraan dalam membangun perkebunan sawit di luar izin melalui dua perusahaan yaitu, PT Surya Raya Lestari I dan PT Surya Raya Lestari II.

Pola kemitraan antara perusahaan dengan petani ini menawarkan pinjaman melalui Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dengan mekanisme cicilan selama enam bulan untuk mengakses pupuk, bibit dengan dalih meningkatkan produktivitas sawit mandiri. Alhasil, Pasangkayu yang membeli semua sawit dari perkebunan itu untuk mereka kelola di pabriknya.

Pertengahan September lalu, Mongabay menelusuri perkebunan sawit Pasangkayu di Desa Ngovi dan Mbulava, Donggala. Di lokasi, beberapa aktivitas terlarang terjadi di dalam hutan lindung, termasuk pemanenan dan pembukaan jalan kebun untuk kelancaran kendaraan lewat.

“Semua sawit ini akan dibawa ke Pabrik Pasangkayu. Mereka menjadi pembeli utama tandan buah segar ini sejak lama,” kata seorang petani Ngovi di kebun sawit yang masuk hutan lindung.

Dia mengaku, tidak mengetahui kebun-kebun sawit itu masuk dalam hutan lindung.


Langgar aturan

Dari penelusuran dan temuan lapangan, KLS, SPN, dan Pasangkayu diduga kuat melanggar Undang-undang Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Dalam Pasal 17 ayat (2) dilarang keras perkebunan di dalam kawasan hutan.

Pasal sama juga melarang keras pengolahan, pembelian, pengangkutan, pemasaran, dan penjualan hasil kebun di dalam kawasan hutan. Bagi perusahaan atau korporasi yang melanggar aturan ini bisa kena pidana maupun administratif berupa paksaan pemerintah, uang paksa, atau pencabutan izin.

Khusus KLS, dan SPN, diduga kuat melanggar UU Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, karena beroperasi dalam kawasan konservasi.

April lalu, Mongabay mendatangi kantor KLS di Jalan Ahmad Yani, Kelurahan Soho, Kota Luwuk, Banggai, untuk menanyakan temuan-temuan itu. Hesti Tomagara, Bagian Legal KLS menyerahkan penjelasan kepada BKSDA Sulteng. Dia tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.

Pertengahan September lalu, Mongabay juga mendatangi kantor SPN di Desa Lembontonara, Kecamatan Mori Utara, Morowali Utara. Lusi Labulu, Bagian Legal SPN, tak menafikan temuan-temuan yang disampaikan. Dia mengaku perkebunan sawit perusahaan, ada yang masuk dalam kawasan hutan termasuk konservasi.

Dia bilang, permasalahan itu sudah pernah dibahas dalam internal perusahaan, bahkan perusahaan pernah ingin mengajukan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) ke kementerian terkait. Namun, katanya, sampai detik ini, belum ada tindak lanjut dari pimpinan perusahaan mengenai itu. SPN merupakan perusahaan pelat merah.

“Saya akan coba sampaikan kembali masalah ini ke pimpinan perusahaan agar bisa terurus secepatnya IPPKH,” kata Lusi kepada Mongabay.

Pertengahan September, Mongabay juga mendatangi Kantor Pasangkayu di Desa Gunung Sari, Kecamatan Pasangkayu, Mamuju Utara, Sulawesi Barat. Namun, perusahaan tak memberikan komentar soal ini dengan alasan banyak kesibukan dan tak berada di tempat.

“Semua pimpinan lagi sibuk dan ada di luar kantor, jadi tidak bisa konfirmasi soal masalah itu,” kata Iman Efendi, Satpam Pasangkayu. Dia juga tak memberikan kontak bagian humas yang bisa dikonfirmasi dengan alasan tak memiliki nomornya.

Selain itu, untuk mengkonfirmasi masalah kebun sawit dalam kawasan konservasi, Mongabay juga mendatangi Kantor BKSDA Sulteng. Hasmuni Hasmar, Kepala BKSDA Sulteng di Kota Palu, menolak memberikan tanggapan dengan alasan harus meminta izin dari kementerian.

Andi Sakri Takwa, Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE), Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah mengaku tidak mengetahui masalah itu. Dia bilang, belum mendapatkan informasi soal perusahaan sawit yang merambah kawasan hutan di Sulteng.

Meskipun ada informasi, katanya, secara struktural untuk penindakan ke perusahaan sawit yang merambah kawasan hutan adalah tugas Balai Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sulawesi.

Undang-undang Cipta Kerja, katanya, sudah membagi tugas secara rinci soal permasalah penindakan. Mereka hanya sebagai pemegang wilayah, tetapi tidak bisa sepenuhnya melakukan tindakan.

“Dengan UU Cipta Kerja kami seolah-olah tidak punya taring lagi untuk melakukan tindakan. Ilustrasinya, kami ini seperti wasit, tapi tidak memiliki sempritan,” kata Andi Sakri Takwa kepada Mongabay.

Subagyo, Kepala Seksi Wilayah II, Balai Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sulawesi mengatakan dari tiga perusahaan dalam tulisan ini, baru KLS yang dilaporkan merambah kawasan hutan termasuk kawasan konservasi. Sementara, belum ada laporan soal SPN dan Pasangkayu ke mereka.

Sejak 2017, kata Subagyo, mereka sudah investigasi dan pengecekan langsung pelanggaran KLS yang diduga merambah SM Bakiriang dan hutan lindung. Alhasil, KLS terbukti menanam sawit di tanah-tanah terlarang itu secara ilegal seluas 1.005 hektar.

Mereka juga menemukan ada 68 keluarga penggarap sawit plasma seluas 250 hektar untuk diserahkan ke KLS.

 

Pekerja sawit PT Pasangkayu. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Dengan temuan itu, kata Subagyo, Oktober 2019, KLS bersama BKSDA Sulteng membuat kesepakatan perjanjian untuk rehabilitasi atau restorasi dalam kawasan konservasi yang sudah bersawit. KLS juga bersedia memfasilitasi lapangan pekerjaan untuk petani plasma dan akan melakukan relokasi.

Dengan kesepakatan itu, KLS meminta soal perambahan di tanah terlarang itu selesai dengan non litigasi atau di luar jalur hukum. KLS siap dapat sanksi administrasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Subagyo bilang, BKSDA Sulteng memfasilitasi penyelesaian kesepakatan itu. “Saya belum mengetahui dan belum mendapatkan informasi terbaru terkait perkembangan kesepakatan yang dibuat KLS dan BKSDA Sulteng soal penyelesaian masalah itu,” katanya kepada Mongabay melalui sambungan telepon.

Untuk SPN dan Pasangkayu, Subagyo segera melakukan tindakan dan penelusuran sekaligus minta keterangan langsung kepada perusahaan terkait soal temuan-temuan dalam tulisan ini.

Mereka juga akan mengkonfirmasi masalah itu ke BKSDA Sulteng. Kalau dua perusahaan itu terbukti merambah kawasan hutan, penyelesaian berdasarkan UU Cipta Kerja.

Dalam UU itu, khusus pada Pasal 110A menjelaskan, diberikan waktu tiga tahun untuk mengurus persyaratan, pemberlakukan denda administrasi setelah tiga tahun. Ketentuan sanksi administrasi akan diatur dengan peraturan pemerintah. Pada Pasal 110B, kegiatan dalam kawasan hutan tanpa izin akan kena sanksi administrasi, pelanggaran oleh perseorangan dengan penguasaan lahan tanpa izin di bawah lima hektar, dikecualikan dari sanksi, dan penetapan sanksi diatur lebih lanjut.

“Dua pasal itu disebut sebagai pasal keterlanjuran dan perusahaan sawit yang merambah kawasan hutan hanya kena sanksi administrasi seperti membayar ganti rugi ke negara. Kalau perusahaan membuka perkebunan sawit di kawasan hutan sejak Januari 2021, bisa dipidanakan,” kata Subagyo

 

 

 

Mengalir ke perusahaan berlabel hijau

Dalam laporan Forest Peoples Programme, TuK Indonesia, Pusaka, Walhi Riau, Walhi Jambi, dan Walhi Sulawesi Tengah yang terbit 2021 mencatat, tiga perusahaan dalam tulisan ini ternyata jadi pemasok langsung maupun tak langsung ke enam perusahaan multinasional yang punya label ‘hijau’. Mereka memiliki komitmen keberlanjutan ataupun mengadopsi kebijakan nol deforestasi, tak ekspansi gambut, tak  eksploitasi (NDPE).

Perusahaan internasional itu yaitu; Unilever, PepsiCo, Nestle, AAK, Wilmar, dan Cargill. Komitmen keberlanjutan dari enam perusahaan multinasional itu guna memastikan sawit dan produk turunan berasal dari sumber bersih dan terlacak. Tanpa ada praktik perambahan hutan maupun eksploitasi di lahan gambut.

Namun, perusahaan itu masih menerima buah sawit dan turunan dari dalam kawasan hutan dari wilayah Sulteng hingga kini.

Dalam laporan itu, PT. KLS tercatat menjadi pemasok PepsiCo Unilever dan Wilmar. AAK dan Nestlé juga masuk daftar dalam rantai pasok sebagai pembeli akhir produk sawit KLS melalui Cargill dan ADM. Sementara, Pasangkayu dan SPN juga menjadi pemasok PepsiCo, Unilever, Cargill, dan Wilmar.

AAK dan Nestlé juga menjadi pembeli akhir produk sawit PT. Pasangkayu dan SPN melalui ICOF, Wilmar dan dan Cargill Malaysia.

Pada 26 September lalu, Mongabay menyurati enam perusahaan multinasional yang menjadi pembeli akhir dari tiga perusahaan yang memiliki kebun sawit di tanah terlarang berdasarkan temuan lapangan. Dari enam perusahaan itu, hanya tiga menjawab dan memberikan keterangan, yaitu, Unilever, AAK, dan Nestle.

Adisty Nilasari dari tim Komunikasi Unilever Indonesia mengatakan, Unilever tak memiliki hubungan atau kontrak bisnis langsung dengan perkebunan dan mill milik KLS,SPN dan Pasangkayu. Meski begitu, katanya, Unilever tetap akan menginvestigasi laporan ini untuk memastikan sawit dari pemasok sesuai standar dan komitmen mereka. “Serta sesuai Palm Oil Grievance Tracker.”

Unilever, katanya, menanggapi serius terhadap perusahaan dalam tulisan ini yang memiliki indikasi ketidakpatuhan pada rantai pasok perusahaan. Saat ini, kata Adisty, perusahaan memulai pemeriksaan perihal laporan ini dengan pemasok rekanan serta konsultan monitoring.

“Kebijakan Unilever People and Nature Policy secara eksplisit menyebutkan persyaratan dan ekspektasi kami terhadap pemasok-pemasok kami. UPNP mencakup prinsip-prinsip nol deforestasi, nol gambut, dan nol eksploitasi.”

 

Kebun sawit perusahaan PT Pasangkayu. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Selain itu, katanya, kebijakan Unilever untuk pengadaan yang bertanggung jawab atau responsible sourcing policy (RSP) juga menjabarkan persyaratan wajib harus dipatuhi semua pemasok langsung Unilever dalam menjalankan bisnis bertanggung jawab, sesuai hukum, dan dengan integritas.

“Kami bertahap menerapkan implementasi kebijakan-kebijakan kami di dalam kontrak dengan pemasok langsung. Kami mengharapkan mereka dapat menerapkan prinsip-prinsip ini ke rantai pasok mereka, memverifikasi kepatuhan, serta memperbaiki ketidakpatuhan sesuai dengan prosedur kami,” kata Adisty.

Caroline Westerik-Sikking, Global Manager Sustainable Oils AAK mengatakan, perusahaan mereka tak membeli CPO atau produk turunan dari tiga perusahaan dalam tulisan ini. Tiga perusahaan itu, katanya, hanya masuk dalam daftar pemasok dari perusahaan-perusahaan yang menjadi pemasok langsung AAK.

Meskipun demikian, katanya, kebijakan Grup AAK dan kode etik untuk pengadaan minyak nabati yang bertanggung jawab, berlaku untuk semua pemasok, baik langsung maupun tak langsung.

Karena itu, kata Caroline, AAK akan menangani temuan dugaan pelanggaran itu sesuai prosedur pengaduan. Mereka akan mengkonfirmasi masalah ini ke pemasok tingkat pertama dan penyedia layanan keberlanjutan untuk mendapatkan penjelasan serta bukti tentang dugaan pelanggaran ini.

Dia bilang, AAK akan mengambil tindakan tepat dengan pemasok untuk melibatkan mereka melalui rencana tindakan korektif atau mengeluarkan penangguhan.

“Karena perusahaan-perusahaan ini secara tak langsung terhubung ke AAK melalui perantara,” katanya, seraya bilang, beberapa perusahaan yang ditangguhkan AAK terdaftar pada laman pelacak keluhan perusahaan.

Senada dikatakan Nur Shilla Christianto, Global Senior Corporate Spokesperson Nestlé. Dia mengatakan, perusahaan menanggapi tuduhan terhadap tiga pabrik ini dengan serius.

Mereka akan menyelidiki dugaan tuduhan ini dengan melibatkan pemasok langsung. Katanya, temuan-temuan yang dipaparkan dalam tulisan ini akan membantu melakukan rencana aksi dan kegiatan remediasi.

“Sebagai bagian dari strategi positif hutan, kami tetap fokus bekerja di tingkat lanskap untuk membantu mengatasi akar penyebab tantangan pengadaan dalam rantai pasokan minyak sawit kami. Aspek kunci dari pendekatan kami adalah keterlibatan pemasok,” kata Nur melalui email kepada Mongabay.

Pada akhir 2021, Nestle klaim ada 91% minyak sawit mereka dinilai bebas deforestasi dan 71% diproduksi berkelanjutan.

Baru  pada 10 Oktober 2022, Wilmar menyampakan pernyataan mereka. Ravin Trapshah, Sustainability Communications Wilmar membenarkan kalau KLS merupakan pemasok Wilmar, tetapi tidak dua perusahaan yang lain, SPN dan Pasangkayu.

Wilmar, katanya, mempublikasikan daftar perusahaan pemasok ke kilang mereka sejak 2015. “Kami adalah perusahaan pertama yang melakukannya,” kata Trapshah, dalam jawaban yang diterima Mongabay, Senin (10/10/22) .

Pada 2021, ada laporan investigasi masuk ke Wilmar soal KLS. Namun, katanya, laporan berjudul “Demanding-Accountability (menuntut akuntabilitas)” kepada KLS, terkait isu sosial dan konflik lahan, tak ada soal deforestasi.

Dia sampaikan, Wilmar jadi industri pertama yang berkomitmen dengan kebijakan NDPE pada 5 Desember 2013 dan kemudian berlaku ke seluruh rantai pasok.

Pada 2015, katanya, pertama di industri ini perusahaan rilis Grievance Procedure . Dengan prosedur ini, kata Trapshah, memungkinkan setiap stakeholder menyampaikan keluhan kepada seluruh pihak di dalam rantai pasok Wilmar atau operasi mereka.

Pada 2019, katanya, perusahaan memperbarui kebijakan NDPE dengan memperkuat komitmen keberlanjutan terutama mengenai tanggal batas akhir (cut-off date) deforestasi, dan persyaratan rencana pemulihan. Juga, pendekatan suspend first (penangguhan pembelian dari pemasok), dan mekanisme keluhan yang lebih kuat.

Dia bilang, mekanisme keluhan mereka kini lebih ringkas membahas ketidakpatuhan melalui antara lain, pertama, adopsi pendekatan suspend first untuk pemasok di tingkat kelompok.

Kedua, penangguhan segera pembelian di level kelompok bagi pemasok yang terlibat dalam kasus yang terverifikasi dalam deforestasi atau pembangunan baru di lahan gambut, yang berlaku efektif mulai 1 Januari 2019.

Ketiga, pengakuan tentang penyediaan rencana pemulihan untuk ketidakpatuhan di masa lalu terkait deforestasi dan pengembangan gambut dengan mengadopsi tanggal batas konversi 31 Desember 2015.

Keempat, pengenalan serangkaian persyaratan minimum atau kriteria masuk kembali bagi pemasok yang ditangguhkan untuk kembali jadi bagian rantai pasok Wilmar.

Wilmar, katanya, juga pantau areal konservasi dan pemasok pakai satelit. Pada Desember 2013, kami meluncurkan Supplier Compliance Group Programme (SCGP).

“SGCP membantu kami mengindentifikasi deforestasi melalui pemantauan proaktif yang terhubung langsung dengan konsesi atau perusahaan yang bertanggung jawab terhadap mereka. Ini menyediakan peringatan terhadap deforestasi dan kebakaran, yang memungkinkan kami untuk mengonfirmasi dan menindaklanjuti ketidakpatuhan yang terjadi dalam rantai pasokan kami,” katanya, seraya bilang, begitu peringatan diterima, proses keluhan mulai.

Sampai Desember 2021, Wilmar klaim bisa memantau lebih 21,69 juta hektar meliputi 665 grup perusahaan induk, mewakili lebih 8.300 perkebunan, tersebar di Malaysia, Indonesia, dan Papua Nugini.

Para pembeli akhir produk sawit dari ketika perusahaan itu merupakan anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Dalam ketentuan lembaga yang mempromosikan sawit berlenajutan ini antara lain, melarang sawit-sawit dari kawasan hutan atau sawit-sawit yang dihasilkan dengan menyebabkan deforestasi.

M Windrawan Inantha, Deputy Director Market Transformation RSPO-Indonesia mengatakan, anggota RSPO tak boleh beroperasi di dalam kawasan hutan atau mendapat pasokan sawit dari kebun-kebun yang berada di kawasan hutan atau penyebab deforestasi. Kalau ada perusahaan melakukan itu, maka siapa saja bisa melaporkan ke RSPO dengan bukti-bukti kuat. Mereka bisa lakukan tindakan.

Dari ketiga perusahaan itu, SPN merupakan anggota RSPO. Meski begitu, pembeli akhir dari ketiga perusahaan perkebunan sawit—perusahaan-perusahaan multinasional itu— merupakan anggota RSPO.

“Bisa langsung dilaporkan ke kita berdasarkan temuan-temuan agar segera bisa ditindaklanjuti. Akan ada komite sendiri yang akan menangani masalah itu,” kata Windrawan kepada Mongabay, akhir September lalu.

Kalau SPN terbukti, katanya,  membuka kebun sawit di kawasan hutan, RSPO bisa memberikan sanksi, seperti memberhentikan sementara pekerjaan perusahaan.

 

Dia bilang, RSPO sudah banyak memberikan sanksi ke perusahaan sawit di Indonesia dengan masalah sama.

Timer Manurung, Ketua Yayasan Auriga Nusantara mengatakan, perusahaan-perusahaan sawit harus benar-benar bertanggungjawab dan tak menciptakan deforestasi.

Catatan Auriga, deforestasi didorong sawit sudah menurun selama hampir satu dekade terhitung 2013-2022. Sementara, produksi sawit mengalami kenaikan. Meski begitu, katanya, penurunan deforestasi di perkebunan sawit itu perlu penelitian lanjutan. Misal, kata Timer, deforestasi menurun di perkebunan sawit apakah hasil kerja semua pihak, atau hutan memang sudah habis.

Apalagi, hutan-hutan di Sulawesi, Maluku dan Papua, mulai dirambah perkebunan sawit. Hal itu membuktikan masih banyak hutan hingga mungkin terambah perkebunan sawit, meski ada penurunan deforestasi.

Selain itu, katanya, dari tanaman sawit di Indonesia, sekitar 20% di usia puncak panen, 30% usia tua, sisanya, usia muda.

Dia prediksi, produksi sawit bisa meningkat dua kali lipat dengan potensi kebun sawit yang sudah ada.

Timer bilang, dengan prediksi itu, bisa jadi akan ada pabrik-pabrik baru dibangun. Kondisi ini, katanya, bisa memicu deforestasi. Banyak pabrik, ada pembeli sawit hingga peluang buka perkebunan.

“Kalau kita lihat pabrik sawit saat ini, 90% di Indonesia Barat, deforestasi mengarah ke timur Indonesia dan sawit-sawit muda itu banyak di Indonesia Timur.”

Timer bilang, ada 2,4 juta hektar hutan alam di dalam izin sawit dan secara legal perusahaan bisa memanfaatkan hutan itu untuk jadi kebun sawit sesuai UU Cipta Kerja.

Yang bisa dilakukan saat ini, katanya, mendorong setiap perusahaan berkomitmen nol deforestasi. Perlu juga didorong, pemerintah pusat memberikan insentif kepada perusahaan, pemerintah daerah, pemerintah desa, hingga masyarakat untuk menjaga hutan alam.

“Pemerintah harus membuat regulasi perlindungan terhadap hutan alam tersisa agar mendorong komitmen perusahaan yang anti deforestasi.”

 

 

*******

(Keterangan: Ada revisi dengan tambahan pernyataan dari Wilmar pada 10 Oktober 2022. Redaksi).

 

 

Catatan:

 

*Seluruh informasi dalam artikel adalah hasil olah data terbuka dari website Badan Pusat Statistik Indonesia dengan laporan organisasi nirlaba yang fokus terhadap isu lingkungan hidup. Tautan dataset dapat dilihat di sini.

*Karya Sarjan Lahay ini merupakan hasil “Pelatihan Jurnalisme Data Investigasi 80 Jam untuk Jurnalis” yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dengan dukungan USAID dan Internews.

Exit mobile version