Mongabay.co.id

Sesajen buat Penghormatan Alam dan Kehidupan

 

 

 

 

Mardi, mengisahkan perjalanan hidup sebagai penjual bunga di Pasar Beringharjo, Yogyakarta. Sekitar 20 anak muda peserta tur wicara Festival Kesenian Yogyakarta menyimak serius cerita nenek 81 tahun asal Klaten itu.

“Nenek sudah 40 tahun jualan bunga. Di sini saya paling tua. Meski tidak banyak, tapi masih ada yang beli. Ada yang buat mengirim doa orang meninggal, sesajen, ronce pengantin,” katanya, medio September lalu. Tur ini angkat tema Ragam Keindahan Sesajen di Tanah Mataram.

Bunga hampir identik dengan sesajen dalam ragam budaya Jawa. Dalam seperangkat sesajen, selain bunga, ada empon-empon, hasil bumi seperti umbi-umbian dan sayuran, jajan pasar, wangi-wangian, buah-buahan, hingga tumpeng.

Mardi bilang, pembeli juga mencari bunga untuk mandi kembang buat menenangkan dan badan segar. Dia punya ramuan khusus bunga campuran rempah mandi.

“Kalau buat anak kecil namanya leson. Dari kata lesu. Buat orang dewasa namanya macan kerah. Kerah artinya berkelahi.”

Isinya berupa bunga mawar merah dan putih, kenanga, kanthil, melati, daun sirih, dan kayu secang. Ramuan masih bisa ditambah beras dan garam.

Iduk dan Icha dari Yogyakarta Heritage Trail yang memandu perjalanan lalu menerangkan manfaat mandi kembang dengan ramuan macan kerah itu. Dulu, para bangsawan keraton dan prajurit mandi ramuan herbal ini usai berperang.

Tujuannya, selain menghilangkan penat, mandi kembang juga dipercaya bisa meluruhkan pengaruh atau kekuatan jahat. Elemen air dan wewangian bisa memberi efek menenangkan dan menentramkan jiwa.

 

Mardi, penjual bunga di Pasar Bronghardjo. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Selain punya dimensi mistis, beberapa bunga diketahui bisa dimakan atau edible. Bunga mawar sedikit manis dan sepat seperti jambu air. Bunga melati sudah lama jadi campuran teh. Selain wangi, bunga kecil berwarna putih ini meninggalkan rasa pahit di lidah. Begitupun bunga kanthil. Bunga kenanga ada rasa mint di dalamnya.

Selepas dari pasar Beringharjo, peserta diajak menyusuri kawasan heritage di sekitar titik 0 kilometer Yogyakarta, menuju Alon-alon utara, berlanjut ke Pasar Ngasem. Dua pasar tua yang tak lepas dari sejarah perkembangan keraton Yogyakarta ini dulu dipenuhi pepohonan.

Beringharjo berasal dari kata beringin harjo yang berarti hutan beringin yang memberi kesejahteraan. Sementara nama Pasar Ngasem, karena dulu ada pohon asam besar.

Di Pasar Ngasem, peserta dikenalkan dengan jajan pasar yang melengkapi upacara adat sesajen. Dalam sesaji Jawa, biasa disertakan pitu atau tujuh rupa jajanan pasar. Pitu berarti pitulungan, atau pertolongan yang melambangkan permohonan agar mendapatkan pertolongan. Aneka jajanan pasar itu semua menggunakan bahan dan pewarna alami.

Perjalanan berakhir di Ndalem Kaneman, di kadipaten, Kecamatan Keraton, Yogyakarta.

Ndalem Kaneman jadi salah satu cagar budaya. Sejumlah kerabat keraton Yogyakarta menempati bangunan kuno ini dan masih melestarikan adat sesajen hingga kini.

 

Tumpeng dan kelengkapan sesaji. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Daur hidup

Noor Dwi Artyandari, duduk bersimpuh di lantai beranda dalam di Ndalem Kaneman, rumah besar yang didominasi warna putih dan hijau. Persis di sebelahnya terdapat aneka sesajen tradisi kerajaan Mataram.

Ada tumpeng, aneka bubur, jajan pasar, buah-buahan, dan bunga. Ndari, panggilan akrabnya merupakan buyut dari Pangeran Mangkubumi pada masa Sultan Hamengku Buwono ke enam. Kakek buyutnya adalah cikal bakal yang membangun Ndalem Kaneman.

“Masyarakat Jawa tradisional menandai setiap tahap kehidupannya dengan upacara tradisi. Di dalamnya termaktup harapan, pendidikan nilai-nilai luhur, dan doa,” kata perempuan yang punya keahlian menari dan merias pengantin ini.

Mulai perkawinan, kehamilan tujuh bulan, hari kelahiran, hingga kematian masyarakat Jawa selalu mengingatnya dengan upacara tertentu dilengkapi sesajen.

“Dalam tradisi Jawa yang namanya perayaan hari lahir bukan setahun sekali tapi tiap pasaran. Pasaran itu 35 hari sekali. Misal, lahir Senin Pon maka setiap Senin Pon selalu diperingati. Namanya wedalan atau wetonan,” kata perempuan yang juga antropolog itu.

Biasanya, sesajen wedalan berupa tumpeng gudangan yaitu nasi yang dibentuk mengerucut seperti gunung, dikelilingi aneka sayur sebagai lambang kemakmuran.

“Bentuk tumpeng mengerucut ke atas, simbol relasi manusia kepada Tuhan. Ada sayur bayam, diharapkan yang punya wedalan ayem atau nyaman. “Kecambah, diharapkan semrambah atau mampu membaca situasi dan menempatkan diri. Kacang panjang, agar berumur panjang. Kacang panjang ini tidak dipotong, tapi dililitkan,” katanya.

Pisang raja dan pisang pulut menjadi perlambang semoga yang sedang merayakan wedalan punya sifat seperti raja dan selalu luput dari marabahaya.

“Buah-buahan dan jajan pasar mengingatkan pada lingkungan dan apa-apa yang dihasilkan oleh bumi tempat tinggalnya. Jenang sengkolo, berwarna putih dan merah mengingatkan asal-usul manusia dari pertemuan benih laki-laki dan perempuan.”

Sementara kemenyan yang dibakar menjadi penanda relasi dengan sesama karena nudah tercium, sekaligus sebagai aroma terapi. Kalau seseorang mencium bau kemenyan akan segera mengetahui bahwa tetangganya sedang punya hajat tertentu.

“Sama dengan bunga-bungaan. Aroma bisa menenangkan. Saat mencium dan melihat bunga kita jadi tersentuh, jadi perhatian, bahwa ada sesuatu yang tidak biasa di situ.”

Ndari mengatakan, di lingkungan ndalem kaneman masih kerap menyelenggarakan sesajen. Terutama, saat punya kegiatan yang disebut sajen dalem dan saat perangkat gamelan dibunyikan untuk acara-cara khusus yang disebut sajen gamelan.

“Di Jawa ketika sajen sudah digunakan, ada tradisi ngrencak sajen. Sajen itu dimakan, karena sajen makanan. Penerjemahannya, secara sosial itu tindakan sedekah. Jadi, tidak ada yang terbuang sia-sia. Selain itu, semua bahan yang dipakai merupakan hasil bumi.”

Menurut pengamatan Ndari, meski mengalami pergeseran makna, secara kultural adat sesajen masih banyak ditemukan di luar keraton. Belakangan, sesajen yang berhubungan dengan ritus pribadi berupa daur kehidupan agak ditinggalkan.

“Sebelum Islam datang di tanah Jawa sudah ada Hindu Budha, yang berimpitan dengan kepercayaan animisme. Ada pemujaan dan penghargaan kepada dewa sebagai pencipta dan kekuatan alam.”

Lalu hadir wali yang menyebarkan agama Islam dengan cara akulturasi. “Sajen memperoleh pemaknaan yang baru.“

 

Pisang raja dan pisang pulut, jadi elemen dalam sesaji di Yogyakarta. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Jaga harmoni

Secara kultural, orang Jawa punya dua cara dalam berdoa, yaitu, doa yang diucapkan dan yang diwujudkan. Doa yang diwujudkan dalam perilaku, misal sesirih (tirakat), kungkum (berendam di sungai, telaga).

“Ada pula yang dirupakan dalam bentuk barang. Misal, ketika menolak hujan, dilakukan dengan cara mendirikan sapu gerang atau sapu yang sudah terkikis karena sering dipakai,” kata Rudy Wiratama, dosen sastra Jawa sekaligus peneliti di Pusat Studi Kebudayaan UGM.

Menurut arti kata, sesajen adalah segala sesuatu yang tersaji. Ada beberapa interpretasi mengenai ini. Bisa kepada danyang atau penunggu gaib suatu tempat, kuatan supranatural tertentu, atau yang bersifat ilahiah. Bisa juga kepada manusia atau makhluk.

Rudy setuju, dalam beberapa hal sesaji dalam budaya Jawa punya kemiripan dengan Bali. Misal, pada akhirnya sesaji juga dimakan satwa, seperti burung. Dengan begitu ada hubungan saling memberi dan menerima antara manusia dan satwa. Namun dia tidak setuju, dengan perilaku ngrayah sesaji atau berebut sesaji.

Terkait kultur bertani, orang Jawa mengenal sesaji wiwit yaitu kala petani mulai menanam padi.

Rudy mengatakan, sebenarnya sesaji wiwit yang di antaranya berisi makanan itu akan menarik tikus untuk lebih memilih makan sesajen daripada bibit padi yang baru ditanam. Ini salah satu kearifan lokal yang dipraktikkan petani agar benih padi bisa tumbuh melewati masa kritisnya.

“Sesaji juga menjadi penanda untuk dihormati, dilarang dilangkahi dan sebagainya. Ketika sawah tidak dilangkahi, tak dijamah, ular sawah jadi lebih bebas hidup di situ. Ketika ada ular sawah, populasi tikus jadi terjaga. Artinya, kontrol atas ekosistem berjalan.”

Selain pada saat tanam, petani di Jawa juga membuat sesaji kala menemukan masalah dengan tanaman pertanian, misal, karena karena hama, atau bencana. Saat panen, kembali petani membuat sesaji sebagai ungkapan syukur.

Tak lupa menyisakan padi sak gedheng atau satu ikat besar yang diletakkan di suatu tempat bernama petanen, yaitu sebuah ruang yang didedikasikan untuk Dewi Sri.

“Padi yang satu gedheng itu disebut padi babon. Sebelum orang bicara plasma nutfah, orang Jawa sudah memikirkan keberlangsungan varietas padi lokal yang memang terbukti telah berevolusi beratus bahkan beribu tahun serta cocok dengan cuaca, kondisi tanah dan sebagainya.”

 

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

 

Petani Jawa juga mengeramatkan beberapa satwa di sekitar lingkungannya. Masing-masing satwa memiliki dewa yang melindungi, misal, ular sawah yang merupakan titisan Dewi Sri. Lalu, burung emprit yang merupakan titisan batara Pritanjolo, burung sriti sebagai penjelmaan batara Sadana, dan tikus sebagai penjelmaan Jinada. Lalu, ada Putut Jantaka sebagai raksasa segala hama.

Dalam mitologi orang Jawa, katanya, hama tak bisa dimusnahkan, hanya bisa ditolak atau dipinggirkan. Jadi,

tugas manusia menjaga rantai makanan agar tak terputus, dan ekosistem tak rusak. “Yang terjadi sekarang, manusia mengambil peran semuanya. Yang makan ular ya manusia, yang makan tikus juga manusia. Akibatnya, kehidupan bumi terganggu, jadi salah mongso (musim), salah kedaden (kejadian).”

Begitu pula sesaji yang kerap ditemukan di dekat pohon besar. Sebenarnya itu bisa diterjemahkan sebagai upaya merawat keberlangsungan kehidupan.

“Pohon tinggi biasanya di dekatnya ada mata air. Akar menjadi reservoir air. Sesaji memberi pesan agar pohon jangan ditebang. Kalau ditebang maka reservoir jadi hilang dan sumber air bersih untuk keperluan hidup manusia jadi ikut hilang.”

Rudy menyayangkan, ada penafsiran sesajen kaku yang diikuti tindakan destrutif. Selain memicu disharmoni, juga berpotensi mengganggu ekosistem, dan ketidakseimbangan alam.

“Kalau di Jawa, tugas manusia adalah memayu hayuning bawono. Jadi, apa yang ada di dunia itu dijaga, dirawat, dan dikelola supaya harmonis.”

 

 

 

*******

Exit mobile version