Mongabay.co.id

Marselus Setia Mengawal Musik Bambu dan Kampung Adat Wogo

 

Desa Ratogesa, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT) terlihat mendung pagi itu. Matahari tak kunjung menampakan diri.

Suara musik bambu memecah keheningan kampung adat Wogo. Musik bambu itu dimainkan oleh Marselus Selu (64). Tidak hanya mahir meniup suling dan memainkan alat musik bambu, dia juga terampil membuat alat musik ini.

Marselus Selu (64) tak sungkan memperagakan cara memainkan alat musik tradisional dari bambu saat disambangi Mongabay Indonesia, akhir Juli 2022. Alat musik bambu ini merupakan ciri khas alat musik di Kabupaten Ngada.

Sejak usia 15 tahun, Marselus mulai mahir memainkan alat musik ini. Cekatan ia memperagakan cara memainkan musik bambu Foy Doa, Foy Pai, Seruling dan Bombardon

“Musik seruling bambu dahulu dimainkan sepanjang jalan untuk mengantarkan pasangan yang menikah ke gereja dan pulang ke kampung,” ungkapnya.

Foy Doa dan Foy Pai merupakan alat musik bambu menyerupai suling tapi kembar. Foy Doa bunyinya nyaring sedangkan Foy Pai menghasilkan nada rendah,suara bas.

Marselus bertutur, dahulu orang tua selalu memainkan alat musik ini saat subuh.Lagu gembira dan lagu sedih dilantunkan. Lagu yang dimainkan mencerminkan perasaan hati yang sedang dialami.

Alat musik bambu biasanya dimainkan 25 orang. Ada yang membawakan lagu, memainkan bariton 1, bariton 2, bombardon, serta penabuh gendang.

“Kalau dimainkan oleh banyak orang minimal 25 orang maka suara musik yang dihasilkan akan terdengar lebih bagus,” terangnya.

baca : Agustinus Sasundu, Mengkonservasi Bambu Dengan Musik

 

Marselus Selu, ketua kelompok musik bambu Satu Tekad berdiri di depan Rumah adat di kampung adat Wogo, Desa Ratogesa, Kabupaten Ngada, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Membuat dan Memainkan

Sejak remaja, kecintaan Merselus pada alat musik bambu sudah tumbuh. Dirinya mengaku takjub saat melihat orang-orang dewasa di kampung adat Wogo memainkan alat musik ini.

Ia pun meminta agar diajarkan namun dilarang. Alasannya, membuat alat musik bambu Foy Doa (seruling kembar) sangat sulit. Tak putus asa, dia menawarkan diri membeli alat musik tersebut.

“Awal tahun 70-an harganya Rp5, tapi saya tidak mempunyai uang. Akhirnya saya bekerja memikul 30 batang bambu milik warga dari kebun sejauh 1,5 meter dari kampung,” kenangnya.

Marselus pun berlatih otodidak cara memainkannya selama 5 bulan hingga mulai memahami. Rasa penasaran timbul dalam dirinya bagaimana bambu bisa menghasilkan suara yang indah.

Suling satu-satunya tersebut pun dibelah dengan pisau. Ia mempelajari cara membuatnya dengan menanyakan kepada warga kampung termasuk tempat dan waktu yang tepat untuk memotong bambu yang akan dipakai.

Hutan bambu di puncak bukit  sejauh 20 km dari kampung pun didaki saat musim kemarau menghampiri.

“Bambu dipotong saat musim kemarau dan bulan gelap supaya kadar airnya rendah dan menghindari kutu yang biasa menggerogoti bambu. Kalau bambunya tipis dan kadar airnya rendah maka suaranya akan nyaring saat ditiup,” terangnya.

Kini Marselus tidak hanya mahir memainkan, namun juga dalam membuat alat musik tradisional dari bambu ini.

Ia pun mendirikan kelompok musik bambu Satu Tekad di kampung adat tradisional Wogo. Kelompok musik bambu ini sering diminta pentas di berbagai wilayah di Kabupaten Ngada maupun di NTT dan Bali.

“Awal Juni lalu saat Pak Jokowi ke Ngada dan mampir ke kampung adat Wogo, kami memperdengarkan musik bambu ini. Senang rasanya bisa memainkan musik bambu di depan presiden dan rombongan,” ungkapnya.

Marselus juga selalu setia mengajarkan anak-anak sekolah di Kecamatan Golewa maupun di Desa Ratogesa agar mahir memainkan alat musik bambu. Ia megharapkan generasi muda tidak meninggalkan musik bambu ini.

baca juga : Jokowi Kunjungi Kampus Bambu di Ngada, Apa Saja Keunggulan Kampus Ini?

 

Marselus Selu, ketua kelompok musik bambu Satu Tekad di Desa Ratogesa, Kabupaten Ngada, Provinsi NTT memainkan alat musik tradisional dari bambu. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Kampung Adat Tradisional

Kampung adat tradisional Wogo merupakan sebuah kampung adat yang masih dipertahankan tradionalitasnya. Kampung adat warisan zaman megalitikum ini seluas 1,5 ha, persis di sebelah barat jalan raya utama.

Marselus menjabat sebagai Soma, ketua dalam salah sebuah rumah adat. Rumah adat miliknya bernama Sao Liko Woe, Woe Ngate.

Dia bertutur, kampung adat Wogo dipindahkan dari kampung lama sejak tahun 1935 dan setelah 10 tahun pindah baru diadakan pesta adat di kampung ini.

Setelah rumah-rumah adat dibangun, Mosa Wulu Laki Eko (orang-orang tua) mendirikan kantor adat di tengah kampung. Kantor ini semacam teras yang hanya berisi bebatuan ceper sebagai tempat untuk duduk (Lengi Jawa Feo Folo).

“Kantor adat ini dipergunakan untuk mendamaikan masalah dari setiap suku. Segala permasalahan diselesaikan di tempat ini,” terangnya.

Terdapat 32 rumah adat atau Sa’o di Kampung adat Wogo. Semua rumah adat terbuat dari bahan alam berupa rumah panggung. Atap memakai alang-alang dan bambu. Tiang rumah menggunakan kayu dan bambu.

Dikutip dari Wikipedia, ruangan rumah adat Ngada dibagi menjadi tiga bagian yakni Tedha Wewa, Tedha One, dan One. Tedha Wewa biasanya digunakan untuk kegiatan santai seperti para ibu menenun atau mengurus anak serta memiliki fungsi sebagai area untuk menerima tamu.

Tedha One merupakan ruang tengah yang digunakan sebagai tempat beristirahat anggota keluarga dan ruangan memasak. Juga digunakan untuk menggelar rapat maupun tempat berkumpulnya keluarga.

Sedangkan One merupakan ruang inti yang memiliki fungsi sebagai tempat ritual adat, kediaman leluhur, tempat tidur bagi kepala rumah tangga, dan tempat memasak.

Rumah adat dibangun menghadap ke Ngadhu dan Bagha. Ngadhu berbentuk rumah yang dimaknai sebagai simbol leluhur perempuan, sementara Bagha berbentuk seperti payung dengan atap alang-alang dan ijuk hitam yang dimaknai sebagai simbol leluhur laki-laki.

“Baru ada sembilan suku yang mempunyai lambang sementara tiga lainnya belum memilikinya. Setiap membangun rumah adat, semua warga bergotong royong bukan saja membangunnya namun menyiapkan dana,” terangnya.

baca juga : Retha, Perempuan Muda Pioner Pembibitan Bambu di Ngada

 

Bagha yang ada di tengah kampung adat Wogo, Desa Ratogesa, Kabupaten Ngada,Provinsi NTT.Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Mulai Tergerus

Jalan setapak di sekeliling kampung adat Wogo mulai disemen. Semua rumah memiliki listrik yang disuply oleh PLN melalui jaringan kabel kampung adat ini. Ada juga antena parabola tertanam di samping rumah.

Salah seorang pemandu wisata, Yulius Yoman mengeluhkan mulai tergerusnya keasrian kampung adat Wogo. Yulius mempersoalkan adanya tiang listrik yang ditanam di tengah kampung adat. Kabel listrik pun ditarik melintasi tengah kampung adat.

Marselus mengakui keluhan ini pun selalu disampaikan wisatawan asing yang berkunjung ke kampung adat ini. Dia katakan, ini hambatan besar dan tidak terpikirkan sebelumnya.

“Waktu itu tokoh-tokoh adat tidak berpikir ini menghambat sebab saat itu mereka sangat mendambakan adanya listrik,” ungkapnya.

Marselus sebutkan, pihaknya sudah mengusulkan ke Dinas Pariwisata dan DPRD Ngada namun belum ada tanggapan hingga kini.

Mereka minta agar tiang-tiang listrik di tengah kampung adat dipindahkan ke pinggir atau menggunakan kabel yang ditanam di dalam tanah supaya jangan mengganggu keaslian kampung adat.

Marselus berharap agar pemerintah memperhatikan kampung adat tradisional dengan memberikan pelatihan atau bantuan dana pembangunannya. Penyebabnya kata dia,material bangunan sering didatangkan dari luar Kabupaten Ngada.

Ia mencontohkan alang-alang dan beberapa kayu untuk tiang harus dibeli dari kabupaten tetangga di Pulau Flores. Ini yang menyebabkan biaya membangun sebuah rumah adat sangat besar.

“Kita tetap berkomitmen menjaga warisan adat,budaya dan alam sesuai pesan leluhur. Makanya kami selalu mengajak anak-anak muda untuk terlibat dalam setiap kegiatan adat budaya agar kelak mereka bisa mewarisinya ke genarasi selanjutnya,” pungkasnya.

 

Exit mobile version