Mongabay.co.id

Perubahan Bentang Picu Krisis Ekologi Kawasan Pantai

 

Hamdan terlihat duduk tertegun, Minggu sore di penghujung Juni 2022 lalu. Mengenakan celana pendek dan bertelanjang dada, lelaki 57 tahun itu terus menatap deburan ombak laut Jawa di pinggir pantai Desa Sukolilo, Kecamatan Bancar, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.

Sejenak ingatannya melompat, mengenang masa sekitar 20-30 tahun lalu. Tatkala sekelompok bocah yang tinggal di pinggir jalur pantura, Jalan Raya Daendels itu bermain sepak bola di pinggir pantai. “Sekarang ya sudah tidak bisa, wong sudah tertutup air laut,” kata lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan itu.

Alih-alih bermain sepak bola. Hempasan ombak itu terus menepi, menenggelamkan hamparan pasir putih yang dulunya menjadi area bermain anak-anak hingga mendekati Jalur Pantura. Dengan badan jalan beraspal pun, jaraknya kini tinggal sekitar dua meter.

Tidak hanya itu. Gempuran ombak yang diikuti abrasi itu juga juga mulai menghancurkan deretan bangunan yang ada di pinggir pantai. Beberapa di antaranya bahkan sudah terlihat kosong tanpa penghuni. Lengkap dengan tulisan ‘dijual’ pada yang ditempel di dinding bangunan. “Tapi siapa yang mau beli, wong belakangnya juga dihajar ombak terus,” katanya.

Hamdan mengaku bersyukur karena rumahnya yang ada di sisi selatan jalur pantura tak sampai terkena dampak abrasi. Tap, ia tak sampai kapan. Sebab, sepanjang yang ia amati, titik akhir gelombang terus menepi.

baca : Pantura Jawa Terancam Karam

 

Hamdan, warga Desa Sukolilo, Kecamatan Bancar, Kabupaten Tuban memandangi laut Jawa di pinggir jalur Pantura yang terancam abrasi. Foto : A Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Keseimbangan Tak Terjaga

Peneliti Senior Laboratorium Infrastruktur Pantai dan Pelabuhan Institute Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, Haryo Dwito Armono mengakui, abrasi menjadi persoalan paling pelik yang mendera beberapa wilayah pesisir Pulau Jawa saat ini. Menurutnya, hal itu terjadi lantaran kegiatan pemanfaatan yang kurang memperhatikan keseimbangan alam kawasan pesisir.

Haryo bilang, alam sebenarnya memiliki mekanismenya sendiri untuk memperbaiki diri. Akan tetapi, massifnya kegiatan manusia di sekitar pantai, seperti pembangunan dermaga, pelabuhan, hingga permukiman mendegradasi kemampuan tersebut. “Pada akhirnya, manusia pula yang membuat kondisi laut tidak stabil,” lanjutnya.

Ia menjelaskan, pantai di Indonesia memiliki karakter dan tipologi yang berbeda. Sebagian berupa pasir, tetapi sebagian lagi berupa lumpur atau bahkan tebing batu karang. Pun demikian dengan vegetasinya. Beberapa pantai dipenuhi vegetasi mangrove yang rapat. Tetapi, sebagian lainnya tidak.

Pantai dengan struktur yang lebih kuat, abrasi yang terjadi biasanya berlangsung lebih lama. Misalnya di pantai selatan (Pansela) Jawa yang hampir semuanya berstruktur karang. Hal itu berbeda dengan Pantai Utara (Pantura) Jawa yang didominasi lumpur dan pasir sehingga lebih rentan terjadi abrasi.

Haryo katakan, abrasi atau pengikisan daratan pantai adalah berpindahnya daratan pantai ke tempat lain. Itu terjadi karena terjangan ombak, angin atau penyebab lain. Nah, bagaimana intensitas perpindahan material itu, menurut Haryo, sangat dipengaruhi oleh kondisi sekitar.

“Pada pantai dengan struktur daratan berupa karang bukan berarti tidak terjadi pengikisan. Tetap saja terjadi, tetapi terjadi, cuma waktunya lebih lama,” lanjut Haryo. Namun, fenomena itu sejatinya hal yang biasa. Karena kemampuannya untuk mengatur diri sendiri, material yang pindah tempat itu akan kembali lagi pada kesempatan yang lain.

baca : Abrasi di Jawa Tengah Capai 7.957 Hektar

 

Deretan bangunan di pinggir jalur Pantura Desa Sukolilo, Kecamatan Bancar, Kabupaten Tuban yang ditinggal pemiliknya karena terancam abrasi. Foto : A Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Haryo bilang, saat musim angin barat, pasir-pasir pantai akan berpindah ke timur karena mendapat dorongan dari barat. Begitu juga sebaliknya. Ketika angin timur mulai berembus, material pasir yang sebelumnya berpindah, akan kembali ke barat. “Jadi itu mekanisme alam ya. Kalau kondisinya normal, akan bolak-balik seperti itu,” terangya.

Selain barat ke timur dan sebaliknya, pada kesempatan yang lain, perpindahan material juga bisa terjadi turun naik. Bergerak dari pantai ke laut dan sebaliknya. Ketika terjadi gelombang besar, seperti saat musim barat, gelombang laut akan mengikis pantai sedikit demi sedikit. Terutama yang struktur pantainya berupa material pasir halus.

Dikatakan Haryo, material tersebut akan terbawa gelombang hingga ke tengah laut. Akan tetapi, saat gelombang mengecil seiring dengan beralihnya musim timur, sedimen tersebut akan kembali terbawa ke pantai. “Itu sering terjadi seperti itu. Pada musim tertentu pasirnya hilang, musim berikutnya (pasir) kembali lagi,” ungkapnya.

Akan tetapi, penggambaran itu terjadi bila situasi itu dalam kondisi normal. Tidak ada intervensi manusia yang membuat bentang alam pesisir berubah. Masalahnya, kata Haryo, saat ini, hampir semua wilayah pesisir mengalami banyak perubahan bentang.

Maraknya kegiatan manusia, seperti permukiman, tambang pasir, reklamasi, dermaga, hingga tambak membuat topografi setempat berubah. Situasi itu pula yang pada akhirnya mempengaruhi keseimbangan pesisir dalam menata dirinya. Keseimbangan alam berupa pasir yang datang dan pergi itu menjadi terganggu.

“Sehingga ketika dia mau kembali, tidak bisa karena terhalang oleh bangunan tadi. Atau sedimen mau kembali juga tidak bisa karena ada bangunan baru. Bangunan baru ini yang mempengaruhi arah angin sehingga pasir yang mau kembali tidak bisa,” jelas Haryo. Disitulah pentingnya menjaga bentang kawasan pesisir.

baca juga : Kala Penurunan Tanah Picu Banjir di Pantura Jawa

 

Sejumlah bocah bermain di antara puing bangunan sekolah madrasah di Desa Wates, Kabupaten Pasuruan yang rusak diterjang gelombang air laut. Foto : A Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Dijelaskan Haryo, perubahan bentang akan mempengaruhi gelombang laut. Titik pecah gelombang yang harusnya berada di tengah laut mengalami pergeseran. Dengan kata lain, sebelum mencapai pantai, gelombang laut biasanya akan pecah di tengah laut dengan kedalaman tertentu.

Gelombang laut, kata Haryo, memiliki energi yang sangat besar. Karena itu, pergeseran itu terjadi di garis pantai, otomatis akan menggerus daratan. “Jadi, pantai-pantai yang sebelumnya aman dari erosi, bisa saja akhirnya mengalami abrasi karena perubahan bentang di tepi pantainya,” katanya.

Massifnya abrasi di wilayah pesisir Jawa Tengah, seperti Pekalongan, Semarang dan Demak merupakan konsekuesi dari berubahnya bentang alam setempat. Banyak kegiatan manusia yang kurang memperhatikan keseimbangan bentang. Seperti pembukaan tambak, hingga pembangunan dermaga Tanjung Mas.

Ia mengatakan, pada pembangunan dermaga Tanjung Mas misalnya, dampaknya tidak hanya terjadi pada radius 1-2 kilometer. Tetapi, bisa mencapai hingga puluhan kilometer. Hal itu merujuk pada istilah apa yang disebutnya coastel cell, semua saling berkaitan. “Makanya dampaknya panjang, bisa puluhan kilometer. Tidak pendek. Analoginya seperti daerah aliran sungai (DAS). Kalau hulunya tercemar, sampai bawah juga tercemar. Saling mempengaruhi, tidak bisa berdiri sendiri,” ungkapnya.

Haryo pun tak mengelak, meningkatnya permukaan air laut sebagai imbas dari mencairnya es di kutup turut memberi pengaruh. Akan tetapi, menurutnya tidak banyak. Malahan, berdasar tren yang ia amati, dalam 10 tahun terakhir, kenaikan hanya terjadi sekitar 10 sentimeter. Bila dirata-rata, 2 sentimeter setiap tahun. Beberapa laporan bahkan menyebut hanya 1 milimeter per tahun.

“Peningkatan muka laut tetap ada dampaknya, meski kecil dan memerlukan tempo yang lama. Sementara fakta yang terjadi, abrasi di Semarang dan Demak itu berlangsung dalam waktu singkat,” katanya. Dengan kata lain, aktivitas manusia-lah yang berkontribusi lebih besar terhadap ancaman wilayah pesisir Pantura.

baca juga : Nasib Pesisir Demak, Hadapi Sampah Plastik, Kerusakan Mangrove dan Abrasi

 

Akses jalan menuju Dusun Mondoliko, Desa Bedono, Kabupaten Demak, Jawa Tengah yang rusak terkena abrasi. Foto : A Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Koridor Ekonomi

Ulasan Tubagus Solihuddin dkk, sebagaimana dibukukan Badan Riset dan Sumberdaya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSMKP) terbitan 2019 lalu mengonfirmasi pernyataan Haryo. Menurut Solehuddin, wilayah Pantura Jawa banyak mengalami perkembangan dan eksploitasi pemanfaatan lahan. Bahkan, itu terjadi sejak zaman kolonial Belanda hingga kemerdekaan.

“Karena itu, kawasan Pantura Jawa saat ini telah berkembang pesat sebagai kawasan industri, administrasi pemerintahan, pertanian, perikanan, pelabuhan, permukiman, fasilitas umum, jalan, dan pariwisata bahari,” tulis Solihuddin dalam karyanya berjudul Pantura Jawa: Gambaran Potensi dan Tantangan Pengelolaannya itu.

Pantai Utara (Pantura) Jawa merupakan jalur yang sangat penting untuk distribusi barang dan jasa untuk wilayah pulau Jawa. Dalam masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011 – 2025, Pantura Jawa merupakan salah satu jalur lintas utama koridor perekonomian nasional.

Konsekuensi dari perkembangan ini adalah berubahnya tata guna lahan dan menurunnya kondisi lingkungan pesisir dan laut Pantura Jawa. Menurut Solehuddin, bila usaha pemanfaatan itu tidak memperhatikan keseimbangan lingkungan, ia khawatir justru berpotensi menghambat hasil pembangunan. Bahkan membahayakan kehidupan masyarakat pesisir itu sendiri.

Faktanya, empat dari enam provinsi di Pulau Jawa memiliki ibukota di wilayah Pantura Jawa. Sebagai ibukota tentunya akan berfungsi sebagai pusat administrasi pemerintahan dan kegiatan ekonomi lainnya. Keempat provinsi itu antara lain Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Demikian juga, beberapa infrastruktur dan pelindung pantai seperti dermaga, pelabuhan, jeti, tembok laut (sea wall), tanggul laut (sea dike), groin, pemecah gelombang lepas pantai (detached breakwater), rip-rap (tumpukan batu/beton), dan reklamasi menjadi bagian dari karakteristik Pantura Jawa saat ini.

baca juga : Ketika Rob Rendam Pesisir Utara Jawa Tengah

 

Rumah berada di tengah ‘laut’ dampak abrasi. Foto: A.Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Secara geologi, kawasan Pantura Jawa umumnya tersusun oleh sedimen sungai dan pantai berumur Holosen yang ditutupi oleh sedimen resen dengan permukaan yang relatif datar. Sedimen tersebut umumnya belum terkonsolidasikan dengan baik, tersebar luas pada dataran rendah aluvial hingga dataran rendah pantai (Moechtar dkk., 2013).

Karakteristik Pantura Jawa sebagian besar merupakan pantai berpasir dan pantai berelief rendah (lowland coast) yang membentuk morfologi delta, estuari, rawa (swamp), lahan basah (salt marshes), dataran lumpur pasut (tidal mudflat), dan mangrove di sepanjang pantai. Hanya sebagian kecil saja berupa pantai bertebing dan berbatu.

Karakteristik Pantura Jawa bertolak belakang dengan Pantai Selatan (Pansela) Jawa dari sisi elevasi, morfologi, dinamika pesisir, dan karakteristik. Elevasi Pantura Jawa relatif rendah dan datar dengan beberapa morfologi teluk dan tanjung, garis pantai melengkung dengan dinamika perubahan yang cepat, sebagian besar terdiri dari endapan sungai aluvial, dan energi gelombang yang relatif lemah.

Sedangkan Pansela Jawa sebagian besar berbukit dan berbatu, dengan tebing laut dan pantai berlekuk, dasar laut bawah curam, garis pantai relatif lurus, dan ombak yang kuat (Ongkosongo, 1979).

Verstappen (1953), sebagaimana dikutip Solihuddin menyebutkan bahwa seluruh dataran aluvial Pantura Jawa telah terbentuk dalam 5.000 tahun terakhir atau mid-Holosen. Hipotesis tersebut didasarkan pada ekstrapolasi data evolusi garis pantai yang merupakan garis pantai tertua dalam sejarah geomorfologi dataran pesisir Pulau Jawa

 

Upaya Restorasi

Peneliti Pesisir asal ITS, Haryo mengatakan, di tengah besarnya tekanan kawasan pesisir, restorasi menjadi hal yang mutlak untuk dilakukan. Misalnya, dengan menanam mangrove guna menangkap sedimen. Akan tetapi, tidak semua pantai di Indonesia cocok dengan mangrove. Karena itu, restorasi yang dilakukan juga harus disesuaikan dengan karakter pantai dimaksud.

Selain mangrove, beberapa vegetasi yang memungkinkan untuk ditanam adalah cemara laut. Sebab, selain menahan sedimen, tanaman ini juga berfungsi untuk menahan angina. Pasir-pasir lembut yang terbawa angin, akan tertahan oleh daun cemara. “Mungkin tidak banyak. Tetapi setidaknya mengurangi. Selain itu, gelombang itu ada karena angin. Jadi kalau ditahan juga gelombangnya akan berkurang,” jelas Haryo

Menurut Haryo, untuk mengantisipasi terjadinya abrasi bergantung kondisi pantainya. Pantai dengan struktur tanah berupa lumpur dinilainya lebih cepat karena lebih mudah ditanami mangrove. Akan tetapi, tidak demikian dengan pantai berpasir. Ia akan banyak memerlukan waktu karena material pasirnya yang hilang.

Yang harus dilakukan, kata dia, adalah mengembalikan bentang seperti semula untuk mengembalikan kemampuan pesisir me-recovery diri. Membangun sabuk pantai seperti halnya di Tegal atau Pekalongan bisa menjadi opsi. Gunanya, menahan pasir supaya tidak terbawa ke tangah laut.

 

Seorang warga berada di rumahnya yang terancam abrasi di Desa Cemara Jaya, Kabupaten Karawang, Jabar. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

Beberapa model sabuk pantai juga dapat berupa tanaman. Atau terumbu buatan yang ditujukan untuk mengembalikan pasir yang hilang. Bukan ikan. Bentuknya seperti bantal guling memanjang, sejajar dengan garis pantai. “Kalau mau yang tidak mahal ya bagaimana kegiatan yang berpotensi mengubang bentang pantai itu dikurangi,” jelas Haryo.

Dikatakannya, Pemerintah sebenarnya telah memiliki regulasi yang cukup bagaimana melindungi kawasan pantai dan pesisir. Akan tetapi, acapkali hal itu diabaikan. Kegiatan pembangunan yang berlangsung kerapkali kurang menghitung secara detail dampak turunannya. Seperti halnya yang terjadi pada proyek pembangunan dermaga Tanjung Mas, Semarang.

Menurut Haryo, dampak dari pembangunan itu tidak hanya terjadi pada 100-200 meter garis pantai di sekitar lokasi. Tetapi memanjang hingga beberapa kilometer di kanan-kiri proyek. Haryo sendiri kini sedang melakukan penelitian terkait hilang hamparan pasir di pantai Telangop, Madura.

Dulu, kata dia, pantai ini cukup dikenal berkat panormanya yang menawan. Akan tetapi, hanya dalam 2-3 tahun belakangan ini, pasir putih di wilayah setempat hilang. “Kenapa bisa hilang, ini yang masih kami kaji. Karena di sekitar lokasi juga tidak ada tambang atau hunian yang berpotensi mengubah arah angin,” jelasnya. (*)

 

Exit mobile version