Mongabay.co.id

Cerita Pangan Sagu dari Maluku Utara

 

 

 

 

 

Pagi itu, Om Nyong, sudah menuju tempat pegolahan sagu, tak jauh dari Kampung Bukumatiti, Kecamatan Jailolo,   Halmaera Barat, Maluku Utara, 11 Oktober lalu.

Pria berusia 57 tahun bernama lengkap Matheus Baura ini setiap pagi ke tempat pengolahan sagu dan baru pulang sore jelang malam.

Nyong, petani dan pengolah sagu ini satu di antara 1.00-an lebih warga yang jadikan sagu sebagai sumber pangan dan mata pencarian. Dia dibantu beberapa rekan kelompok dengan sistem bagi hasil.

Sampai di tempat penggilingan, Nyong menunggu sebentar rekan sesama kelompok pengolah sagu. “Jika datang tiga orang kita bagi tugas. Ada yang tebang dan potong batang sagu jadi beberapa bagian. Ada juga yang mengangkut batang sagu yang telah dipotong-potong. Juga ada yang bertugas membelah dan membersihkan pokok sagu dari korteks atau kulitnya,” kata Nyong.

Setelah dipotong , batang sagu belah lagi jadi bagian lebih kecil dan dibersihkan. Kemudian, masukkan ke mesin penggilingan dan penghalusan untuk akhirnya dapatkan tepung sagu.

Tanaman sagu di desa ini terbilang banyak dan jadi kebutuhan pangan sehari- hari tetapi hanya sedikit yang mengolahnya.

Dia cerita, dalam satu batang sagu setinggi mencapai 20 meter, bisa menghasilkan pati sagu sampai 10 karung. Satu karung, katanya, berisi 25 kg dengan harga Rp350.000-Rp375.000.

“Awalnya, tepung sagu per karung Rp350.000, tapi seiring kenaikan harga bahan pokok akibat kenaikan BBM (bahan bakar minyak), naik jadi Rp375.000.”

Berarti, katanya, sagu sangat menjanjikan baik untuk pangan maupun peningkatan ekonomi keluarga.

Selain sagu, warga Bukumatiti juga punya kebun kelapa, cengkih dan pala. Dari berkebun, mereka sudah bisa memenuhi keperluan hidup.

Dulu, masyarakat penuhi pangan pokok dari sagu, kini mulai berkurang, sebagian penuhi dengan beras.

Nyong cerita, sekitar 1980- an, bahan pangan utama mereka adalah sagu. Kalau ada acara kawinan atau pesta apapun, mereka pasti pergi mengolah sagu terlebih dahulu.

“Tapi saat ini pangan digantikan beras, sagu mulai ditinggalkan.”

 

Batang sagu yang sudah dipotong siap proses jadi pati sagu. Foto: Opan Dahlan

 

Kebangkitan sagu

Meski begitu, katanya, dia senang terjadi kebangkitan gunakan sagu. Masyarakat, katanya, mulai menghidupkan lagi popeda—makanan dari sagu– dan pemanfaatan sagu makin tinggi. Kini, katanya, dalam berbagai acara, popeda selalu menghiasi meja makan.

“Prospeknya ke depan makin menjanjikan. Empat tahun ini saya mengolah sagu dan jual sangat laku. Tapi agak mengkhwatirkan karena pengolah sagu sangat sedikit,”

Pada 1980-an, petani pengolah sagu banyak. “Sekarang tersisa sedikit.”

Dia juga cerita awal usahanya. Sekira empat tahun lalu   ada mesin sagu bekas dia beli dari warga sekampung sekitar Rp25 juta.

“Saya mulai olah satu batang sagu. Dipotong -potong batang sekitar 60 centimeter. Satu batang sagu dapat 30 potong kecil, hasilkan 10 karung,” katanya, seraya bilang harga per karung Rp350.000.

Dalam seminggu bisa dia olah tiga batang sagu, sebulan sekitar ada 12 batang.   Kalau satu batang hasilkan 10 karung sagu, berarti sekitar Rp5 juta.

“Jika dikalikan 12 berarti dalam sebulan uang dari hasil olah sagu rata- rata Rp50-Rp60 juta. Ini pendapatan kotor belum dikurangi operasional tiga karung.”

Hasil dari sagu lumayan.

Nyong pun mulai mengajak warga desa ikut mengolah sagu karena permintaan pasar tinggi. Bahkan, kini Nyong kelimpungan penuhi permintaan yang terus berdatangan dari luar Halmahera Barat.

“Saya katakan cukup lumayan usaha sagu ini. Setelah empat tahun bisa beli mobil pick up Rp135 juta,” katanya.

 

Sagu basah sia[ kemas dalam karung. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, kalau mau bandingkan hasil sagu dengan kelapa, jauh beda. “Saya baru sepekan lalu mengolah satu ton kopra Rp8 juta. Saya bandingkan dengan sagu, lebih baik mengolah sagu. Saya ajak beberapa teman mengolah sagu.”

Alat pengolahannya, kata Nyong, dengan merakit dari mesin bekas traktor tangan, drum dan ban bekas mobil yang didesain sedemikian rupa hingga jadi mesin pengolahan.

Pengalaman serupa Nyong ceritakan di diskusi daring Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam Penguatan Perhutanan Sosial atau Strengthening of Social Forestry (SSF) Project   kerjasama hibah Global Environment Facility awal Oktober lalu.

Dalam diskusi bertema Mengambalikan Kejayaan Sagu di Halmahera Barat ini, selain Nyong ada sejumlah pihak membahas persoalan ini. Dari petani pengolah sagu, penyelenggara program SSF dan akademisi Universitas Khairun Ternate.

Nyong katakan, dalam memanen batang sagu dengan kearifan demi menjaga kelestarian. “Sangat berhati-hati saat penebangan. Jangan sampai merusak sagu yang baru tumbuh.”

Ketika batang yang diambil roboh dan merusak anakan sagu, katanya, pemulihan cukup lama. Satu batang sagu dari kecil sampai siap panen, katanya, perlu waktu sampai 10 tahun.

Jadi, katanya, panen batang sagu itu tak sembarangan. “Memilih batang pohon dengan cara diketuk untuk diketahui batang sagu ini berisi atau tidak. Ada bunyi yang diketahui oleh petani sagu, jika pohon sagu ini berisi atau tidak,” katanya.

Begitu juga, kalau batang sagu sudah keluar buah berarti sudah tak baik untuk diolah. “Juga jika pelepah sudah merunduk, berati sudah tidak berisi.”

Dia ajak daerah yang dulu banyak sagu tetapi mulai terkikis agar gerakkan tanam lagi. Upaya tanam sagu ini, katanya, juga berdampak baik bagi lingkungan.

“Saya sudah mulai kampanyekan menanam sagu di bantaran sungai untuk membantu menjaga ketersediaan air maupun menahan erosi akibat banjir.”

Di Jailolo, Halmahera,    lahan sagu di beberapa desa sudah berubah, antara lain jadi sawah. Cetak sawah gagal, sagu pun sudah hilang.

“Misal, di Desa Taboso, Hoku-hoku Marimbati, sampai Akediri,  sagu sudah ditebang dan nyaris habis. Ini perlu ditanam ulang,” kata Nyong.

 

Om Nyong (berhelem kuning) saat memeriksa batang sagu siap panen. Foto: M Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Sofyan Dahlan, fasilitator masyarakat program SSF Halmahera Barat mengatakan, satu upaya dalam perhutanan sosial melalui SSF ini adalah mendorong pemanfaatan kawasan hutan sagu bagi masyarakat sekitar.

Wilayah Timur Indonesia terutama di Maluku, Maluku Utara dan Papua, katanya, selama ini dikenal jadikan sagu makanan pokok dan telah tergantikan beras. Sagu yang jadi sumber hidup masyarakat pun tergerus.

Kini, lewat SSF berupaya mendorong pemanfaatan hutan/lahan sagu agar masyarakat mengolah jadi sumber pendapatan dan pangan lokal.

Untuk sagu di kawasan hutan, katanya, yang jadi perhatian adalah konsep pengembangannya.

Dia bilang, perlu bersinergi dengan agroforestry pangan dalam kawasan hutan hingga bisa menunjang antara kebutuhan pangan masyarakat, ekonomi serta menjaga kelestarian hutan.

Ramli Hadun, pakar dan peneliti dari Universitas Khairun Ternate mengatakan, sagu adalah tanaman multimanfaat. Selain jadi tepung, ekstraksi empulur sagu yang dipukul atau digiling dengan bahan tersisa berupa serat bisa untuk campuran makanan ternak.

Bagian dari batang sagu, katanya, bisa juga untuk media tumbuh jamur maupun jadi kompos.

“Seluruh bagian sagu bermanfaat. Dari pucuk,  makanan ternak dan sayur. Daun untuk atap, dahan dan pelepah gugur dan yang masih melekat memiliki nilai ekonomi berbeda,” katanya.

Saat ini, masyarakat kembali mencari sagu sebagai sumber makanan.“Dulu, orang makan nasi hanya di hari Jumat. Di hari lain ada diversifkasi pisang dan sagu. Di Malut, pisang jadi makanan pokok,” ucap Ramli.

 

Sagu, salah satu sumber pangan lokal yang banyak tumbuh di daerah-daerah di nusantara ini, seperti Riau, Papua, Maluku Utara dan lain-lain. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

*******

Exit mobile version