Mongabay.co.id

Selamatan Laut Masyarakat Lombok : Dari Pariwisata hingga Mitigasi Bencana (2)

 

Haji Rukding memeriksa satu persatu sesajian di atas meja di pesisir pantai Gili Trawangan, Rabu (21/9). Daun mangga disusun mengikuti bentuk nampan. Di atasnya diletakkan sebuah ketupat. Jika diperhatikan dari dekat, di atas daun mangga itu tertulis huruf Arab. Sebagian bisa terbaca, Sebagian tidak terlihat jelas. Beberapa warga yang ingin mengambil daun itu dilarang oleh pria yang berjaga. Tapi tidak bagi Idayati, saat pria yang berjaga lengah, dia berhasil mengambil selembar daun.

“Saya mau bawa pulang, ini jadi jimat,’’ kata perempuan dua anak tersebut.

Idayati memiliki bayi berumur tiga bulan. Dia memberikan nama Bintang. Saat upacara adat Mandi Safar yang digelar pagi itu, dia tidak membawa Bintang. Bintang kurang sehat. Idayati meyakini, jika sesaji, khususnya daun yang sudah ditulis dengan doa itu bisa menjadi syarat kesembuhan anaknya. Dulu pun dia pernah membuktikan itu.

“Sudah didoakan daun ini,’’ katanya menunjukkan selembar daun yang bisa dia amankan. Idayati buru – buru menyembunyikan daun itu agar tidak terlihat warga lainnya. Sebab belum waktunya untuk mengambil berbagai sesaji yang akan dilarungkan ke laut itu.

Para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tamu undangan berkumpul di pesisir pantai Gili Trawangan persis di depan masjid Agung Baiturrahman, masjid terbesar di Gili Trawangan. Di tepi pantai ini, ratusan warga berkumpul merayakan Mandi Safar. Sebuah ritual yang digelar sekali setahun, pada hari Rabu terakhir pada bulan Safar dalam kalender hijriyah.

Karena di hari Rabu terakhir, masyarakat Lombok mengenal dengan sebutan Rebo Bontong. Hari Rabu terakhir. Tapi bagi masyarakat Gili Trawangan yang leluhur mereka dari Bugis dan Mandar, mengenal dengan Mandi Safar.

baca : Selamatan Laut Masyarakat Lombok : Menjaga Ekosistem Laut dan Menolak Bencana (1)

 

Tokoh masyarakat Gili Trawangan, Desa Gili Indah, Kabupaten Lombok Utara, Haji Rukding memimpin ritual adat Mandi Safar pada Rabu (21/9). Ritual ini sebagai bentuk tolak bala (menghindari bencana). Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Beberapa pria mengenakan kopiah hitam dengan garis keemasan. Mengenakan celana Panjang dililit kain tenun warna cerah. Khas pakaian Bugis. Pria lainnya mengenakan dodot (sarung) dan sapu’ (pengikat kepala) yang menjadi ciri khas pakaian Sasak.

Beragamnya pakaian ini menunjukkan masyarakat Trawangan yang plural. Di bagian musik, tetabuhan rebana, gambus, gendang, band modern, hingga musik EDM menjadi ciri khas Gili Trawangan. Mereka bergiliran mengisi acara hiburan pada Mandi Safar yang tahun ini dirangkaian dengan promosi pariwisata Gili Festival 2022.

“Tradisi ini sudah dilakukan turun temurun,’’ kata Husni, kepala dusun Gili Trawangan.

Haji Rukding memimpin ritual Mandi Safar. Sebagai tokoh yang paling dituakan, dia menjadi saksi berbagai perubahan di Gili Trawangan. Menjadi saksi bahwa dulunya Gili Trawangan adalah kebun, tempat para tahanan yang akan dibebaskan, ditugaskan untuk berkebun. Trawangan adalah pulau kebun kelapa. Trawangan adalah tempat warga dari Gili Air dan Gili Meno bercocok tanam, tempat mereka membangun gubuk sementara saat berkebun dan melaut. Dia juga menjadi saksi perubahan Trawangan menjadi daerah pariwisata. Menjadi saksi berbagai konflik agraria di pulau seluas 340 hektare tersebut.

“Hajatan Mandi Safar ini sebagai bentuk rasa syukur atas rezeki yang kami terima, dan sebagai doa agar terhindar dari musibah,’’ katanya.

Di Gili Trawangan, makna ritual Mandi Safar tidak berubah. Pun rangkaian kegiatannya. Ketika ritual ini menjadi event pariwisata, semua peserta harus mengikuti aturan. Misalnya semua harus mandi. Tamu, wisatawan asing, wisatawan lokal, atau pendatang di Gili Trawangan harus mengikuti ritual mandi. Kegiatan penutup Mandi Safar.

Sejak Gili Trawangan ramai oleh kunjungan wisatawan di tahun 2000-an, kegiatan Mandi Safar menjadi event pariwisata. Pemerintah dan pelaku usaha wisata mendukung. Mandi Safar menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Wisatawan mancanegara yang sedang liburan ke Gili Trawangan pun ikut menyaksikan. Bagi mereka, jarang menyaksikan tontontan seperti itu di Gili Trawangan. Apalagi Trawangan identik dengan hiburan music modern, seperti EDM, reggae, R&B. Ketika menyaksikan langsung rebana, gendang, dan lantunan shalawat mereka mendekat ke lokasi acara.

baca juga : Selamatan Laut, antara Merawat Tradisi dan Rayuan Pariwisata

 

Foto C
Dengan predikat sebagai destinasi wisata internasional, jumlah wisatawan asing lebih banyak dibandingkan penduduk Gili Trawangan. Tapi mereka masih tetap menjaga identitas budaya dan Islam. Ini tampak pada berbagai kegiatan keagamaan dan adat. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Kadri, dosen UIN Mataram pernah melakukan penelitian dakwah di masyarakat Gili Trawangan. Fenomena di Trawangan memang cukup unik. Identitas agama (Islam) sangat kuat, ini terlihat dengan keberadaan masjid Baiturrahman sebagai pusat dakwah. Sering menggelar tabligh akbar, berbagai pengajian, tapi di sisi lain masyarakat bisa bernegosiasi dengan pariwisata.

“Takmir masjid Agung Baiturrahman di Gili Trawangan mampu mengelola dakwah yang ramah pariwisata,’’ kata dosen Fakultas Dakwah UIN Mataram ini.

Menurut Kadri, mengelola pariwisata merpakan bagian dari dakwah di bidang ekonomi. Takmir masjid juga rutin menggelar tabligh dengan mengedepankan semangat toleransi, dan aktif membina dan menanamkan ajaran Islam pada anak-anak di Gili Trwangan agar mampu membentengi diri dari pengaruh negatif pariwisata. Para tokoh agama juga berusaha menunjukkan bahwa Islam itu ramah dan damai. Bisa berdampingan dengan industri pariwisata.

“Dengan kekuatan inilah kegiatan dakwah dan pariwisata bisa beriringan di Trawangan,’’ katanya.

 

Peroah Segare Masyarakat Selatan

Bagi masyarakat Lombok, laut adalah sumber kehidupan. Laut yang luas menjadi sumber mencari nafkah, dari laut masyarakat memenuhi kebutuhan sehari-hari, khususnya sumber protein. Selain itu laut juga menyediakan berbagai jenis ikan yang menjadi sumber penghasilan masyarakat.

Bagi masyarakat bagian selatan Lombok Tengah, seperti di Desa Tumpak dan Desa Selong Belanak, laut menyediakan sumber penghasilan dari budidaya lobster. Desa Selong Belanak dikenal sebagai salah satu sentra bibit lobster, diekspor hingga luar negeri. Di samping kekayaan sumber daya alam itu, laut di selatan Lombok Tengah ini juga memiliki keindahan yang menjadi daya tarik pariwisata.

Di masyarakat pesisir selatan Lombok Tengah dikenal ritual Peroah Segare. Dalam ritual ini ada acara menyembelih kerbau/sapi dan kepalanya dibuang ke laut sebagai tumbal agar laut tidak ganas menyeret manusia yang berada di laut pada saat mencari ikan.

baca juga : Selamatan Laut, Sebuah Pesan untuk Kelestarian Laut

 

Foto B
Siapa pun yang ikut menikmati kemeriahan ritual Mandi Safar harus siap-siap basah. Mereka juga ikut menikmati berbagai sajian yang disediakan masyarakat. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Selain itu agar ikan di laut bisa ditangkap dalam jumlah banyak, karena jika Peroah Segare ini tidak dilakukan maka nelayan sulit mendapatkan ikan. Kegiatan Peroah Segare ini waktunya tidak tentu tergantung kebutuhan. Jika sulit mendapatkan ikan di laut, atau sering terjadi manusia terseret ke laut, maka digelar Peroah Segare.

“Jika salah cara atau mekanisme Peroah Segare, akan menyebabkan makhluk halus penguasa laut marah dan mengakibatkan terjadinya penyakit pada manusia secara besar-besaran,’’ kata Mamiq Zawin, tokoh masyarakat Desa Selong Belanak.

Masyarakat Desa Tumpak dan Desa Selong Belanak memiliki beberapa terminologi yang terkait dengan bencana dari laut. Masyarakat mengenal istilah Begawah Aik, yang artinya air laut naik dan akan masuk ke dalam rawa-rawa (parak). Ketika peristiwa ini terjadi menandakan sudah masuk bulan ke tujuh dalam kalender sasak.

Selain Begawah Aik, masyarakat juga memiliki istilah Gloro. Gloro ini terjadi angin besar yang disebut masyarakat sebagai angin selatan (angin laut), arus air laut besar dan air laut naik menutupi pasir yang ada di pantai selama 4 – 5 hari.

Gloro ini lebih kecil dari Begawah Aik, pada saat Gloro nelayan tidak bisa menangkap ikan (melaut) karena ombak terlalu besar. Dalam kondisi ini sering terjadi udang juga ikut naik ke pantai terbawa air laut sehingga membawa berkah sebagian masyarakat,’’ kata Amaq Kertawang, salah satu tokoh masyarakat Desa Tumpak.

Ketika dalam kondisi air laut yang tidak bagus ini, para nelayan tidak berani melaut. Mereka melanggar pantangan dan bahaya jika memaksakan diri melaut. Masyarakat menyesuaikan diri ketika dalam kondisi seperti ini. Mereka biasanya menunggu air laut surut, dan mencari ikan yang terjebak. Kegiatan ini dikenal dengan nama mada’.

Dalam kondisi air laut tenang barulah masyarakat berani ke laut. Dikenal istilah Mande, yaitu saat air laut tenang (tidak pasang dan tidak surut). Pada posisi air laut seperti ini ikan tidak mau menepi terutama ikan besar, nelayan tidak bisa mendapatkan ikan besar dalam jumlah banyak. Ikan akan menepi pada saat ada arus, nelayan hanya akan mendapatkan ikan-ikan kecil seperti teri ijo, tomboh, teri baok dan ikan kecil lainnya.

baca : Kisah Sukses Tramena dan Gili Matra Lakukan Restorasi Terumbu Karang di Gili Trawangan

 

Wisatawan yang didominasi wisatawan mancanegara belajar sufing di Selong Belanak, Lombok Tengah. Mereka surfing di teluk yang juga dimanfaatan untuk budidaya dan area penangkapan ikan. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Masyarakat mengenal Bekembang Mute. Mute adalah jenis rumput. Masyarakat meyakini jika rumput laut ini jika sudah berbunga maka pendatang luar desa yang masuk di Desa Selong Belanak akan mengalami sakit demam (panas) dan terjadi di awal tahun. Penduduk setempat juga bisa terkena penyakit panas ini tapi tidak terlalu banyak karena sudah bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan/cuaca setempat. Karena itulah ketika masyarakat melihat rumput laut jenis ini berbunga, masyarakat sudah menyiapkan diri.

“Harus diperhatikan semua tanda-tanda itu,’’ katanya.

Masyarakat yang tinggal di pesisir harus pandai membaca tanda alam. Pengalaman hidup mereka dalam membaca tanda-tanda alam itu menjadi bagian mitigasi bencana. Pengalaman membaca alam ini diturunkan dari satu generasi ke generasi, melalui cerita-cerita maupun praktik dalam kehidupan sehari-hari. Kejadian bencana di masa lalu terekam dalam ingatan masyarakat, rekaman ingatan itulah yang penting agar masyarakat bisa terhindar dari bencana di masa mendatang.

Berada di pesisir selatan, masyarakat rentan dengan kejadian gelombang pasang, rob, bahkan tsunami. Untuk tsunami, masyarakt mengenal dengan istilah lokal lahar. Lahar ini bukan lahar dari gunung api, tapi kondisi naiknya air laut. Sebelum naiknya air laut itu, diawali dengan gempa. Menurut masyarakat desa dahulu pernah terjadi lahar namun tidak sampai mengakibatkan kondisi yang buruk pada manusia, bahkan membawa berkah kepada masyarakat karena banyak ikan-ikan kecil dan gurita yang ikut terbawa air laut ke daratan.

Jika terjadinya gempa yang kemudian mengakibatkan terjadinya lahar namun tidak ditandai juga dengan suara gaduhnya binatang seperti suara ayam dan anjing maka dipercayai tidak akan terjadi bencana besar. Ketika ada tanda-tanda ini, masyarakat akan segera mengungsi. Kelompok perempuan dan anak-anak akan diungsikan terlebih dahulu di bukit-bukit. sedangkan warga masyarakat laki-laki akan tetap berada di rumah untuk mengamankan harta benda mereka. Jika kondisi aman, barulah perempuan dan anak-anak yang mengungsi kembali ke kampung halaman. (*)

 

Exit mobile version