Mongabay.co.id

Kala Ruang Hidup Masyarakat Dayak Basap Makin Terhimpit

 

 

 

 

 

Benang dan Saniah dari rumah mereka di di Tebangan Lembak, Kecamatan Bengalon, Kutai Timur, berjalan kaki sekitar delapan km menuju kebun di atas bukit. Di sana mereka bikin pondok, yang hanya bisa dilewati sepeda motor-semacam motor trail sederhana hasil modifikasi,–atau berjalan kaki.

Di bukit itu, mereka baru saja melewati musim tanam. Kini, waktunya menjaga padi yang menguning dari hama.

“Sekarang harus pakai racun hama,” kata Saniah.

Joni, tetangga desa sudah antara«mengantar racun pembasmi hama beberapa hari lalu.

Saniah hafal liku-liku jalan itu. Jika ada tanaman yang menghambat jalur perjalanan, Benang dengan sigap menebasnya.

Sejak membuka lahan di km 14 pada 2006, pondok itu jadi rumah kedua bagi Benang dan Saniah. Setiap dua atau tiga minggu mereka kembali ke desa untuk mengambil keperluan sehari-hari atau mengunjungi anak dan cucu. Kalau semua keperluan cukup, mereka bisa tinggal di pondok sampai tiga bulan.

Hutan yang dilewati Benang dan Saniah, masih cukup lebat.

“Ini namanya akar tiris,” kata Benang, mengambil sulur yang terjuntai dari batang pohon besar.

Dulu, Benang sering mengambil sulur ini. Ia lebih kuat dari rotan, biasa jadi berbagai anyaman. Paling sering jadi piring baut keperluan sendiri maupun dijual.

Dia bilang, pernah ada pesanan dari instansi pemerintah daerah, 1.000 piring. Benang dan Saniah, hampir setiap hari begadang membuat piring. Dalam satu bulan, pesanan rampung.

Mestinya satu piring Rp25.000, tetapi dari 1.000 piring, mereka hanya menerima Rp3 juta.

“Katanya dipotong pajak dan untungnya dibagi dua.”

 

Tambang batubara, antara lain yang menggerus hutan Orang Dayak Badap. Foto: Edu Ponces / RUIDO Photo

 

Kerja mereka lumayan berat dari mengambil daun ke hutan lalu menganyam jadi piring tetapi dihargai tanpa tawar menawar terlebih dahulu. Sedang mencari pasar sendiri bukan perkara mudah. Sejak itu, dia tak lagi mengambil akar tiris untuk anyaman piring.

Selain karena tak paham bagaimana menjual hasil kerajinan, kata Benang, akar tiris dan banyak hasil hutan bukan kayu lain sudah sulit ditemui di Tebangan Lembak. Hutan yang dia lalui saat itu adalah sisa yang masih bisa Benang dan masyarakat Dayak Basap lain manfaatkan.

Hutan yang lain sudah berubah. Marak pembukaan hutan untuk tambang dan kebun sawit membuat Masyarakat Dayak Basap kesulitan berburu, berladang dan mencari penghidupan dari hutan.

“Hutan sudah gundul, tak bisa lagi berburu,” kata Benang.

Sebelum ada usaha ekstraktif masuk ke Tebangan, Dayak Basap berburu binatang di hutan. Dua jam perjalanan mereka bisa dapat kijang dan rusa.

“Sejak hutan dibuka tambang, tak ada sama sekali. Bahkan, monyet pun sekarang minta makan ke warga,” ujar Benang.

Tak hanya kesulitan berburu, lahan ladang berpindah juga makin terbatas. Buah-buahan asli hutan juga makin sulit didapat.

Ekspansi usaha skala besar juga menyebabkan hilangnya madu hutan asli yang biasa masyarakat Dayak Basap panen.

“Lampu sorot tambang itu bikin lebah takut,” kata Margiono, anak ketiga Benang dan Saniah, yang ikut ke pondok sembari bantu membawa keperluan sehari-hari. Menurut Benang, debu tambang menutupi kelopak-kelopak bunga tanaman.

Sebelumnya, satu pohon banggeris (Koompassia sp) bisa berisi 40 sarang lebah. Satu sarang bisa menghasilkan sekitar 25 liter madu. Banggeris adalah satu jenis pohon tertinggi di hutan hujan tropis.

Seperti masyarakat adat lain di Indonesia, Dayak Basap punya setidaknya tiga kategori hutan dalam wilayah adat mereka. Ada hutan untuk bercocok tanam dengan sistem ladang berpindah, dan hutan yang tak boleh dibuka tetapi bisa diambil hasil hutannya. Kemudian, hutan larangan yang tak boleh dimasuki sembarang orang.

Bagi Dayak Basap di Tebangan Lembak, hutan kategori terakhir masih ada. Namanya, Tekuruk Beduk.

“Tapi itu jauh. Jarang sekali sekarang (anak muda)  yang mau ke sana,” kata Margiono.

Selain jauh, Dayak Basap percaya harus ada tetua yang membimbing mereka untuk masuk ke Tekuruk Beduk, seperti Benang, yang menjadi pewaris Ketua Adat Dayak Basap Tebangan Lembak.

 

 

Petanda alam dan ritual

Setelah menempuh setengah perjalanan, Benang dan Saniah meninggalkan hutan lebat dan mulai memasuki ladang berpindah Masyarakat Dayak Basap. Warga Dayak Basap lain juga membuka ladang padi di km 14.

Selain menanam padi, mereka menanam singkong, cabai, terong, labu, timun, kacang panjang dan berbagai tanaman lain secara organik untuk keperluan sehari-hari. Sebagian masih mencari kayu bakar di hutan untuk keperluan memasak.

Meski begitu, Saniah, sudah pakai kompor gas tiga kg yang secara berkala juga diantar Joni atau Margiono.

Saat itu, sebagian padi gunung sudah panen.

Benang dan Saniah menumpang istirahat di pondok warga Dayak Basap lain yang sedang menjemur padi.

Bagaimana cara membuka lahan untuk menanam padi di perbukitan ini?

“Bersama-sama. Kalau lagi lahan kita, kita dibantu warga yang lain, nanti gantian,” kata Margiono.

Sudah jadi budaya, jika ada satu keluarga hendak membuka lahan, maka semua Dayak Basap di wilayah itu akan ikut membantu menebas sampai menanam.

Satu musim tanam hingga panen, bisa untuk keperluan semua keluarga selama setahun. Tahun lalu, misal, Benang dan Saniah panen sampai 12 kaleng, sekitar 120 kuintal dari lahan empat hektar. Hasil panen dibagi untuk enam anak mereka, lima sudah berkeluarga, tak ada yang mereka jual.

Akhirnya Benang dan Saniah, sampah pondok. Pondok di atas bukit itu cukup luas. Selain tempat berteduh dan istirahat, Benang membuat teras panjang untuk menjemur padi.

Di teras itu pula dia mengamati langit mencermati posisi bintang dan bulan untuk menentukan musim tanam. Saat siang hari dia mencermati arah angin untuk menentukan waktu menebas dan membakar.

Biasanya, musim tanam akan jatuh pada bulan ke sembilan setiap tahunnya. Pernah suatu kali Benang mencoba ‘melanggar’ petunjuk ini. Dia menanam sebelum waktunya. Mesti saat itu musim mengumpulkan daun kering. “Pikir, toh hanya lebih awal beberapa minggu.”

Hasilnya, saat musim berbuah datang, padi tak berisi. Panen pun gagal. Sejak itu, dia tak pernah melanggar apapun aturan yang diwariskan leluhur.

“(Ladang) di kiri kanan ku berbuah, tapi di sini tidak,” katanya.

Belakangan, itu saja tak cukup untuk menghindari gagal panen. Pada 2019, dia kembali gagal panen. Bukan karena coba-coba melanggar aturan leluhur, namun karena musim kemarau panjang.

“Sekarang memang lebih sering panas,” katanya.

Untuk padi gunung yang hanya mengandalkan air hujan, katanya, kondisi ini tak baik.

 

ayak basap Benang, Ketua Adat Dayak Basap Tebangan Lembak, Kutai Timur. Foto: Edu Ponces / RUIDO Photo

 

Selain baca tanda alam, Orang Dayak Basap, juga masih jalankan tradisi, seperti ritual adat mau buka ladang.

“Ritual itu ibarat ucap salam. Aku memberi tahu leluhur, bahwa aku membuka lahan di sini untuk mencari rejeki untuk anak cucu,” kata Benang.

Dia menebas sekali, dua kali, tiga kali lalu kembali memutar melakukan ritual. Lantas menebas lahan yang akan ditanami.

Selesai menebas, lahan dibiarkan selama tiga hari. Hari ke empat baru lahan dibakar.

Membakar pun ada ritualnya, dan mesti tepat pukul 12.00 siang. Kalau misal pukul 11.00 atau pukul 13.00, Benang memastikan api akan merambat kemana-mana.

Satu syarat utama saat membakar lahan, tak boleh menyebut kata ‘si jago merah’. Menurut kepercayaan Dayak Basap jika kata itu disebut api akan melalap melebihi lahan yang direncanakan. Api, tak boleh dijagokan, tetapi harus dikendalikan.

“Kalau semua ini dilakukan, biasa api akan padam tepat pada pukul 13.00.”

 

 

*Tulisan ini adalah kolaborasi antara Mongabay Indonesia dan RUIDO Photo, bagian dari #Primary Project”

*******

 

 

Exit mobile version