Mongabay.co.id

Mengurai Benang Kusut Perlindungan Nelayan dan Wilayah Pesisir Laut

 

Nelayan skala kecil dan tradisional memiliki andil sangat besar bagi industri perikanan nasional. Keberadaan mereka berperan menjadi penyuplai semua kebutuhan produk yang akan dipasarkan kepada masyarakat, baik di dalam atau luar negeri.

Dominasi yang tak bisa dibantah itu, membuat benteng ketahanan pangan di seluruh provinsi sangat bergantung kepada mereka. Jika sekali saja terhambat, maka asupan gizi yang berasal dari laut tidak akan bisa dinikmati oleh masyarakat.

Itu kenapa, peran nelayan sangat vital dan selalu ditunggu oleh siapa pun, sampai kapan pun. Kemahiran mereka untuk menangkap ikan dan biota laut lain yang bisa dikonsumsi, tak bisa dianggap hanya sebagai keahlian yang biasa saja.

Pemerintah Indonesia sudah menilai peran tersebut tak bisa digantikan oleh siapa pun, selain oleh nelayan itu sendiri. Perlindungan hukum pun disematkan kepada mereka, agar bisa terus bertahan di tengah serbuan modernisasi pada industri perikanan.

Sejak 15 tahun lalu, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (WP3K) sudah diterbitkan. Begitu juga, sembilan tahun kemudian, UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Pemberdayaan Nelayan, Pembudi daya Ikan, dan Petambak Garam menyusul diterbitkan.

Kedua UU tersebut diharapkan bisa menjadi pelaksana tugas untuk memberikan perlindungan di lapangan kepada nelayan skala kecil dan tradisional. Hal itu berulang kali diungkapkan Menteri Kelautan dan Perikanan dari beberapa periode sebelumnya.

Akan tetapi, sayangnya harapan tersebut sampai sekarang belum berjalan maksimal. Bahkan bisa dibilang, janji memberikan perlindungan belum juga terwujud sesuai harapan. Hal tersebut pun diakui oleh Direktur Yayasan Pesisir Lestari Maman.

baca : Nelayan Kecil dan Pesta Korporasi di Laut

 

Seorang nelayan tradisional dari Pulau Batam, Kepulauan Riau, yang melaut di daerah perbatasan antara Singapura-Indonesia. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Kepada Mongabay Indonesia, dia menyebut kalau persoalan mendasar yang masih dihadapi sampai sekarang adalah keterbatasan gerak yang dimiliki oleh Pemerintah Indonesia, dalam hal ini adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Selama berdiri sebagai instansi Negara, perlindungan sebenarnya sudah berupaya untuk diberikan kepada nelayan skala kecil dan tradisional di seluruh Indonesia. Bukti tegasnya, adalah penerbitan dua UU yang disebut di atas tadi.

“Namun, memang belum maksimal saja dan implementasi seperti masih begitu saja,” ucap dia akhir pekan lalu di Jakarta.

Penyebab masih belum maksimalnya penerapan perlindungan nelayan melalui dua UU tersebut, karena ada banyak pemicu masalah yang melibatkan multi sektor dan multi faktor. Banyak komponen yang terlibat di dalamnya.

Salah satu yang menjadi sorotan dari penyebab masalah, adalah anggaran yang masih terbatas. KKP yang berperan sebagai pemimpin pada sektor kelautan dan perikanan, dinilai belum mampu memenuhi segala kebutuhan yang muncul.

Kondisi tersebut berjalan bukan sekarang saja, namun sudah sejak bertahun-tahun lalu lamanya. Itu pun sudah dibantu oleh para mitra yang berasal dari beragam lapisan kalangan dan masyarakat. Salah satunya, adalah Yayasan Pesisir Lestari.

Padahal, dia menyebut kalau jumlah nelayan saat ini banyaknya mencapai 2,5 hingga 3,7 juta orang. Dari jumlah tersebut, 90 persen berstatus sebagai nelayan kecil yang bergantung secara langsung dengan sektor perikanan kecil.

Di lain pihak, Maman berpendapat kalau optimalisasi penerapan regulasi seperti UU juga berkaitan erat dengan aturan turunan yang dibuat oleh instansi teknis ataupun Pemerintah Provinsi. Biasanya, penerapan akan sangat bergantung pada implementasi dari provinsi masing-masing.

baca juga : Masa Depan Perikanan Dunia adalah Nelayan Skala Kecil

 

Para nelayan menepikan perahunya di sungai Cilincing, Jakarta Utara, usai mencari ikan di laut. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Salah satu aturan turunan yang dibuat oleh KKP, adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Laut. Kehadiran peraturan tersebut dinilai sudah sangat membantu penerapan dua UU yang berkaitan dengan nelayan.

Akan tetapi, dia menyebut kalau praktik dua UU tersebut tidak sebagus seperti yang diharapkan. Utamanya, keterlibatan nelayan dalam setiap pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Selama itu, nelayan belum terlibat banyak.

Kondisi tersebut diakuinya berjalan di hampir semua daerah. Keterlibatan mereka sejauh ini hanya sebatas formalitas sebagai bagian dari masyarakat pesisir saja. Tidak lebih jauh sebagai penyumbang ide ataupun penanggap dari rencana kebijakan yang akan dibuat.

Untuk bisa membiasakan nelayan dan masyarakat pesisir memberikan kontribusinya secara langsung, diperlukan upaya yang tidak mudah. Hal itu, karena akan diperlukan proses penyadaran mereka tentang pengetahuan bagaimana mengelola wilayah laut di sekitar mereka.

“Itu jelas memerlukan dana yang tidak sedikit dan waktu yang tidak sebentar. Itu tantangan yang harus bisa dijawab oleh Pemerintah,” kata dia.

Jika berpatokan pada anggaran, Pemerintah Indonesia akan terus mengalami kesulitan sampai jangka waktu yang tidak terbatas. Salah satu solusinya, adalah dengan melaksanakan kerja sama multi sektor dengan melibatkan banyak pihak.

Cara tersebut diyakini akan bisa memberikan hasil lebih baik, terutama jika ingin memberikan perlindungan yang tepat kepada nelayan dan masyarakat pesisir. Para pihak yang bisa diajak untuk bekerja sama, di antaranya adalah lembaga non Pemerintah (NGO) yang ada di daerah.

“Banyak NGO lokal yang sudah eksis lebih lama dari KKP. Ada yang sudah puluhan tahun juga. Mereka bisa menyediakan data dan membantu akses pelayanan kepada nelayan,” ungkap dia.

baca juga : Hak Istimewa Nelayan Tradisional pada Zona Penangkapan Terukur

 

Seorang nelayan tradisional sedang menangkap ikan. Foto : shutterstock

 

Perlu diingat, perlindungan juga harus komprehensif, karena ada beragam persoalan di pesisir yang masih belum terpecahkan sampai sekarang. Salah satunya, adalah pengakuan status nelayan yang berasal dari kelompok jenis kelamin perempuan.

“Itu juga pekerjaan rumah yang harus diatasi oleh Pemerintah. Banyak perempuan kesulitan mengakses banyak fasilitas, hanya karena mereka tidak diakui sebagai nelayan. Padahal, mereka beraktivitas sebagai nelayan,” tambah dia.

Lebih detail, Maman memaparkan bahwa ada sasaran strategis yang ingin dicapai oleh KKP selama periode 2020-2024, yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir, perlindungan karang melalui konservasi dan pengelolaan kawasan zonasi.

Ketiga sasaran strategis itu sudah dicantumkan Permen KP 17/2020 tentang Rencana Strategis (Renstra) KKP 2020-2024. Melalui ketiga SS tersebut, harapannya indeks kesejahteraan masyarakat pesisir meningkat, serta luasan dan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi dan kawasan zonasi perairan meningkat.

Saat ini, desa di kawasan pesisir sudah berjumlah 12.827 dan itu diharapkan bisa berperan penting dalam pengelolaan tata kelola kelautan. Tujuannya, untuk memastikan keberlanjutan sumber pangan di pesisir, sekaligus mewujudkan masyarakat pesisir yang sejahtera.

baca juga : Derita Nelayan Tradisional Setelah Harga BBM Naik

 

Seorang nelayan sedang menebarkan jaring untuk menangkap ikan. Foto : shutterstock

 

Penghapusan Ketidakadilan

Tentang nelayan dan keadilan di laut, juga dipaparkan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI). Bersama Yayasan Pesisir Lestari (YPL), IOJI melakukan kajian tentang dua UU yang berlaku sekarang. Kajian fokus pada lima tipologi ketidakadilan laut yang selama ini ada dan dialami para nelayan.

Kelimanya adalah ketidakadilan tenurial yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang laut; ketidakadilan manfaat ekonomi yang timbul dari pembangunan laut; ketidakadilan dampak (kebijakan) kepada nelayan; ketidakadilan terkait penurunan jasa ekosistem; serta ketidakadilan dalam tata kelola yang inklusif dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Dalam melakukan telaah terhadap dampak yang ditimbulkan, kedua pihak bersama KKP melakukan penelitian di tujuh lokasi yang ada di tujuh kabupaten. Ketujuhnya adalah Kecamatan Pulau Tiga, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau; dan Kecamatan Pulau Pari, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.

Kemudian, Kecamatan Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat; Kecamatan Alor Barat, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur; Kecamatan Kaledupa Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara; Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara; dan Kecamatan Nusalaut, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku.

Hasil kajian tersebut kemudian dituangkan dalam buku “Nelayan dan Keadilan Laut: Kajian Pelaksanaan UU Pemberdayaan Nelayan dan UU Pengelolaan Pesisir di Tujuh Lokasi.” Diharapkan, itu bisa menjadi masukan bagi Pemerintah Indonesia untuk membuat sebuah kebijakan.

 

Nelayan tradisional sedang menangkap ikan. Foto : shutterstock

 

CEO Indonesia IOJI Mas Achmad Santosa pada pekan lalu di Jakarta, mengatakan bahwa perlindungan terhadap nelayan dan wilayah pesisir menjadi sesuatu yang harus dilakukan oleh semua pihak saat ini.

Hal tersebut muncul, karena Indonesia sejak beberapa tahun terakhir fokus memanfaatkan wilayah laut dan pesisir sebagai bagian dari konsep pembangunan nasional. Pada praktiknya, pembangunan dilakukan dengan mengadopsi konsep ekonomi biru yang diklaim bisa menjaga prinsip keberlanjutan di laut dan pesisir.

Ketika melaksanakan kebijakan tersebut, muncul banyak kekhawatiran dari masyarakat pesisir bahwa itu akan merugikan dan bisa mengancam kehidupan mereka. Penyebabnya, karena mereka sangat bergantung kepada sumber daya kelautan dan perikanan.

“Pendekatan sustainable ocean economy atau sustainable blue economy tentu saja harus paralel dan berjalan harmonis dengan semangat kita semua untuk mewujudkan aspek keadilan sosial (social justices) dan keadilan ekologis (ecological justices),” ungkap dia.

Melalui penelitian yang dilakukan secara bersama, didapatkan kesimpulan tentang pemanfaatan dua UU yang dijadikan kajian. Kesimpulan itu di antaranya:

  1. Berdasarkan analisis biaya-manfaat, UU Perlindungan Nelayan dan UU Pengelolaan Pesisir telah menunjukkan manfaat positif;
  2. Hampir semua kemungkinan gejala ketidakadilan laut, berikut penyebabnya sudah diidentifikasi dalam naskah akademik kedua UU tersebut;
  3. Instrumen dalam kedua UU tersebut yang ditujukan untuk mewujudkan keadilan laut, perlu untuk terus didorong dan disempurnakan;
  4. Sebagian dampak yang ada, termasuk dalam kriteria “equity blind” dan sebagian instrumen telah memenuhi kriteria “equity activating.”
  5. Dampak positif yang dicapai kedua UU juga harus terus ditingkatkan untuk memenuhi prinsip keadilan di laut.

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono (kanan) bersama CEO Indonesia Ocean Justice Initiative Mas Achmad Santosa saat meluncurkan kajian berjudul “Nelayan dan Keadilan Laut: Dampak Undang-undang Perlindungan Nelayan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir bagi Kesejahteraan Nelayan Kecil” di Kantor Pusat KKP, Selasa (11/10/2022). Foto : KKP

 

Dengan adanya hasil kesimpulan tersebut, Mas Achmad Santosa kemudian memberikan rekomendasi yang dibuat secara bersama oleh tim. Rekomendasi diajukan agar perbaikan bisa terus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.

Pertama, memperbaiki mekanisme partisipasi, supaya menjadi proses terus menerus dalam inisiatif-inisiatif pengelolaan sumber daya perikanan pada unit terkecil di masyarakat. Kedua, mengoptimalkan instrumen rencana perlindungan dan pemberdayaan nelayan.

Ketiga, mengidentifikasi dan menetapkan wilayah prioritas perikanan skala kecil. Keempat, mengimplementasikan asuransi nelayan dan menyinergikan pengelolaan resiko dengan kebijakan di hulu.

“Kesehatan laut meningkatkan kekayaan laut. Begitu juga dengan perlindungan dan peningkatan kesejahteraan nelayan menjadi kepedulian utama KKP di bawah kepemimpinan Pak Menteri,” pungkasnya.

Pada kesempatan tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono memaparkan bahwa implementasi kedua UU sampai saat ini diakuinya sudah membawa manfaat dan perubahan di tingkat tapak.

“Perlindungan dan pemberdayaan nelayan kecil telah menjadi prioritas dalam setiap kebijakan KKP. Pemerintah tidak dapat berjalan sendiri. Sinergi dan kolaborasi seluruh pemangku kepentingan merupakan kunci keberhasilan pembangunan kelautan dan perikanan,” ujar dia.

Dia mengatakan, ada lima program ekonomi biru yang implementasinya diyakini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, khususnya para nelayan kecil. Program-program tersebut juga dirancang untuk menjaga keberlanjutan ekosistem perikanan, di antaranya terpeliharanya kelestarian kawasan mangrove, terumbu karang, hingga padang lamun.

Kelima program ekonomi biru itu meliputi perluasan kawasan konservasi laut, penangkapan ikan terukur berbasis kuota, pengembangan budidaya perikanan ramah lingkungan, penataan pemanfaatan ruang laut, pesisir dan pulau-pulau kecil, serta program penyelesaian sampah laut.

 

Sebuah kapal penangkap ikan di perairan Flores, NTT. Foto : shutterstock

 

Atas dasar proses evaluasi serta hasil kajian komprehensif atas tantangan dan peluang yang ada, KKP menyiapkan peta jalan Ekonomi Biru sepanjang masa yang dituangkan dalam 5 program utama untuk memastikan laut tetap sehat dan menjaga keseimbangan alam laut.

“Demi kelangsungan hidup generasi berikutnya, serta menciptakan kesejahteraan khususnya bagi masyarakat pesisir dan para nelayan,” pungkas dia.

Lima program tersebut, adalah memperluas kawasan konservasi perairan hingga 30 persen pada 2045; pengaturan kegiatan penangkapan ikan dengan terukur berbasis kuota; dan melaksanakan pembangunan perikanan budi daya yang ramah lingkungan di laut, pesisir, dan darat.

Selanjutnya, menjaga wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terhadap potensi kerusakan akibat kegiatan ekonomi yang tidak terkendali; serta penerapan program “Bulan Cinta Laut” sebagai komitmen Indonesia untuk menjaga wilayah laut bersih dan bebas sampah plastik.

 

Exit mobile version