Mongabay.co.id

Kala Masyarakat Tuntut Plasma Sawit dari Sinar Mas di Seruyan

 

 

 

Tanaman sawit di perkebunan milik PT Tapian Nadenggan di Kecamatan Hanau, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, menjulang, rata-rata lebih lima meter. Usia mungkin menjelang dua dekade. Dari kebun inilah, aliran laba mengalir ke PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART) Tbk. Grup perusahaan sawit konon berpendapatan tertinggi di Indonesia pada 2020 ini merupakan induk dari PT Tapian Nadenggan.

Kamis, 22 September 2022, tak ada aktivitas di kebun Hanau Tapian Nadenggan. Tak satu pun truk pengangkut buah sawit melintas di jalan utama kebun yang terhubung dengan Jalan Trans Kalimantan, sekitar 100 kilometer dari Kota Pangkalan Bun ini.

Mesin-mesin pabrik minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) pun hening namun keramaian meledak hari itu. Massa memadati halaman pabrik mulai pukul 10.00 WIB. Ada sekitar 5.000-an orang. Mereka datang dengan ratusan kendaraan roda empat (sebagian bak terbuka) dan roda dua. Antrean kendaraan mengular ketika warga yang aksi memasuki jalan perkebunan.

Sebanyak 53 kepala desa (kades) dari Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (Apdesi), Kabupaten Seruyan memimpin aksi massa itu. Para kades, berpakaian seragam putih-hitam, dan massa mendesak Tapian Nadenggan memberikan plasma 20% dari luas kebun perusahaan untuk masyarakat sekitar.

Dalam orasinya, Muhammad Firdaus, Kades Pembuang Hulu I, mengatakan, tuntutan plasma 20% itu berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan pada 2001 tentang pelepasan kawasan hutan yang dipakai untuk perkebunan sawit Tapian Nadenggan.

Dalam surat itu, perusahaan perkebunan wajib memberikan 20% dari luasan izin pada masyarakat. “Sebenarnya ini lebih besar daripada plasma. Kita hanya menuntut plasma 20%.”

Mirwan Hidayat, Ketua APDESI Seruyan, mengatakan, 21 tahun bukan waktu sebentar. “Sudah lama kita menanti Tapian Nadenggan bisa merealisasikan plasma. Kenyataan, tidak ada sejengkal pun yang direalisasikan,” kata Kades Banua Usang itu.

APDESI akan menurunkan massa lebih besar bila perusahaan tak menanggapi permintaan mereka. “Kami bukan memaksa. Yang memaksa aturan. Kami di sini meminta. Sebenarnya tidak harus meminta. Perusahaan yang baik, harus memberikan hak masyarakat tanpa diminta,” katanya.

Dia bilang, keinginan plasma itu murni tuntutan masyarakat 10 desa. “Jangan sampai 97 desa datang ke sini, mengetuk lagi pabrik ini. Kami hanya ingin hukum tegak lurus. Kami hanya ingin aturan itu bisa dilaksanakan. Pemerintah juga harus menindaklanjuti dan menekan perusahaan,” kata Mirwan.

Unjuk rasa berlangsung damai. Puluhan polisi membentuk pagar hidup di depan gerbang pabrik yang ditutup pintu besi. Sedikit keriuhan muncul saat sampai tengah hari perusahaan tak satu pun keluar memberikan pernyataan.

 

Kebun sawit PT Tapian Nadenggan , Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

Akhirnya, Apdesi mengirimkan perwakilan ke kantor pabrik untuk berbicara dengan mereka. Sebagian peserta aksi sempat menolak perwakilan masuk ke pabrik, sebelum Mirwan dan Firdaus berhasil meyakinkan mereka. Sebagian massa ingin perusahaan datang ke pengunjuk rasa.

Proses dialog dengan manajemen Tapian Nadenggan juga tidak mudah. Tak satu pun dari unsur manajemen di pabrik itu bersedia memberikan tanggapan atas tuntutan pengunjuk rasa.

Di luar massa masih bertahan, saat matahari sudah mulai condong ke barat. Meski terkendali, mereka mulai tidak sabar. Sesekali mereka menggoyang-goyang pintu pagar besi pabrik, mendesak agar perusahaan segara berikan tanggapan.

Lepas pukul 16.00, perwakilan para kades keluar menemui pengunjuk rasa. Mirwan naik mobil komando aksi dan menyampaikan hasil pertemuan dengan manajemen.

“Manajemen Tapian Nadenggan dengan Apdesi bersepakat akan menyampaikan jawaban paling lambat 30 September 2022 kepada Ketua Apdesi terkait tuntutan plasma masyarakat,” katanya.

“Huuuuuu….” Sambut sebagian peserta aksi.

Abdi Radhiyanie, Camat Seruyan Raya, yang mendampingi Mirwan, menyampaikan kabar ‘angin surga’ buat warga.

“Pak Bupati sampai dengan hari ini juga telah melaksanakan pertemuan dengan Dewan Direksi Sinar Mas di Jakarta. Walaupun secara tertulis belum kami terima, informasi yang kami dapatkan Bapak Bupati dan Dewan Direksi telah bersepakat, kewajiban plasma pada masyarakat akan diserahkan. Mekanisme akan disusul dan akan disampaikan pada 30 September 2022,” katanya.

Usai pernyataan Mirwan dan Abdi itu manajemen pun enggan memberi komentar panjang. “Untuk hasil pertemuan tadi kita sepakat menunggu jawaban 30 (September). Kita nggak bisa apa-apa lagi. Mohon maaf. Kita nggak ada komentar. Jadi mohon maaf kita enggak ada yang bisa diwawancarai,” kata Alfian, staf PT Tapian Nadenggan.

 

Sekitar 5.000-an orang dari Kecamatan Hanau, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, aksi menuntut plasma di perkebunan sawit PT Tapian Nadenggan, anak usaha Sinas Mas Group.. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

Dukungan bupati

Pada 27 September 2022, Bupati Seruyan, Yulhaidir melalui WhatsApp menyampaikan, belum ada persetujuan dengan Direksi Sinar Mas tetapi dia mendukung unjuk rasa warga yang dikoordinir para kades di Apdesi Seruyan itu.

“Mereka akan memberikan jawaban pada 30 September 2022. Mudah-mudahan Dewan Diresi PT Tapian Nadenggan (Sinar Mas Group) sepakat dengan tuntutan warga, sesuai SK Pelepasan Kawasan Hutan 2001 dari Menteri Kehutanan saat itu,” tulis bupati ketiga Kabupaten Seruyan ini.

Yulhaidir, juga sebelum itu Mirwan, menyodorkan salinan Surat Keputusan (SK) Pelepasan Kawasan Hutan yang jadi dasar masyarakat menuntut plasma. SK Menteri Kehutanan yang ditandatangani Nur Mahmudi Ismail itu menerangkan tentang pelepasan kawasan hutan seluas 11.860 hektar di Kelompok Hutan Sungai Seruyan dan sekitar kepada Lestari Unggul Jaya untuk usaha budidaya perkebunan sawit.

Dalam SK itu disebutkan, salah satu kewajiban perusahaan adalah menyertakan masyarakat dalam wadah koperasi perkebunan sebagai mitra perusahaan dengan penyertaan saham minimal 20%. Hal ini harus dituangkan dalam akta notaris sebagai hasil rapat umum pemegang saham (RUPS). SK itu juga menyebut, bila perusahaan tak memenuhi ketentuan ini, bisa kena sanksi sesuai peraturan perundangan berlaku.

Namun, tampaknya, belum sempat Lestari Unggul Jaya menggarap lahan itu, konsesi di hamparan itu beralih kepada Taipan Nadenggan.

Yulhaidir tak tahu kapan peralihan itu terjadi.

Uma Wijaya, Kepala Desa Kalang, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Seruyan, menjelaskan, di wilayahnya tahun tanam sawit Tapian Nadenggan pertama kali pada 2003. Dia memperkirakan peralihan dari Lestari Unggul Jaya ke Tapian Nadenggan terjadi sekitar 2002 atau 2003.

Menurut Uma, perusahaan ini memiliki kebun seluas 3.000 hektar di wilayah desanya. “Di sana masuk dalam Langadang Estate,” katanya.

Dua minggu sebelum unjuk rasa itu, di Kantor Bupati Seruyan, digelar rapat pembahasan kewajiban pembangunan 20% kebun masyarakat di konsesi Tapian Nadenggan. Rapat itu juga dihadiri pejabat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Poin penting yang tertuang dalam berita acara pertemuan itu, Tapian Nadenggan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana disebut dalam SK itu. Tapian Nadenggan diberi waktu 15 hari kerja untuk melaksanakan kewajiban itu.

Berita acara pertemuan itu ditandatangani oleh Yulhaidir; Kepala Bagian Evaluasi dan Perizinan KLHK, Suparman, dan para pejabat yang mewakili jajaran Forum Komunikasi Pemerintah Daerah (Forkominda). Namun, dari Tapian Nadenggan tak bertanda tangan.

Kenapa plasma, sedangkan kewajiban yang tertera pada SK Pelepasan Kawasan Hutan untuk perusahaan di konsesi itu seharusnya dalam bentuk saham untuk masyarakat dalam bentuk koperasi perkebunan?

Yulhaidir mengatakan, kalau dihitung saham, mungkin perusahaan merasa rugi. “Saya katakan, nggak usahlah saham. Yang penting, 20% lahan yang dilepaskan itu untuk masyarakat. Itu saja. Kalau saham mungkin memberatkan mereka,” kata Yulhaidir melalui sambungan telepon, 28 September itu.

Setelah 30 September, Tapian Nadenggan belum mau penuhi tuntutan warga. Melalui surat kepada Bupati Seruyan, Tapian Nadenggan justru menyatakan dasar tuntutan pengunjuk rasa, SK Menteri Kuhutanan No 19/Kpts-II/2001 tak bisa berlaku.

Tapian nyatakan, berdasarkan jawaban KLHK atas permintaan klarfikasi berita acara rapat pembahasan kewajiban pembangunan 20% kebun masyarakat di konsesi Tapian Nadenggan, berdasarkan SK Menhut 2001 itu.

Dalam surat yang ditandatangani Feredy, Direktur Tapian Nadenggan menyatakan, berkomitmen memenuhi kewajiban fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar (FPKSM) sesuai regulasi yang berlaku saat ini.

Tapian mengusulkan pada Bupati Seruyan akan memenuhi kewajiban plasma setelah menerima penyerahan calon lahan untuk plasma. Bila tak tersedia lahan lagi, Tapian menyatakan memenuhi kewajiban FPKSM dalam bentuk kemitraan lain.

 

Aksi ribuan warga di Seruyan, tuntut plasma sawit. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

***

Seruyan merupakan kabupaten dengan perkebunan sawit paling luas di Kalimantan Tengah.

Yulhaidir menyebut, 500.000 hektar—dari hampir 2 juta hektar di Kalimantan Tengah—kebun sawit di Seruyan.

Menurut dia, sepantasnya perusahaan memberikan 20% dari konsesi untuk masyarakat. Sebab, dahulu, konsesi-konsesi perusahaan itu merupakan kawasan hutan yang jadi sumber mata pencaharian masyarakat.

“Dulu, di lahan perkebunan itu tempat masyarakat bertani, cari karet, cari rotan, ikan, berburu. Setelah masuk kebun, hilanglah itu. Nah, di situ negara hadir. Perkebunan yang mendapatkan hak dari pelepasan kawasan hutan, dialihkan untuk perkebunan, maka diberikan kewajiban 20% untuk masyarakat. Cuma perusahaan banyak belum melaksanakan itu. Tugas saya mengawal agar itu dilaksanakan,” kata Yulhaidir.

Bentang alam Seruyan mulai berubah dari wilayah hilir ke tengah karena konversi ke sawit terjadi sejak awal kabupaten ini berdiri pada 2002.

Adalah Darwan Ali–meninggal dunia November 2019–, bupati pertama dan menjabat dua periode memberikan izin terbanyak untuk perusahaan sawit. Sawit dianggap sebagai solusi untuk menyediakan tenaga kerja saat industri kayu jadi andalan Seruyan sebelum 2000 berakhir.

Sedari awal pun kewajiban pemberian plasma manjadi isu penting bagi masyarakat. Namun, Darwan Ali gagal mewujudkan plasma untuk masyarakat, meski menjabat 10 tahun.

Pada periode kedua, dia beberapa kali jadi sasaran demonstrasi masyarakat Seruyan yang menuntut realisasi plasma. Satu demonstrasi besar pada 2011. Saat itu, warga datang ke Gedung DPRD di Kuala Pembuang, ibukota Seruyan, memprotes pencaplokan lahan oleh Sinar Mas Group dan menuntut realisasi plasma. Namun, Darwan tak memberikan jawaban yang menggembirakan pengunjuk rasa.

Alih-alih dinilai berhasil menciptakan kesejahteraan masyarakat melalui sawit, Darwan justru hanya berhasil mendirikan ‘kerajaan bisnis’ keluarganya sendiri.

 

Warga yang berdatangan sat aksi tuntut plasma di Seruyan. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

Mongabay dan Gecko Project menurunkan laporan investigasi perihal melalui artikel berjudul Menguak Aksi Kerajaan Kecil Sawit di Kalimantan yang terbit pada Oktober 2017.

Dia bilang, dukungan terhadap realisasi plasma masyarakat merupakan kelanjutan perjuangan sejak menjadi anggota DPRD dan wakil bupati di era Bupati Sudarsono.

Yulhaidir bersama Budiardi—meninggal dunia–anggota DPRD di era Darwan Ali termasuk para politisi yang kerap mendampingi dan menyuarakan plasma untuk masyarakat. Dia juga mendampingi masyarakat saat demonstrasi besar masyarakat Seruyan pada 2011.

Plasma sawit masyarakat mulai terealisasi saat Sudarsono menjadi bupati dan Yulhaidir sebagai wakil. Namun belum banyak. Dia yakin, peran kepala daerah sangat penting untuk mewujudkan tuntutan masyarakat.

“Kebijakan plasma 20% ini kalau tidak didukung kepala daerah, nol. Omong kosong. Harus ada dukungan dari kepala daerah, sebagai pemangku kepentingan, sebagai yang punya otoritas di situ.”

Pada 16 Juli 2022, Yulhaidir terpilih sebagai Ketua Asosiasi Kabupaten Penghasil Sawit Indonesia (AKPSI). Ini organisasi bagi kabupaten-kabupaten penghasil sawit di Indonesia, yang sepertinya langsung membetot perhatian pemerintah pusat. Anggotanya sudah mencapai 50 kabupaten, dari 160 kabupaten penghasil sawit di Indonesia.

Tito Karnavian, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan hadir pada acara pelantikan dia sebagai ketua umum dan pengurus AKPSI lainnya di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta.

AKPSI, katanya, didirikan agar tata kelola dan keuntungan sawit lebih adil bagi kabupaten-kabupaten penghasil. Realisasi plasma 20% dari perusahaan, kata Yulhaidir, juga merupakan program AKPSI.

Selain menuntut kebijakan bagi hasil sawit dari pemerintah pusat atau pungutan Rp25 per kilogram tandan buah segar (TBS) sawit dari kebun korporasi untuk kabupaten penghasil sawit.

 

Masyarakat dari Kecamatan Hanau, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, aksi menuntut plasma di perkebunan sawit PT Tapian Nadenggan,. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

***

Aryo Nugroho Waluyo, Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya, menilai, tuntutan plasma oleh masyarakat Seruyan terhadap Tapian Nadenggan itu sah.

“Saya berpandangan itu bahkan sebagai salah satu resolusi konflik. Tidak hanya di Seruyan. Di mana pun yang sudah tidak ada lagi tanah bagi masyarakat, bagi rakyat sekitar, (tuntutan) itu sah,” katanya melalui sambungan telepon, 29 September lalu.

Dia berpendapat, merujuk Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), tanah itu untuk kesejahteraan rakyat. UUD 1945 Pasal 33 pun menegaskan itu. Dalam praktiknya, pengaturan soal tanah di Indonesia lebih ditentukan oleh kepentingan korporasi.

Karena itu, dia menilai, tanah untuk plasma yang diminta masyarakat sebenarnya rampasan milik rakyat. “Yang dirampas oleh perusahaan berdasarkan izin dari pemerintah daerah.”

Aryo mengatakan, ketentuan soal kewajiban perusahaan memberikan kebun masyarakat seluas 20% itu selalu tercantum pada setiap regulasi perkebunan. Bahkan, UU Cipta Kerja dan turunannya juga mengatur fasilitasi perkebunan 20% untuk masyarakat.

“Apakah kuat dengan SK pelepasan yang (tertulis diberikan pada) Lestari Unggul Jaya tadi dan yang (menguasai) sekarang (dikuasai Taipan Nadenggan)? Sederhana saja. Hukum itu melihat aturan yang masih berlaku. Soal 20% plasma yang dituntut warga itu relate sampai hari ini.”

 

Rumuskan aturan jelas

Masalahnya, kata Aryo, dari dulu banyak politisi hanya bersuara setuju dan mendukung pemberian plasma, tetapi tak didukung pembuatan aturan yang mengikat dan jelas.

“Fenomenanya, pemerintah mendukung, ada dukungan dari Yulhaidir, Bupati Seruyan. Bahkan, sebelumnya gubernur membuat statement wajib, kalau enggak memberikan plasma izin dicabut dan segala macam. Ini kan statement. Nggak bisa kita secara hukum itu dijalankan. Yang bisa dijalankan adalah aturan.”

Aturan itu, hendaknya terumuskan dalam bentuk peraturan daerah. “Ini penting karena, yang menjadi problem saat ini mekanisme pemberian plasma itu.”

Sejak berlaku Permentan 2007 yang mewajibkan perusahaan memberikan 20% plasma dari konsesi, lalu Permentan 2013 yang menambahkan ayat plasma di luar kebun inti, hingga kini belum ada aturan lebih detail dibuat pemerintah daerah yang bisa dieksekusi untuk mendesak perusahaan mengeluarkan plasma.

Perusahaan, katanya, pasti akan menggunakan aturan yang menguntungkan mereka. Untuk itu, katanya, peraturan dari pemerintah daerah bisa memperjelas mekanismenya.

Untuk konteks sebagian besar Kalimantan Tengah saat ini, tak ada lagi tanah di luar konsesi yang bisa jadi plasma.

“Perusahaan harus mau merelakan sekurangnya 20% dari lahan inti untuk kebun masyarakat.”

Keterlibatan pemerintah daerah dalam mengemas aturan ini, kata Aryo, harus sampai ke hal rinci pembentukan koperasi. Jangan sampai, katanya, ketika plasma turun, anggota koperasi yang mendapatkan berkah bukan dari kalangan masyarakat sekitar.

Dia contohkan, kasus buruk yang menimpa masyarakat Desa Penyang, Kotawaringin Timur.

“Di Penyang itu, tanah kembali lewat koperasi. Tapi koperasinya orang mana? Bukan orang-orang Penyang. Ini jauh dengan tujuan sebenarnya plasma itu untuk masyarakat sekitar.”

Dalam perumusan plasma untuk masyarakat, katanya, pemerintah daerah jangan memilih skema yang memberatkan masyarakat. Dalam skema plasma yang umum, dengan pola kredit. Padahal, menurut regulasi ada opsi lain yaitu hibah.

Dia menyarankan, jangan sampai setelah lebih dari dua dekade menanti, begitu dapat plasma, masyarakat masih terikat utang hingga beberapa tahun berikutnya. Peringatan ini Aryo sampaikan karena melihat ada indikasi skema yang akan ditawarkan untuk plasma itu dengan cara kredit.

“Kalau ingin menyejahterakan rakyat, kita berhitung, perusahaan itu sudah mendapatkan keuntungan beberapa tahun. Hingga (seharusnya) bukan menggunakan pola kredit, tapi hibah. Ya sudah itu diserahkan kepada rakyat. Nggak perlu tetek bengek lagi.”

Dia juga mengingatkan, menjelang tahun politik 2024, keseriusan membela kepentingan masyarakat harus ditunjukkan para politisi di pemerintahan.

 

 

 

*********

Exit mobile version