Mongabay.co.id

Belajar dari Masyarakat Mane, Mengatasi Konflik Manusia dengan Gajah

Gajah sumatera, berstatus dilindungi tapi tidak menjamin hidupnya bebas dari perburuan liar. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Baca sebelumnya:

Masa Depan Gajah Sumatera di Hutan Ulu Masen

Pagar Kejut, Mitigasi Konflik Manusia dengan Gajah di Ulu Masen

**

 

Masyarakat di Kecamatan Mane, Kabupaten Pidie, yang berjarak 203 km dari Banda Aceh, Ibu Kota Provinsi Aceh, telah mengalami konflik dengan gajah sejak 1990-an.

T. S. Halim, Sekretaris Camat Mane, yang sebelumnya menjabat Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong [PMG] Lutueng, menuturkan pengalamannya bersama masyarakat dan sejumlah pihak menangani perseteruan tersebut.

Terlebih, di Kecamatan Mane yang memiliki jumlah penduduk sekitar delapan ribu jiwa tersebut, tidak hanya dihuni masyarakat lokal, tetapi juga ada pendatang dari Jawa, Makassar, dan Sumatera Barat.

Berikut petikan wawancara Mongabay Indonesia dengan T. S. Halim di ruang kerjanya di Kecamatan Mane, baru-baru ini.

 

Gajah sumatera, dulu dihormati kini dianggap sebagai pengganggu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Bagaimana pandangan masyarakat Mane terhadap satwa liar?

Halim: Secara umum, masyarakat tahu dan mengerti bila satwa liar terutama gajah dan harimau itu, dilindungi. Tidak boleh diburu. Ada konsekuensi bila jenis tersebut diburu.

 

Mongabay: Selain dengan gajah, apakah masyarakat Mane pernah berkonflik dengan satwa liar lain?

Halim: Dulu, sebelum tahun 1990-an berkonflik dengan harimau. Saat itu, gangguannya berupa ternak yang dimakan. Bahkan, ada harimau berkeliaran di sekitar kebun yang tentunya berdampak pada aktivitas masyarakat. Tapi, setelah tahun 90-an konflik harimau sudah jarang terdengar.

Justru dengan gajah, sekarang. Sebenarnya, dari dulu ada juga konfliknya hanya intensitasnya  sangat rendah. Kemungkinan satu tahun sekali. Waktu itu, saya masih kecil dan justru penasaran bila ada gajah datang, ingin melihat langsung meski dari jauh.

Tahun 90-an, meski banyak gajah datang mendekati kampung kami, tapi belum menjadi masalah bagi masyarakat. Bisa jadi, saat itu makanannya di hutan masih banyak, sehingga tidak menggangu pertanian atau kebun masyarakat.

Sejak tahun 2000-an, gajah liar mulai sering datang juga menghancurkan tanaman, terkadang gubuk petani.

 

Pembuatan pagar kejut bertujuan mencegah terjadinya konflik antara manusia dengan gajah. Foto: Dok. BKSDA Aceh/FFI

 

Mongabay: Masyarakat resah dengan kondisi tersebut? Apa yang dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik?

Halim: Benar. Kami semua berpikir mengatasi persoalan tersebut.

Di Kecamatan Mane, ada Lembaga Pengelolaan Hutan Desa [LPHD], sebagai wadah aspirasi. Dalam rapat LPHD diusulkan untuk menangani konflik satwa liar secara swadaya dan swakelola.

Dibentuklah kelompok patroli hutan dengan jumlah 10 orang dari empat desa. Dananya disetujui dari anggaran pemerintah desa.

 

Mongabay: Apakah penggunaan dana desa bisa digunakan untuk kegiatan mitigasi konflik manusia dengan gajah?

Halim: Bisa. Saya bertugas mencari informasi yang bisa dilakukan di Kecamatan Mane, dengan menggunakan dana bantuan pusat, yang tidak bertentangan dengan regulasi dan undang-undang.

Kami mendapatkan formulasinya untuk penanganan hutan, sehingga memiliki wewenang menggunakan dana desa. Secara umum, dana desa bisa digunakan untuk lima bidang pembangunan. Yaitu, penyelenggaraan pemerintahan desa, pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat, pembinaan masyarakat, dan penanganan keadaan mendesak atau darurat.

Untuk LPHD, masuk bidang pembangunan desa dibawah sub-bidang kehutanan dan lingkungan hidup. Jadi, pemerintah gampong tidak perlu ragu/takut memanfaatkan dana desa ini.

Di bagian sub-bidang kehutanan dan lingkungan hidup, ada dua kegiatan yang digunakan:  pengelolaan hutan desa dan pengelolaan lingkungan hidup milik gampong. Keduanya masuk  ranah LPHD. Untuk pengelolaan hutan milik gampong, salah satu kegiatannya adalah patroli hutan desa dan pemasangan pagar kejut.

Jadi setahunnya, di empat desa ini dianggarkan untuk penanganan hutan desa, patroli, penggiringan gajah, juga pengadaan bibit tanaman keras seperti petai, durian, dan alpukat. Serta, untuk kegiatan reboisasi yang sudah berjalan empat tahun.

 

 

Pagar kejut diharapkan dapat mencegah gajah memasuki permukiman masyarakat di Kabupaten Pidie, Aceh. Foto: Dok. BKSDA Aceh/FFI

 

Mongabay: Untuk patroli hutan yang terdiri dari masyarakat desa, bagaimana cara memilih orangnya?

Halim: Berdasarkan keahlian dan pengalaman mereka. Seperti, warga yang pernah berpartisipasi dalam kegiatan BKSDA Aceh atau lembaga swadaya masyarakat. Mereka yang kami rekrut.

 

Mongabay: Bagaimana bentuk mitigasi konflik yang dilakukan?

Halim: Sebulan rutin kami lakukan sebulan sekali. Bila diketahui ada rombongan gajah mendekati permukiman, akan kami lakukan penggiringan.

Sebelumnya kami menggunakan bunyi-bunyian seperti kentongan. Awalnya berpengaruh, karena gajah yang mendengar bunyi-bunyian melihat obor, kembali ke hutan. Namun, setelah intensitasnya bertambah, mulai tidak berpengaruh.

Lalu, kami menggunakan mercon yang semakin lama juga tidak pengaruh. Akhirnya, kami berinisiatif memasang pagar kejut.

 

Mongabay: Bagaimana perkembangan pemasangan pagar kejut?

Halim: Pemasangan dilakukan sejak 2021 di empat desa yaitu Desa Blang Dalam, Desa Lutueng, Desa Mane, dan Desa Turue Cut. Pagar kejut ini membatasi pergerakan gajah untuk tidak masuk permukiman.

Perawatan alat masih disubsidi pemerintah, namum kami usahakan ada dari desa.

 

Mongabay: Cara lain yang dilakukan untuk menghindari konflik dengan gajah?

Halim: Masyarakat juga melakukan upaya preventif, yaitu menanam tanaman yang tidak disukai gajah. Tanaman yang membuat gajah enggan untuk melewatinya, seperti jeruk nipis atau kayu manis.

 

 

Seekor gajah liar terlihat berada tidak jauh dari pagar kawat kejut di Kabupaten Pidie, Aceh, sebagai bentuk mitigasi konflik manusia dengan gajah. Foto: Dok. BKSDA Aceh/FFI

 

Mongabay: Tanaman itu bermanfaat bagi masyarakat?

Halim: Tentu saja. Hasil penjualan jeruk nipis nantinya bisa digunakan untuk biaya perawatan pagar kejut. Pembersihan dari batang yang menyangkut di pagar atau benalu, harus rutin dilakukan setiap bulan.

Bila banyak yang harus dibersihkan, tentunya masyarakat harus menginap di hutan. Nah, semua ini harus dipikirkan.

 

Mongabay: Harapan Anda terhadap masyarakat dan lingkungan?

Halim: Semoga mitigasi bisa dilakukan dengan baik, sesuai harapan. Tidak ada gajah yang terluka dan tidak ada pula kerugian di masyarakat.

Masyarakat diharapkan bijak, dalam menghadapi dan mengatasi kehadiran gajah liar, tanpa harus melanggar aturan yang ada.

Kedepan, kita harapkan inisiatif masyarakat untuk menjaga lingkungan muncul dengan sendirinya.

 

Exit mobile version