Mongabay.co.id

Pertemuan G20 Dinilai Abai terhadap Kepentingan Perempuan

 

Forum Group of Twenty (G20) sebagai bagian dari sistem dan mekanisme ekonomi politik global dinilai telah mereproduksi solusi palsu dalam isu ekonomi, politik, sosial, dan lingkungan, yang salah satunya diakibatkan proses dan substansi yang minim dari partisipasi publik.

Pada pelaksanaan G20 tahun ini sebagai tuan rumah, presidensi Indonesia akan membahas tiga utama, yaitu penanganan kesehatan yang inklusif, transformasi berbasis digital, dan transisi menuju energi berkelanjutan. Tak ada satu isu pun yang secara khusus membahas kepentingan perempuan.

Menurut Suryani, Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan (SP) Anging Mammiri, perempuan akar rumput kehilangan ruang hidupnya akibat kerakusan korporasi dan negara yang mementingkan pembangunan yang justru memperparah situasi perempuan.

“Perempuan buruh migran terancam oleh jerat perdagangan manusia dan penyiksaan oleh majikan akibat tak mampu menemukan sumber penghidupan di negara sendiri,” ungkap Suryani dalam diskusi yang diselenggarakan oleh SP Anging Mammiri, di Makassar, Kamis 20 Oktober 2022.

Selain itu, lanjut Suryani, perempuan petani dan nelayan kehilangan akses dan kontrol terhadap sumber penghidupannya, akibat kebijakan dan proyek yang dirancang oleh negara, seperti pembangunan Makassar New Port (MNP) sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) dan PTPN XIV di Takalar. Sedangkan perempuan miskin kota semakin menderita karena terdampak oleh krisis iklim dan bencana ekologi.

baca : Berharap G20 jadi Momentum Kuatkan Aksi Iklim

 

Diskusi bertema G20 abaikan kepentingan perempuan yang diselenggarakan oleh Solidaritas Perempuan (SP) Anging Mammiri di Makassar, Kamis 20 Oktober 2022. Foto: Heri

 

SP Anging Mammiri yang selama ini konsisten menyuarakan kepentingan perempuan buruh migran, kelompok miskin kota, nelayan dan petani, di akar rumput telah mendokumentasikan berbagai pengalaman dan situasi ketidakadilan yang dialami oleh perempuan akibat berbagai kebijakan dan proyek pembangunan yang dirancang pemerintah tanpa mempertimbangkan aspek gender.

“Negara justru hadir sebagai aktor yang melanggengkan kekerasan terhadap perempuan melalui perampasan ruang hidup dan kedaulatan perempuan. Melalui berbagai forum internasional, seperti G20, negara justru merancang kesepakatan yang tidak menyelesaikan masalah dan lagi-lagi menimbulkan ketidakadilan dan pemiskinan terhadap perempuan,” ungkap Suryani.

 

Keadilan Iklim

Salah satu isu utama yang dibahas dalam G20 terkait transisi menuju energi terbarukan. Di dalam negeri, pemerintah terus mendorong kendaraan listrik, mengikuti tren yang terjadi di Amerika di Eropa.

Untuk memproduksi mobil listrik salah satu komponen utama adalah baterai yang bahan bakunya adalah nikel. Tingginya permintaan akan nikel mengakibatkan semakin besarnya pembukaan lahan hutan untuk tambang nikel, khususnya di Sulawesi.

“Tren mobil listrik telah meningkatkan permintaan atas nikel sebagai bahan baku pembuatan baterai mobil listrik. Permintaan pasar yang tinggi menyebabkan industri nikel semakin bertumbuh, legal maupun ilegal,” ungkap Wahyu Chandra, dari Mongabay Indonesia.

Ia kemudian menceritakan pengalaman perjalanan liputan ke sejumlah kawasan tambang nikel, di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah.

“Melihat sendiri bagaimana tambang-tambang tersebut bekerja mengakibatkan kerusakan terhadap ruang hidup masyarakat, seperti kebun, sawah, pesisir, adalah pengalaman yang mengerikan. Di sungai Malili bisa kita lihat sungai yang dulunya jernih berubah menjadi lautan lumpur, atau sawah-sawah di Kolaka yang hancur karena genangan lumpur sisa tambang nikel yang dibuang begitu saja ke sungai,” katanya.

baca juga : Menakar Komitmen Indonesia untuk Lingkungan di G20

 

Perempuan Pulau Kodingareng dan aktivis menyuarakan keprihatinan atas kondisi mata pencaharian nelayan yang terganggu dengan adanya tambang pasir laut di perairan Makassar untuk pembangunan MNP. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Menurut Wahyu, kendaraan listrik yang awalnya dinilai sebagai sebuah solusi tetapi malah kemudian menjadi masalah ketika dalam produksinya justru mengorbankan lingkungan hidup dan masyarakat lokal yang tak mendapat apa-apa dari tren mobil listrik tersebut.

“Negara-negara yang menjadi anggota G20 yang sedang mengembangkan kendaraan listrik justru memberi beban ke negara-negara produsen nikel sebagai bahan baku pembuatan baterai kendaraan,” katanya.

Wahyu juga bicara terkait keadilan iklim dan kaitannya dengan perubahan iklim. Perubahan iklim ditandai dengan meningkatnya emisi karbon disebabkan kerusakan lapisan ozon, perubahan fungsi hutan dan gas buangan industri justru disebabkan oleh sebagian besar negara-negara yang tergabung dalam G20.

“Prinsip utama keadilan iklim adalah mengakui kenyataan bahwa orang-orang yang tidak memicu perubahan iklim justru mengalami dampak terburuk perubahan iklim. Inilah yang terjadi ketika negara-negara besar terus memproduksi emisi karbon lalu seluruh dunia harus merasakan dampaknya.”

Di dalam negeri, pemerintah mendorong perdagangan karbon namun melupakan bahwa perubahan iklim justru terjadi akibat buruknya tata kelola industri ekstraktif. Perdagangan karbon pun hanya akan menjadi solusi palsu sebagai greenwashing jika industri tidak bersungguh-sungguh menurunkan emisi mereka.

“Di sinilah ketidakadilannya, negara-negara maju memproduksi emisi karbon sementara negara-negara lain yang harus menanggung dengan ‘dipaksa’ menjaga hutan, yang kadang malah mengabaikan keberadaan masyarakat yang ada di sekitar hutan.”

baca juga : Masyarakat Pesisir Harus Berperan Besar dalam Presidensi G20

 

Sejumlah aktivis perempuan di Makassar menuntut keadilan lingkungan terkait persoalan lingkungan di Sulsel. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Merebut Kembali Ruang Rakyat

Menurut Rizki Anggriana Arimbi, Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulawesi Selatan, pelaksanaan G20 di Bali adalah sebuah upaya konsolidasi jaringan modal global yang mengalami permasalahan seiring terjadinya Covid 19.

“Kekhawatiran kita bahwa G20 akan mempertegas konsolidasi jaringan modal global, di mana pandemi dijadikan sebagai suatu alasan. Ini adalah sebuah bukti bagaimana kapitalisme global itu sudah runtuh, sistem ekonomi global runtuh. Justru kemudian petanilah yang membuat masyarakat dunia bisa bantu dan pulih. Petanilah yang membantu warga dunia bisa bertahan, dan menyediakan lapangan kerja yang luas.”

Rizki lalu menyoroti kondisi keterpurukan masyarakat akibat terebutnya ruang hidup karena perampasan lahan dengan dalih pembangunan.

“Kita sedang tak baik-baik saja, sedang di ujung tunduk dalam mempertahankan ruang-ruang hidup, serta bagaimana perempuan-perempuan mempertahankan sumber-sumber penghidupannya,” katanya.

Menurut Rizki, segala bentuk perampasan ruang itu berkorelasi langsung dengan semakin tingginya angka kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, perkawinan anak.

“Perampasan lahan membuat masyarakat harus meninggalkan kampung halaman. Mereka kemudian menjadi buruh migran. Semua ini berkorelasi perampasan sumber-sumber agraria, karena mereka tidak lagi memiliki kedaulatan atas kampung, tidak ada lagi kemerdekaan untuk menggarap tanah dan kebunnya, dan mencari penghasilan dari laut.”

Perampasan lahan atas nama pembangunan ini telah berlangsung lama, di semua rezim pemerintahan. Di masa pemerintahan orde baru digagas melalui Repelita, lalu di masa SBY pemerintah mencanangkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dengan membagi provinsi-provinsi dengan sejumlah koridor-koridor. Di masa pemerintahan Jokowi berganti nama menjadi proyek strategis nasional.

“Melalui sejarah panjang ini banyak rakyat tergusur, nelayan tersingkir. Produk kebijakan yang semakin liberal itu berkelindan dengan konsolidasi modal. Ini adalah sebuah sejarah perampasan yang panjang. Hal-hal ini tidak berubah mengakibatkan rakyat di mana pun berada dalam posisi yang terancam.”

Kehadiran UU omnibus law memperparah perampasan ini yang dinilai seperti kembali ke zaman Belanda. Siapa yang tidak bisa membuktikan tanahnya tanpa ada sertifikat itu secara langsung akan menjadi tanah negara. Di saat yang sama karpet merah justru diberikan ke korporasi dengan penguasaan lahan yang luas, baik untuk sawit, tambang, tebu, karet, dan lainnya.

“Kita tahu bahwa penguasaan korporasi untuk sawit saja itu menguasai 16 juta hektar, yang bahkan oleh Sawit Watch disebutkan ada 21 juta hektar. Kalau untuk tambang itu 40 juta hektar, belum lagi untuk tebu, karet, dll. Dengan semuanya ini, dengan perubahan kawasan-kawasan kampung menjadi kawasan perkebunan, kawasan hutan, reklamasi pesisir, lalu kita akan ke mana?”

Rizki kemudian menyuarakan perlawanan, apalagi dengan masifnya pengusahaan modal yang terus berkonsolidasi dengan pemerintah.

“Kita pun harus berkonsolidasi dari bawah, membangun gerakan kolektif dalam menyuarakan kedaulatan rakyat.”

 

Exit mobile version