Mongabay.co.id

Sistem Buka-Tutup Diharapkan Perbaiki Ekosistem Laut yang Rusak Akibat Destructive Fishing

 

Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia melalui program Penguatan Ekonomi dan Konservasi Gurita Berbasis Masyarakat (Proteksi Gama) di Pulau Langkai dan Lanjukang Kota Makassar telah menginisiasi sistem buka-tutup kawasan seluas 200 hektar. Diharapkan melalui sistem buka-tutup ini akan melindungi ekosistem dari tekanan destructive fishing.

Alief Fachrul Raazy, koordinator program Proteksi Gama YKL Indonesia, menyatakan bahwa keberadaan sistem buka-tutup kawasan ini telah memberi harapan baru terkait pengelolaan perikanan kecil berkelanjutan di kedua pulau tersebut. Sebuah studi akhir yang dilakukan pada September 2022 lalu menunjukkan adanya perbaikan terumbu karang di sekitar lokasi yang dikonservasi.

“Meskipun hasil ini masih harus ada studi lanjutan, namun setidaknya terlihat ada recovery terumbu karang, apalagi di lokasi tersebut dulunya memang masif penggunaan bom dan bius,” ungkapnya dalam launching buku berjudul ‘Siasat dari Pulau: Konservasi melalui Tata kelola Gurita di Pulau Langkai dan Lanjukang’, yang dilaksanakan YKL Indonesia di Hotel Aston Makassar, Senin (24/10/2022).

Ia berharap upaya yang didukung Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) dan Burung Indonesia ini bisa menjadi model pengelolaan laut di daerah lain, sebagaimana tujuan dari pembuatan buku ini, sehingga kawasan yang terlindungi sementara bisa semakin luas, sekaligus mengurangi tekanan atas laut dari penggunaan alat tangkap yang tak ramah lingkungan.

“Buku ini juga tidak mencoba menghadirkan sebuah informasi yang utuh dan komprehensif, tak ada juga teori-teori. Sebagian besar hanyalah penjelasan bagaimana program ini dimulai, proses-prosesnya, dan hasil akhir program yang tentu saja masih jauh dari harapan.”

Ia berharap buku ini bisa menjadi referensi ketika ada pihak atau lembaga lain yang akan melakukan inisiatif yang sama, baik untuk komoditas gurita, ataupun untuk komoditas lainnya, di kemudian hari.

baca : Nelayan Makassar Sepakat Tutup Sementara Wilayah Tangkap Gurita

 

Diskusi dan launching buku terkait pembelajaran tata kelola gurita, dilaksanakan oleh Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia di Hotel Aston Makassar, Senin (24/10/2022). Foto: Muhammad Fauzi Rafiq/YKL Indonesia

 

Terkait judul ‘Siasat dari Pulau’, YKL Indonesia ingin menghadirkan pemahaman bahwa program Proteksi Gama tak lebih dari sebuah ‘siasat’ dalam pengertian positif, dari masyarakat pulau untuk berdaya dan mempertahankan eksistensi perairan mereka dari berbagai ancaman destruktif, baik itu bom, ikan, cantrang dan ancaman lainnya.

“Siasat ini lahir dari sebuah kesadaran bahwa laut sebagai sumber pencaharian mereka hanya akan bisa eksis memenuhi kebutuhan ekonomi mereka jika terjaga dengan baik. Selama ini berbagai praktik penangkapan ikan secara destruktif telah menghancurkan terumbu karang, yang notabene merupakan rumah baik ikan dan biota penting lainnya, seperti gurita yang kini sedang mereka usahakan,” katanya.

Kepala Bidang Perikanan Tangkap, Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Pemerintah Provinsi Sulsel, Andi Agung, menyatakan mendukung apa yang telah dilakukan YKL Indonesia melalui sistem buka-tutup ini, meski ia berharap dalam setiap kegiatan selalu berkoordinasi dengan dinas.

Ia juga berharap agar program-program perikanan kecil berkelanjutan tidak hanya dilakukan di Makassar, tetapi juga di daerah lain yang memiliki potensi perairan yang lebih besar.

“Jangan karena Makassar dianggap dekat sehingga semua kegiatan dilaksanakan di sini, padahal banyak daerah-daerah lain yang perlu mendapat pendampingan, seperti Pangkep atau Selayar yang memiliki tantangan pengelolaan perikanan yang tak kalah besarnya,” katanya.

Koordinator Pengawasan, Pengendalian dan Informasi BKIPM Makassar, Putu Sumardiana, menyarankan agar sistem buka-tutup ini disesuaikan dengan musim gurita ataupun komoditas lain, sehingga ketika buka-tutup dilakukan ada alternatif tangkapan lain.

“Perlu juga dipertimbangkan bahwa ketika proses buka-tutup dilakukan bertepatan dengan harga gurita, sehingga nelayan bisa dapat harga yang bagus,” katanya.

baca juga : Perairan Tangkapan Gurita di Ndori Ditutup Sementara. Ada Apa?

 

Direktur Eksekutif YKL Indonesia, Nirwan Dessibali, menjelaskan program Proteksi Gama menggunakan poster. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Demersal Indonesia (ADI), M. Mukhlis Kamal, lebih dari 90 persen nelayan Indonesia adalah nelayan kecil yang menangkap ikan di daerah pesisir. Jika perikanan besar hanya mempekerjakan 2 juta orang, maka perikanan kecil jumlah tenaga kerja mencapai 30 juta orang. Hal ini menjadi peluang yang besar sekaligus tantangan untuk maju, mandiri, dan berkelanjutan.

“Perikanan skala kecil menyediakan mata pencaharian dan ketahanan pangan bagi nelayan skala-kecil dan masyarakat lokal di wilayah pesisir. Peran penting perikanan skala kecil bisa dilihat dari aspek ketahanan pangan, asupan gizi masyarakat, dan penyedia lapangan pekerjaan,” katanya.

Menurutnya, potensi perikanan Indonesia masih cukup baik, tetapi perlu dikelola secara berkelanjutan. Nilai ekonomi dan manfaat perikanan skala kecil jauh lebih besar daripada skala besar. Ia mendukung upaya buka-tutup ini sebagai sebuah bentuk kearifan lokal dalam mendukung perikanan kecil berkelanjutan.

“Menurut saya perlu melakukan pendekatan kearifan lokal dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan.”

Kolonel (Laut) Ahmad Muharam, Asisten Operasi Komandan Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) VI, dalam paparannya menjelaskan berbagai program kerja dan kegiatan yang dilaksanakan Lantamal VI, salah satunya menjaga keamanan laut, termasuk dari ancaman destructive fishing.

“Sejumlah tantangan yang dihadapi antara lain jangkauan pengawasan laut yang sangat luas dengan infrastruktur terbatas, serta kurang tersosialisasinya aturan-aturan terkait laut serta kurangnya kesadaran masyarakat terkait pentingnya menjaga laut,” katanya.

baca juga : Merawat Perairan Namatota lewat Sasi Nggama

 

Nelayan Pulau Langkai dan Lanjukang bersiap-siap menempatkan pelampung sebagai batas perairan buka-tutup. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Dukungan Regulasi

Berbagai upaya untuk perlindungan kawasan laut melalui pembatasan-pembatasan telah banyak dilakukan, misalnya sasi di Papua dan Maluku, dan awik-awik di Bali dan Nusa Tenggara. Ada juga Panglima Laot di Aceh.

“Sepanjang pengetahuan saya, upaya pembatasan seperti ini jarang dilakukan oleh masyarakat Bugis-Makassar. Sehingga ketika muncul inisiatif untuk melakukannya maka akan sangat menarik dan perlu untuk direalisasikan,” ungkap Munsi Lampe, guru besar antropologi maritim dari Universitas Hasanuddin.

Menurutnya, masyarakat Bugis-Makassar dari dulu sulit melakukan inisiatif pembatasan karena mungkin terpengaruh oleh pengusaha-pengusaha Tionghoa yang kapitalistik.

“Mereka kemudian terbiasa untuk mencari ikan dalam jumlah banyak karena besarnya permintaan pasar dan faktor harga. Mereka ingin terus menerus eksploitasi hasil laut sebagai respons atas pasar,” tambahnya.

Menurutnya, penerapan sistem buka-tutup yang dilakukan di Pulau Langkai dan Lanjukang adalah program yang sangat bagus, yang jika berhasil maka akan diikuti oleh nelayan-nelayan di pulau lain. Tanpa diminta pun masyarakat akan mau terlibat karena dinilai berdampak positif bagi penghidupan mereka.

“Hanya saja, jika ingin program ini berhasil dan berkelanjutan maka harus ada dukungan berbagai pihak, khususnya dari pemerintah melalui aturan atau regulasi. Keberadaan aturan ini akan memberi daya paksa agar masyarakat bisa taat pada aturan yang ada.”

 

Nelayan Pulau Langkai dan Lanjukang, Makassar, menyiapkan perlengkapan untuk melakukan penutupan sementara kawasan laut dari penangkapan gurita selama 3 bulan. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Lanjut dijelaskan Munsi bahwa tanpa ada aturan yang memiliki kekuatan hukum maka kesadaran ini bisa saja hanya akan berlangsung singkat saja. Suatu saat nelayan akan mulai malas, membangkang dan pada akhirnya tidak peduli lagi dengan aturan yang ada. Apalagi jika dia melihat ada nelayan lain yang melakukan pelanggaran namun dibiarkan.

“Pada akhirnya masyarakat akan merasa sia-sia mengikuti aturan pembatasan tersebut. Di sinilah pentingnya peran aturan dari pemerintah.

Menurut Munsi bahwa terdapat sejumlah faktor-faktor yang memungkinkan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil dapat mengubah kebiasaan lama menjadi lebih arif, seperti terbangunnya lembaga pendidikan, baik itu formal dan nonformal berbasis kebutuhan lokal.

Faktor lain adalah tumbuhnya kesadaran lingkungan pada masyarakat, termasuk kesadaran akan hukum positif yang berlaku.

“Faktor lain terkelolanya jenis ekonomi baru dengan efektivitas melebihi keuntungan aktivitas lama yang merusak membom dan membius. Masyarakat juga harus terlibat dan menjadi subjek utama dari setiap program yang dijalankan.”

 

Exit mobile version