Mongabay.co.id

Analisis: ‘Pensiun Dini’ PLTU akan Tekan Emisi dan Buka Lapangan Kerja Bidang Energi Terbarukan

 

 

Rencana Indonesia untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara dan menggantinya dengan energi terbarukan pada tahun 2050, disebut para pengamat tidak hanya layak, -namun dalam jangka panjang biayanya, akan lebih murah daripada mengandalkan batu bara untuk menggerakkan perekonomian.

Dalam sektor ketenagalistrikan, Indonesia saat ini masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil. Pada tahun 2021, sekitar 70 persen listrik yang dihasilkan berasal dari batu bara. Indonesia pun merupakan pengekspor batu bara termal terbesar di dunia.

Analisis yang dilakukan TransitionZero, menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya dapat menghentikan semua 118 fasilitas batu baranya pada tahun 2040, -lebih awal dari yang direncanakan, dengan membeli kembali saham PLTU batu bara sebelum akhir kontrak mereka, sesuai perjanjian jual beli tenaga listrik (power purchase agreements/ PPA).

Demikian pula, penutupan PLTU batu bara akan membuka lapangan kerja baru di bidang energi terbarukan.  Menurut analisis TransitionZero, rata-rata 1.580 pekerjaan baru akan diciptakan dari setiap penggantian fasilitas tenaga batu bara ke tenaga surya; dan 2.265 pekerjaan per penggantian ke tenaga bayu.

Dengan menghentikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara, Pemerintah Indonesia akan berkontribusi dalam mencegah sekitar 1,7 gigaton emisi CO2 dilepaskan ke atmosfer, setara dengan hampir tiga tahun emisi tahunan Indonesia. Ini sejalan dengan upaya membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius.

Analisis ini pun menunjukkan, ketika dampak pembangkit listrik tenaga batu bara bagi masyarakat lokal dan lingkungan diperhitungkan, biaya sebenarnya dari pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia adalah USD67 per megawatt-jam, 27 persen lebih tinggi dari biaya baru untuk energi bersih alternatif.

 

PLTU Suralaya di kota Cilegon, Provinsi Banten. Foto: © Kasan Kurdi/Greenpeace.

 

Peraturan Presiden tentang Percepatan Energi Terbarukan

Tahun lalu, PLN mengumumkan bahwa mereka akan menghentikan PLTU batu baranya pada tahun 2055. Awal tahun ini, Presiden Joko Widodo mengatakan pemerintah akan menutup 5,5 GW pembangkit listrik tenaga batu bara sebelum tahun 2030, dengan perkiraan biaya sebesar USD 6 miliar.

Pada 13 September lalu, Presiden mengeluarkan Perpres Nomor 112/2002 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik yang memerintahkan Kementerian ESDM untuk membuat peta jalan untuk memensiunkan PLTU batu bara, dengan rencana besar untuk menghilangkan pembangkit batu bara pada tahun 2050.

Menurut analisis TransitionZero, untuk menutup seluruh PLTU pada tahun 2040, Indonesia akan membutuhkan USD 37 miliar, atau USD 1,2 juta per megawatt, angka ini diperoleh melalui perhitungan proyeksi data yang disebut Coal Asset Transition (CAT).

Dana ini diperuntukkan menutupi belanja modal, biaya operasional dan margin keuntungan yang dapat diterima oleh pemilik pembangkit listrik. Meskipun mungkin tampak seperti jumlah uang yang besar, namun relatif kecil dibandingkan dengan jumlah uang yang dibayarkan pemerintah untuk mensubsidi batu bara.

Pada tahun 2021 saja, subsidi batubara Indonesia telah merugikan negara lebih dari USD 10 miliar.

Jika dibandingkan dana untuk ‘memperbarui’ PLTU yang ada dengan alat penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon (CCUS) maka biayanya akan jauh lebih besar ketimbang menutup PLTU yang ada.

Proyek CCUS pertama adalah pengembangan Vorwata CCUS BP, yang disebut mampu menangkap dan menyimpan 25 juta metrik ton CO2, berbiaya USD 3 miliar. Untuk memasang teknologi CCUS di semua pembangkit listrik tenaga batu bara milik negara, maka akan menelan biaya total USD 700 miliar (Rp 10.714 triliun).

“Dibandingkan mengeluarkan dana untuk proyek penangkapan karbon, penghentian pembangkit listrik tenaga batu bara lebih awal dari yang diharapkan tidak hanya menguntungkan secara ekonomi tetapi juga akan mengurangi polusi udara,” jelas Matt Gray, CEO TransitionZero, mengatakan dalam siaran pers.“

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), sebuah lembaga think tank kebijakan energi, mengatakan alat CAT dan analisisnya sangat relevan untuk Indonesia karena negara ini sedang bersiap untuk transisi dari batu bara ke energi terbarukan.

“Kami tahu bahwa batu bara masih tumbuh kuat di sini di sejumlah negara, dan di sanalah kami benar-benar harus mempensiunkan sebagian besar armada batu bara jika kita ingin menyelamatkan planet ini dari bencana iklim,” kata Fabby.

 

PLTU Celukan Bawang, Buleleng, Bali. Provinsi Bali sendiri saat ini sudah kelebihan pasokan listrik. Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Upaya Mengundang Investor

Di sisi lain, Pemerintah Indonesia tidak akan mampu menanggung seluruh biaya dari rencana penghentian batu bara itu sendiri.

“Kami mengundang investor, lembaga keuangan, industri, dan pembuat kebijakan untuk meningkatkan kolaborasi guna mendukung transisi energi untuk mencapai emisi nol bersih pada 2060,” sebut Arifin Tasrif, Menteri ESDM seperti dikutip dalam bisnis.com.

Oleh karena itu, Arifin mengatakan pemerintah membuka peluang bagi pihak yang ingin berinvestasi dalam program tersebut. Perusahaan listrik milik pemerintah, PLN sendiri telah mendekati bank dan investor di Jepang dan Korea Selatan tentang kemungkinan pendanaan mereka untuk program pensiun batu bara, saat ini mereka masih mengkaji proposal yang dibuat.

Arifin menyebut pemerintah tengah melakukan pembicaraan dengan Asian Development Bank (ADB) dan Bank Dunia untuk kemungkinan mendanai pensiun dini batu bara.

Selain itu, Indonesia juga sedang bernegosiasi dengan negara-negara G7 untuk membentuk kemitraan di mana negara-negara terkaya di dunia akan mendanai transisi energi di Indonesia.

Negara-negara anggota G7 seperti AS dan Jepang memimpin negosiasi dan kemitraan, yang disebut Just Energy Transition Partnership (JETP), yang rencananya akan diluncurkan pada November 2022.

Tahun ini pemerintah menargetkan akan memensiunkan tiga pembangkit listrik tenaga batu bara. Arifin tidak mengungkapkan nama pembangkit tersebut, tetapi dia mengatakan kemungkinan besar berlokasi di Pulau Jawa, karena pasokan listrik di pulau ini sudah melebihi kapasitas.

TransitionZero mengatakan kemungkinan gelombang awal pembangkit batubara yang pensiun adalah pembangkit listrik yang memproduksi listrik melebihi permintaan, atau yang dikenal sebagai margin cadangan.

TransitionZero menunjukkan bahwa jaringan listrik di pulau Jawa dan Bali memiliki margin cadangan melebihi 55 persen, yang berarti pembangkit listrik menghasilkan kelebihan listrik sebesar 55 persen dari permintaan tertinggi yang diharapkan.

 

PLTU Pacitan, salah satu PLTU yang beroperasi di Jawa Timur. Dok: Kementerian ESDM RI.

 

Berdasarkan beberapa kriteria, TransitionZero mengidentifikasi tiga pembangkit listrik di Indonesia yang paling berpotensi untuk dimatikan lebih awal. Target realistis tersebut adalah PLTU Asam-Asam di Kalimantan Selatan, PLTU Paiton di Jawa Timur dan PLTU Suralaya di Banten.

Jacqueline dari TransitionZero mengatakan pembangkit listrik Paiton dan pembangkit listrik Suralaya berpeluang terbesar untuk pensiun dini, karena biayanya paling rendah dalam upaya penghematan emisi per ton, hanya sekitar USD8 per ton CO2 yang dihemat dari penutupan pembangkit tersebut.

Selain itu, unit Paiton beroperasi di area yang terpapar tekanan air yang signifikan dan risiko polusi udara lokal, dan dengan demikian akan ada manfaat sosial tambahan dengan pensiun dini PLTU ini.

Selain itu, pembangkit listrik Asam-Asam harus diprioritaskan untuk dimatikan karena merupakan salah satu PLTU paling kotor di Indonesia, menurut analisis.

“Dengan sisa umur operasional delapan tahun, menghentikan pabrik tahun ini dapat menghemat sekitar 9 juta ton emisi,” kata TransitionZero dalam analisisnya.

 

Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini: Early retirement for Indonesian coal plants could cut CO2, boost jobs, analysis says. Artikel diterjemahkan oleh Akita Verselita.

 

Exit mobile version