Mongabay.co.id

Dianggap Punah, Jejak Anoa Ditemukan di Tahura Abdul Latief Sinjai

 

Nasrul tak bisa menyembunyikan kegembiraannya ketika menunjukkan sebuah video berisi jejak kaki dan feces (kotoran) Anoa yang ditemukannya di Taman Hutan Raya (Tahura) Abdul Latief Kabupaten Sinjai Jumat 21 Oktober 2022 lalu.

“Ini membuktikan bahwa Anoa belum punah di bagian selatan Sulawesi Selatan sebagaimana disampaikan para peneliti. Di beberapa diskusi tentang Anoa juga saya selalu sampaikan bahwa Anoa masih ada di kawasan Tahura Abdul Latief. Salah satu saksi keberadaan Anoa ini warga bernama Puang Senge,” katanya kepada Mongabay di Makassar, Senin (24/10/2022).

Kegembiraan Kepala Bidang Pengelolaan Tahura Abdul Latif Kabupaten Sinjai ini beralasan. Anoa sendiri termasuk satwa yang sudah sangat sulit ditemukan di beberapa hutan, khususnya bagian selatan Sulsel. Sejak penetapan Tahura Abdul Latief tahun 2008 silam nyaris tak ada aktivitas warga di dalam kawasan hutan dan itu berlangsung hingga sekarang.

“Sebelum tahun 2008 itu masih banyak warga berburu Anoa untuk konsumsi, namun sejak penetapan Tahura otomatis aktivitas itu terhenti, namun di sisi lain sejak saat itu tak pernah ditemukan jejak adanya Anoa di dalam kawasan Tahura hingga saat ini.”

Hal lain yang membuat Nasrul gembira adalah temuan ini menjadi penguat keberadaan Anoa dalam kawasan sehingga sejalan dengan fungsi Tahura sebagai kawasan konservasi Anoa.

“Selama ini Tahura Abdul Latief kita sebut sebagai kawasan konservasi Anoa, namun orang bilang kok tidak ada Anoanya. Orang yang berkunjung sering nanya ada betul Anoanya ini atau tidak? Kita tidak tahu. Temuan jejak ini membuktikan bahwa Tahura Abdul Latief memang habitat bagi Anoa.”

baca : Melacak Leluhur Anoa di Sulawesi

 

Jejak kaki dan kotoran Anoa yang ditemukan di Tahura Abdul Latief Kabupaten Sinjai pada Jumat 21 Oktober 2022 lalu. Foto: Nasrul

 

Penemuan jejak Anoa ini sendiri terbilang kebetulan. Nasrul, dalam rangka kegiatan ‘aksi perubahan’ bagian dari pelatihan kepemimpinan (Latpim) III yang diikutinya memasukkan pencarian Anoa sebagai program kerja, maka dia kemudian membentuk tim identifikasi yang terdiri dari sejumlah staf Tahura Abdul Latief.

Setelah beberapa hari menunggu dan mencari pada Jumat 21 Oktober 2022, akhirnya ditemukan jejak dan feces tersebut masih dalam kondisi hangat, yang berarti belum terlalu lama. Jejak Anoa tersebut lalu didokumentasi dalam bentuk video dan dikonfirmasikan ke ahli Anoa dari IPB, yaitu Dr. Haris Mustari, yang kemudian memastikan bahwa feces tersebut berasal dari Anoa jantan.

“Hasil identifikasi ini sekaligus menjawab keraguan bahwa Anoa belum punah di bagian selatan Sulawesi Selatan,” tambah Nasrul.

Setelah penemuan jejak ini, Nasrul kemudian berkonsultasi ke Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulsel yang berkantor di Makassar. Awalnya pihak balai meragukan temuan tersebut dengan asumsi Anoa telah punah, namun keberadaan video jejak dan feces dan konfirmasi dari ahli membuat pihak balai bergeming, yang kemudian meminjamkan pemakaian kamera trap di lokasi temuan.

“Untuk mendapatkan gambaran utuh dari satwa Anoa, selanjutnya dilakukan pemasangan kamera trap di lintasan yang dilalui Anoa pada 25 Oktober. Mungkin hasilnya bisa kita lihat sebulan kemudian,” ujar Nasrul.

baca juga : Kenapa Anoa Dijuluki Kerbau Kerdil?

 

Nasrul bersama Puang Senge, warga yang tinggal di sekitar Tahura Abdul Latif yang pernah konsumsi Anoa sekitar 20 tahun silam. Foto: Nasrul

 

Selain berterima kasih atas dukungan BKSDA Sulsel, Nasrul juga berharap keberadaan Anoa di Tahura Sinjai nantinya mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat, maupun pemerintah provinsi, untuk bersama mengatasi ancaman kepunahan satwa endemik asli pulau Sulawesi ini.

Fardi Ali Syahdar, Manager Project Flora Fauna Internasional (FFI) Sulsel, menyambut baik temuan jejak Anoa ini dan berharap ini sebagai titik awal mengungkap keberadaan Anoa di Tahura Abdul Latief secara scientific approach. Fardi bersama tim identifikasi Tahura Abdul Latief dan staf BKSDA kemudian langsung menuju lokasi untuk pemasangan kamera trap.

“Temuan jejak Anoa di wilayah selatan ini relatif barulah informasinya. Memang ada banyak informasi warga terkait hal ini namun tidak disertai bukti scientific base-nya. Ini kesempatan juga, apalagi ada pihak Tahura mau tindaklanjuti, makanya kami juga ikut mendukung.”

 

Satwa Dilindungi

Menurut Nasrul, Anoa merupakan satwa mamalia dan endemik yang hidup di daratan Pulau Sulawesi. Populasinya kini menurun drastis dan terancam punah. Ada dua spesies Anoa yang mendiami hutan Sulawesi. Mereka adalah Anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) dan Anoa pegunungan (Bubalus quarlesi).

Kedua spesies ini awalnya banyak perdebatan mengenai status taksonominya. Namun, penelitian terbaru menggunakan teknik DNA barcode telah mengungkapkan bahwa kedua jenis anoa adalah spesies yang berbeda.

Kedua jenis ini tinggal dalam hutan yang tidak dijamah manusia dan termasuk jenis yang agresif dan sulit dijinakkan untuk dijadikan hewan ternak. Kedua jenis ini dibedakan berdasarkan bentuk tanduk dan ukuran tubuh.

Anoa gunung relatif lebih kecil, ekor lebih pendek dan lembut, serta memiliki tanduk melingkar. Sementara anoa dataran rendah lebih besar, ekor panjang, berkaki putih, dan memiliki tanduk kasar dengan penampang segitiga. Banyak yang menyebut anoa sebagai kerbau kerdil. Anoa merupakan hewan yang tergolong fauna peralihan, mamalia tergolong dalam famili Bovidae yang tersebar hampir di seluruh pulau Sulawesi.

Anoa termasuk satwa liar yang langka dan dilindungi Undang-Undang di Indonesia sejak tahun 1931 dan dipertegas dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999. Ini juga diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI No. P.20/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2018 tentang Penetapan Jenis Tumbuhan dan Satwa yang dilindungi.

baca juga : Jalan Sunyi Abdul Haris Mustari Meneliti Anoa

 

Anoa dataran rendah sang penjelajah hutan. Foto: Dok. Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

 

Jejak Anoa di Hutan Bagian Selatan Sulsel

Warga yang tinggal di sekitar gunung Lompo Battang dan Bawakaraeng yang berada di bagian selatan Sulsel sebenarnya masih sering menjumpai keberadaan Anoa di dalam kawasan hutan.

Balang Institute pernah melakukan serangkaian kegiatan untuk menggali informasi mengenai pengetahuan dan pengalaman masyarakat bersentuhan dengan Anoa pada 2019 silam, yang dilanjutkan oleh Forum Masyarakat Konservasi Bantaeng (FMKB) Federasi Mountenering Indonesia (FMI) dan Federasi Panjat Tebing Indonesia (FTMI) yang melakukan penelusuran jejak Anoa di hutan desa Labbo dan Pattaneteang.

Hasilnya, Anoa teridentifikasi masih ada di hutan-hutan dataran tinggi gunung Lompo Battang, Bawakaraeng, dan Latimojong. Keberadaan Anoa tersebut dibuktikan dengan seringnya masyarakat sekitar kawasan hutan menemukan Anoa berkeliaran di kebun warga atau sedang mencari minum di sungai.

Beberapa jenis makanan Anoa dalam bahasa lokal antara lain kombeng-kombeng, katiporo, dan caloli borong. Pada saat musim hujan, Anoa sulit ditemukan namun pada saat musim kemarau, Anoa mudah ditemukan karena mereka berpencar mencari air.

“Di Pa’bumbungan Anoa sesekali didapati merumput bersama sapi milik warga yang dilepas di hutan, di Bonto Tallua. Lokasi yang paling sering Anoa dijumpai adalah di Bonto Canggolong, atau di Bungeng Riwata,” ungkap Adam Kurniawan dari Balang Institute.

Di Bonto Lojong menanam kopi adalah aktivitas utama masyarakat di dalam kawasan hutan. Pada musim kemarau sebagian warga masuk hutan untuk mengumpulkan madu. Saat itulah Anoa kerap dijumpai di Biang Loe, sekitar 15 km dari kampung, Bunrang Mata berjarak 12 km dari kampung dan Je’ne Solong Anrai berjarak 15 km dari kampung.

Di Desa Je’ne Tallasa, Kecamatan Rumbia, Kabupaten Jeneponto, bercocok tanam kopi dan cengkeh adalah aktivitas utama masyarakat dalam kawasan Negara, selain itu pada musim tertentu masyarakat masuk hutan untuk mengumpulkan madu. Anoa sering dijumpai di Parang Tassanjeng dan Lappara Lompoa.*

 

Exit mobile version