Mongabay.co.id

Donny Gunaryadi dan Pesan Konservasi Gajah Sumatera

 

 

Baca sebelumnya:

Masa Depan Gajah Sumatera di Hutan Ulu Masen

Pagar Kejut, Mitigasi Konflik Manusia dengan Gajah di Ulu Masen

Belajar dari Masyarakat Mane, Mengatasi Konflik Manusia dengan Gajah

**

 

Penelitian mengenai gajah sumatera, bukan hal asing bagi Donny Gunaryadi. Sekitar dua dekade, sudah dijalaninya. Uniknya, lelaki jebolan Universitas Indonesia dan University of Kent ini, awalnya menaruh minat pada riset burung liar.

Sedari kuliah, Donny memang menyenangi dunia satwa liar dan kegiatan riset. Saat ini, dia menjabat Ketua Forum Konservasi Gajah Indonesia [FKGI], periode 2020-2023.

Donny pun berbagi pengelamannya mengelilingi habitat gajah di Sumatera beserta mitigasi yang harus dilakukan agar tidak terjadi konflik.

 

Gajah liar yang terpantau di wilayah hutan Sumatera. Foto: Dok. FKGI/L Andreas Sarwono

 

Mongabay: Sejak kecil Anda menyukai dunia satwa liar?

Donny: Semasa kecil saya tinggal di Depok, Jawa Barat. Dulunya, Depok banyak sawah dan kebun. Saya senang mencari burung ayam-ayaman atau belut untuk dimakan.

Sejak SMP, saya mulai tertarik dengan dunia satwa karena ada pelajaran biologi. Ketika kuliah, saya mengambil Fakultas MIPA, Universitas Indonesia [UI]. Sebelum gajah, saya justru diajak penelitian burung di Muara Angke, terutama mengenai teknik survei burung. Hingga, riset saya pun mengenai burung di Kampus UI.

Setelah lulus, saya ingin melanjutkan sekolah dan mendapatkan beasiswa di sebuah NGO. Nah, saat itu tahun 2000, saya membantu program mengenai gajah. Sebagai anak magang sambil menunggu waktunya sekolah, saya senang sekaligus mendapatkan banyak pengalaman.

Jalan saya terbuka lebar di lembaga ini, karena pada akhirnya saya terlibat langsung mengurus gajah, dari 2000 hingga 2013.

 

Mongabay: Selama 13 tahun, apa yang Anda kerjakan?

Donny: Umumnya survei lapangan, memantau keberadaan gajah di semua habitatnya di Sumatera. Saya turun langsung saat ada konflik antara manusia dengan gajah. Dari sini, saya banyak belajar tentang metode penelitian, mitigasi, dan lainnya.

 

Habitat yang semakin sempit membuat kehidupan gajah sumatera semakin terdesak. Foto: Dok. FKGI/L Andreas Sarwono

 

Mongabay: Siapa mentor Anda selama penelitian gajah?

Donny: Simon Hedges dan Martin Tyson. Meski hanya didampingi selama dua tahun, namun saya belajar banyak dari mereka. Selebihnya, saya belajar sendiri dan praktik langsung bersama tim di lapangan.

 

Mongabay: Bagaimana dukungan keluarga?

Donny: Sangat mendukung, tapi tetap ada skala prioritas.

Anak terkecil saya juga sepertinya tertarik dengan dunia konservasi. Ini terlihat saat ikut mendengarkan pembuatan SRAK gajah selama 3 hari. Banyak hal yang dia tanyakan mengenai gajah dan habitatnya.

 

Donny Gunaryadi saat memberikan informasi mengenai gajah sumatera kepada masyarakat luas. Foto: Boyhaqie/FFI

 

Mongabay: Bisa jelaskan terbentuknya Forum Konservasi Gajah Indonesia?

Donny: FKGI bermula dari pertemuan 2005/2006, saat peneliti gajah berkumpul di Pekan Baru, Riau, membahas kegiatan yang harus dicarikan solusi bersama.

Dari sini, dibentuk forum. Anggotanya, para peneliti dan perorangan yang sebagian besar bekerja di NGO dengan proyek gajah.

FKGI mendapat legitimasi pemerintah. Forum ini diakui sebagai wadah berkumpulnya individu yang peduli dengan konservasi gajah. Terdapat mekanisme yang diketahui pemerintah terkait  kegiatan-kegiatan yang dilakukan FKGI.

FKGI seperti “DPR” nya gajah. Membela kepentingan gajah, tapi juga memberikan solusi untuk kepentingan masyarakat yang hidup berdampingan dengan gajah.

 

Mongabay: Bagaimana membela kepentingan gajah?

Donny: Perlu manajemen yang fokus pada konservasi gajah dan program rencana jangka menengah. Bersama pemerintah, FKGI membuat Strategi dan Rencana Aksi [SRAK] Gajah sebagai informasi konservasi gajah sumatera di Indonesia.

Banyak hal yang harus dimasukkan dalam SRAK. Contoh, tahun 2007, di dalam SRAK dikatakan 85% wilayah konservasi untuk habitat gajah, namun 50% saja belum tercapai. Ini bisa dianalogikan seperti hak orang untuk tinggal di suatu tempat, tapi tidak terlaksana. Faktor ini membuat kebijakan konservasi gajah seperti tidak terlihat.

Menurut saya, isu konservasi gajah masih kalah populer. Padahal, kondisinya harus diperhatikan, seperti di Aceh yang tingkat kematiannya tinggi.

 

Mahout berpatroli dengan gajah sumatera di sekitar Taman Nasional Gunung Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Peran forum?

Donny: Forum selalu memberikan masukan, diterima ataupun tidak. Kami juga melakukan kegiatan konservasi setiap saat, seperti penyadartahuan dan berbagi pengetahuan tentang gajah.

Pengurus FKGI saat ini umumnya anak muda. Selain itu, masing-masing lokasi habitat gajah ada koordinator wilayah, yang dapat diajak diskusi terkait berbagai permasalahan.

Kami juga bekerja sama dengan universitas, mendatangkan mahasiswa untuk terlibat penelitian dan membuat buku panduan lapangan yang bisa digunakan tim lapangan.

Ini menjadi show off kami untuk bisa membangkitkan semangat konservasi gajah di Indonesia.

 

Mongabay: Cara Anda dan FKGI mengembangkan informasi konservasi gajah?

Donny: Kami mengembangkan informasi melalui media sosial seperti website dan Instagram [@gajah.indonesia].

Kami juga melakukan penyadartahuan lingkungan kepada masyarakat yang dekat hutan, jarak 5-20 km, karena mereka yang sering bertemu dengan satwa liar dan bisa berakibat konflik.

 

Mongabay: Pesan Anda untuk generasi muda?

Donny: Suarakan konservasi gajah sumatera, dimanapun kalian berada.

 

Exit mobile version