Mongabay.co.id

Sumpah Pemuda, Bersuara Perubahan Iklim

 

Hari Sumpah Pemuda bukan saja tentang kesepakatan bahasa persatauan. Tapi juga tentang ruang hidup yang berkelanjutan. Karena sesungguhnya kekayaan alam Indonesia bukan sebagai sebuah warisan yang berharga, tapi juga sebuah cita-cita. Indonesia yang bukan hanya amanat para pendahulu, tapi juga titipan berjuta anak yang akan lahir kelak.

Dan menyoal krisis iklim kian populis di pikiran anak-anak. Mata mereka jeli melihat ketidaknormalan yang pelan-pelan hadir di lingkungan sekitar rumah. Agaknya, anak-anak sekarang tak tumbuh dengan lagu-lagu tentang sawah yang hijau, gunung yang rimbun, sungai yang bersih, atau tentang ruang bermain yang nyaman. Perubahan itu membawa ironi.

Separuh anak-anak di Kota Cimahi, Jawa Barat, bahkan sudah terbiasa menghirup udara tercemar monoksida dari perkembangan kota yang kasar. Sehingga nasib anak-anak seolah terpinggirkan.

Mimpi dan masa depan mereka kalah saing dengan rutinitas orang dewasa yang pelupa. Dan potret muram itu, terekam dalam dokumenter pendek “Hirup Sesak” yang dibikin Hanna (16).

Bersama dengan temannya, sesama siswa kelas 2 sekolah menengah atas negeri di Cimahi itu, mengubah kegelisahann mereka menjadi karya visua untuk mendukung isu perubahan iklim. Selama empat bulan keliling kota, mereka menemukan anak-anak yang kehilangan ruang untuk tumbuh.

“Ternyata banyak yang tidak memperhatikan tumbuh kembang anak-anak,” kata Hana saat ditemui di Kota Bandung beberapa waktu lalu. “Padahal mereka punya hak untuk diperhatikan dan punya harapan untuk masa depannya,” tuturnya.

baca : Laporan IPCC Terbaru: Perubahan Iklim Ancam Kesejahteraan Manusia dan Kesehatan Bumi

 

Pemutaran film dokumenter karya anak-anak Save The Children Indonesia di Bandung, beberapa waktu lalu. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kegusaran Hana, mungkin sama seperti tiga tahun lalu. Dimana pada tahun 2019, ada remaja sekaligus aktivis lingkungan asal Swedia, Greta Thunberg, yang meradang ketika Pertemuan Puncak Aksi untuk Iklim pada rangkaian Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dia menagih keseriusan orang dewasa yang berjanji mengatasi perubahan iklim.

Sejak itu, gadis 19 tahun ini seakan-akan menjadi simbol melawan perubahan iklim. Setidaknya, Greta mengingatkan anak-anak sedang kehilangan masa depan jika tak berhenti mengkonsumsi energi yang mengotori udara, desforetasi yang membikin hutan boyak, dan alih fungsi lahan yang tak menyisakan ruang yang jurtru mengancam ketahan pangan.

Dalam buku No One is Too Small to Make a Difference, yang memuat pidato-pidato Greta, dia ngotot menagih usaha apa yang seharusnya dilakukan dalam mencegah suhu bumi yang terus naik akibat polusi aktivitas manusia.

Pikiran tentang kerusakan bumi oleh orang dawasa yang nafsu ekonomi menancap di kepalanya. Greta bergidik dengan apa yang dilihat dari tayangan video dan informasi yang dibacanya. Gusar. Dia lantas membuktikan apa yang bisa anak-anak lakukan. Dia mengayuh sepeda sendiri ke gedung parlemen Swedia. Dia duduk di sana seorang diri hingga sore setiap Jumat sambil membentangkan tulisan di kertas karton: skolstrejk för klimatet (mogok sekolah untuk iklim).

Hanya dalam waktu setahun, mogok sekolahnya menuntut para pembuat keputusan agar peduli pada bumi yang tengah memanas ini, menyebar ke seluruh penjuru dunia. Dia kian mempopulerkan isu lingkungan yang acapkali menuai perdebatan itu. Tapi anak-anak punya hak memiliki bumi yang lebih baik.

Kini, Greta menjadi remaja paling berpengaruh karena anjuran-anjuran dan aksi-aksinya menggugah anak muda seperti dalam pidato-pidatonya. Bahwa tak ada yang batasan usia untuk melakukan perubahan.

Selain Hana, ada 47 anak lainnya yang juga terlibat dalam Kampanye Aksi Generasi Iklim bersama Save the Children Indonesia melalui pemutaran dokumenter. Mereka dibekali pemahaman tentang perubahan iklim. Dengan rentan usia 16-20 tahun, mereka mampu merekam persoalan pelik seperiti krisis air bersih, sampah hingga fenomena gagal panen.

baca juga : Perubahan Iklim dan Tantangan Netral Karbon

 

Penggiat Kesenian lokal melakukan teatrikal tentang anak yang kehilangan budayanya di Waduk Jatigede, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Menurut Media dan Brand Manager Save the Children Indonesia, Dewi Sri Sumanah, isu perubahan iklim perlu disampaikan kepada anak-anak. Mengingat mereka sering luput dalam merancang pembangunan. Memang seharusnya, sebagai pemilik masa depan, mereka berhak untuk hidup di lingkungan sehat. Atau paling tidak membayangkan dunia yang menyenangkan.

Lewat karya-karya audio visual itulah, kata Dewi, mereka dapat mengimajinasikan sekaligus menyampaikan pesan tentang ruang tumbuh yang didambakan. Anak-anak muda muncul ketika para orang tua tak bisa menyelesaikan hal ihwal.

“Literasi iklim dengan menonton film dipilih agar mudah dicerna oleh pikiran anak-anak. Dengan tetap merekam fakta yang sehari-hari dialami oleh kita semua. Harapannya isu iklim ini memberi ruang bagi anak bisa turut terlibat,” kata Dewi.

Hal itu dilatarbelakangi laporan global Save the Children “Born into the Climate Crisis” dirilis bulan September 2021 lalu. Laporan tersebut menyebutkan krisis iklim sudah membawa dampak nyata dan dirasakan oleh anak-anak. Anak-anak di Indonesia yang lahir tahun 2020 akan menghadapi 3 kali lebih banyak ancaman banjir dari luapan sungai, 2 kali lebih banyak mengalami kekeringan serta 3 kali lebih banyak gagal panen.

 

Persoalan Bumi

Sebetulnya gejala itu sudah diprediksi Organisasi Meteorologi Dunia (WMO). Salah satu badan dunia itu telah memprediksi kenaikan suhu global rata-rata tahunan pada 2020-2024 mencapai 1 derajat celsius. Artinya, bencana hidrometerologi akan sering terjadi. Proyeksi itu, agaknya, sulit dimengerti anak-anak. Tentunya, kondisi akan semakin berat buat generasi muda ke depan. Pasalnya, perubahan iklim ibarat dosa warisan akibat nafsu ekonomi selapas masa praindustri.

Kini, para ilmuwan setengah gusar menyimpulkan bumi berada pada titik kritis. Beberapa tahun terakhir, bukti-bukti menunjukkan titik kritis itu melalui skema perhitungan konsentrasi karbon dioksida dan metana. Kedua gas itu merupakan penyebab pemanasan global dari efek rumah kaca. Bumi makin panas.

Kenaikan suhu bumi diatas 1 celsius saja menyebabkan laut lapis es Arktik di musim panas dan Lapisan Es Greenland meleleh tanpa membeku lagi. Hilangnya terumbu karang dari perairan hangat, serta hilangnya banyak gunung gletser.

baca juga : Tekan Dampak Perubahan Iklim Mulai dari Jamban, Seperti Apa?

 

Sejumlah anak bermain di sungai sebagai pengganti ruang bermain yang kian menyempit. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Dari aspek pangan, iklim adalah kunci. Kendati begitu, saat ini ketahan pangan menghadapi tantangan berat. Kondisi itu disebut dalam laporan Save The Children bakal membuat jutaan anak dan keluarga jatuh dalam jurang kemiskinan dengan jangka panjang di Indonesia.

“Di Pangalengan, Kabupaten Bandung, kami melihat langsung kondisi pertanian yang terpuruk. Petani sana lebih banyak mengalami kerugian daripada untung. Padahal saat berkunjung sedang musim panen. Faktor cuaca membuat tanaman petani mati karena pola hujan dan panas yang berubah sebelum waktunya dan petani sulit diprediksi itu,” ujar Rahman Fauzi (18) salah satu Juru Kampanye Save The Chlidren Jawa Barat.

Rahman menuturkan, belum ada adaptasi apapun yang dilakukan petani. Mereka hanya terus menanam walaupun hasilnya tak seberapa. Alhasil anak-anak mereka tak punya akses pendidikan lebih tinggi. Alasannya adalah ketiadaan biaya dari hasil tani yang acapkali bangkar.

Di kota metropolitan sekalipun terjadi ironi. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung, setidaknya ada 72,5 persen anak-anak yang tidak mengakses pendidikan di usia 0-6 tahun. Realitas dan data tersebut menunjukkan bahwa masih banyak anak-anak yang jauh dari jangkauan pendidikan yang merata dan setara. Minimnya ruang terbuka hijau, membikin kota menjadi tidak ramah untuk anak. Padahal ruang terbuka bagi anak merupakan pengganti bagi fasilitas-fasilitas edukasi sekaligus rekreasi gratis bagi anak.

Bahkan di Kota Bandung, anak-anak nyaris kehilangan sungai. Lantaran dari 13 sungai yang melawati kota bagi Konferesi Asia-Afrika tersebut justru sakit terpapar bakteri E coli berikut dengan sampah dan limbah yang tak berkesudahan.

baca juga : Generasi Muda Desak Keseriusan Aksi Pemerintah Tekan Krisis Iklim

 

Seorang ibu membelai anaknya berlatar Pembangkit Listrik Tenaga Batubara Indramayu, Jawa Barat, pada Jumat (21/10/2022) lalu. Dampak debu batubara membuat pertanian di sana acapkali mengalami gagal panen berkepanjangan. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Maklumat Kaum Muda

Gelisah pun hinggap dalam ulu hati Rafii Fujiberkah (25). Pemuda asal Kota Depok yang kini sedang menerima tawaran Greenpeace Indonesia untuk terlibat pada kegiatan bertajuk Chasing the Shadow. Tawaran bersepeda dengan jarak lebih dari 1.000 kilometer dari Jakarta sampai Bali untuk iklim.

“Mendapat tawaran itu tanpa pikir panjang saya iyakan saja. Saya ingin melihat kondisi alam di setiap yang saya kunjungi dan belajar dari sana,” kata Acil sapaan akrabnya, saat ditemui saat ditemui di Bandung, Sabtu (22/10/2022).

Dia mungkin baru kali ini mengayuh sepeda sama dengan jarak jalan yang pernah dibuat Herman Willem Daendels. Orang Belanda yang meramalkan jalur sutra itu sebagai kekuatan ekonomi. Walau pada akhirnya kota-kota di sepanjang Jalan Raya Pos itu tumbuh menjadi kota gagal: angka pengangguran yang tinggi, kualitas lingkungan sosial dan alam yang menurun.

Sebagai pemuda, dia menolak narasi kaum tua yang memberi harapan pada generasi dengan dogma-dogma yang tak konservatif. Acil ingin mengadon cerita lain yang berasal dari warga-warga terpinggirkan oleh kepentingan segelintir orang.

“Setidaknya cerita itu ingin saya bawa ke orang-orang sekitar rumah,” katanya. Acil ingin membikin orang resah agar mau memperbaiki sekaligus menjaga ruang hidupnya.

Hal itu tak lepas dari kesaksiannya di Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Marunda. Di sana, dia mengelus dada. Anak-anak hingga orang tua hidup serba susah ditengah kepungan asap dan debu batubara menempel di pintu dan jendela.

Di Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Acil kembali menghela nafas. Dimana banyak warga yang kelimbungan akibat kehilangan daratan. “Hampir setiap hari rumah mereka digenangi banjir rob,” terang Acil menceritakan separuh perjalanannya itu.

Oleh karena itu, bersama 10 teman lainnya, Acil tidak ingin kehilangan suara. Mungkin dengan mengayuh sepeda ditengah musim yang sudah tidak lagi tertib dan cuaca yang kadang tak karib, dia mampu bercerita. Setidaknya menceritakan bahwa krisis iklim itu nyata.

Barangkali ketika banyak kaum muda yang peduli dengan gerakan mencegah pemanasan global, sejak saat itu anak-anak masih punya imajinasi yang segar. Mendinginkan bumi.

 

Exit mobile version