Mongabay.co.id

Tangkul Pelantar, Cara Santai Nelayan Pesisir Batam Tangkap Ikan

 

Siang itu suara sholawatan terdengar keras dari toa masjid yang berada di pintu masuk Kampung Nelayan, Patam Lestari, Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Kampung ini terlihat lenggang, karena sebagian masyarakat sedang merayakan hari peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, 10 Oktober 2022 lalu.

Dari kejauhan tampak suami istri duduk santai di pelantar rumahnya. Pandangan mereka tepat mengarah ke laut. Seperti ada yang sedang diperhatikan.

Tiba-tiba jaring berukuran setengah lapangan takraw muncul dari dalam laut. Jaraknya hanya satu meter di depan pelantar rumah mereka. Jaring itu muncul secara perlahan. Bertumpu kepada empat tuas penyangga yang terdapat di masing-masing sudut jaring berbentuk persegi.

Tampak empat ekor ikan belanak terbawa di atas jaring. Begitu juga dengan dua ekor udang. “Ini alat tangkap khusus menangkap ikan belanak,” ujar Syarifuddin, nelayan lokal Patam Lestari, Batam kepada Mongabay Indonesia.

Jaring diangkat menggunakan tuas yang terdapat di pelantar. Istri Syarifuddin, Encik Tang bertugas memutar tuas yang membuat secara perlahan menarik jaring ke atas permukaan. “Ini namanya jaring tangkul,” kata Becek Tang wanita asal Bugis itu kepada Mongabay Indonesia sambil memutar tuas berbentuk gerigi yang dipasang dipelanta rumahnya.

Sedangkan Safaruddin duduk santai disudut pelantar. Ia terlihat santai menyaksikan ikan belanak yang melonca-loncat setelah masuk jaring mereka.

baca : Nasib Nelayan Natuna: Terusir Dari Laut Sendiri, Ditangkap di Laut Malaysia

 

Encik Tang memutar tuas yang menjadi pengangkat jaring tangkul yang terdapat di pelantar rumah mereka. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Encik menjelaskan cara kerja alat tangkap tangkul tersebut. Tangkul merupakan jenis alat tangkap jaring. Memiliki dua jenis, tangkul yang bisa dipindah dan tangkul yang menetap. “Yang kita punya ini tetap berada disini, tidak pindah-pindah,” katanya.

Tangkul yang digunakan Encik Tang memiliki ukuran mata jaring 1 inci dengan luas 10 meter kali 8 meter. Jaring tersebut terbentang tepat di depan rumah pelantar kayu mereka.

Masing-masing sudut jaring disanga oleh sebilah kayu. Dari satu sudut ke yang lainnya dihubungkan dengan tali. Kemudian diikat ke tuas dengan sistem katrol. Tuas itu yang kemudian diputar dan menggulung tali yang terhubung ke jaring.

Saat Encik memutar tuas, membuat tali jaring tertarik. Perlahan jaring ikut naik ke atas permukaan laut. “Alat tangkap ini sudah empat tahun kita gunakan, ini Melayu punya,” katanya.

Tangkul Encik berfungsi hanya menangkap ikan belanak. Ketika sudah diturunkan mereka menunggu sesaat dan kemudian baru diangkat. “Pernah masuk ikan lain, kakap putih 5 kilogram bocor jaringnya,” kata Encik.

Pendapatan Encik Tang tidak menentu menggunakan alat tangkap satu ini. Paling banyak ketika itu sebanyak 15 kilogram ikan belanak masuk dalam jaring tangkul Encik. Satu kilo ikan belanak dihargai Rp25 ribu. Pembeli datang langsung ke rumah Encik membeli ikan hasil tangkapannya. “Karena jumlahnya sedikit jadi dijemput kesini,” kata wanita 52 tahun itu.

Namun beberapa tahun belakangan Encik tidak pernah lagi mendapatkan ikan sebanyak 15 kilogram. “Sekarang sudah susah lah,” katanya.

baca juga : Mata Pencaharian Nelayan Terancam Akibat Sampah Plastik di Lautan

 

Encik Tang memperlihatkan kepiting bakau yang susah didapatkan beberapa tahun belakangan. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Alat tangkap tangkul sudah digunakan Syarifuddin sejak merantau ke Kabupaten Lingga, Provinsi Kepri, setelah itu ia pindah ke Batam. “Orang Melayu sudah biasa menggunakan alat tangkap ini,” kata pria 61 tahun itu.

Alat tangkap tangkul termasuk jaring alat penangkapan ikan di perairan umum. Jaring tangkul sejatinya memiliki bentuk bujur sangkar. Metode penangkapan ikan dengan menurunkan jaring ke dalam air dan menunggu beberapa saat sehingga ikan berkumpul di atas jaring. Kemudian ikan-ikan ditangkap dengan jalan mengangkat jaring.

Di sekeliling rumah Encik juga terlihat beberapa alat bubu jaring yang digantung di pelantar rumah. Maupun tepat berada di bawah rumah encik. Ketika ada ikan yang masuk perangkap bubu berbentuk lingkaran itu, Encik langsung menariknya. “Inilah tambah-tambah kita,” katanya.

 

Penangkapan Menurun

 Syarifuddin dan Encik Tang menjadi nelayan sudah belasan tahun di pesisir Patam Lestari, Sekupang, Kota Batam. Ia mengaku hasil tangkapan mereka terus menurun setiap tahunnya. Tidak seperti awal ketika pesisir Batam masih terjaga, terutama hutan mangrove-nya.

Syarifuddin tidak hanya menggunakan jaring tangkul dalam melaut. Ia memiliki kapal menangkap ikan berukuran kecil dengan jarak melaut sampai 1 mil. Ketika di kapal Syarifuddin menggunakan Bubu Ketam dan juga Jaring.

Syarifuddin menangkap berbagai jenis perikanan, mulai dari ikan karang, belanak, ranjungan dan juga udang. “Mana yang dapat saja mas,” katanya.

Hasil tangkapan Syarifuddin menurun setiap tahunnya. Setiap tangkapannya hanya bisa untuk makan sehari-hari istri dan tiga orang anaknya.

Syarifuddin tidak bisa menyebutkan nominal jumlah pendapatannya. Ia hanya bisa mengatakan, jika dulu hasil tangkapan bisa buat jajan anak-anaknya, tetapi sekarang harus berpikir dua kali untuk jajan anak. “Ya begitulah, harus pikir dua kali sekarang,” katanya.

Beberapa faktor penyebab kurangnya tangkapan itu kata Syarifuddin adalah rusaknya pesisir Kota Batam akibat pembangunan. Meskipun pembangunan dilakukan di daratan, tetapi limbahnya terbawa ke laut. “Kalau hujan disini, sampah plastik turun (ke laut) semua,” kata istri Syarifuddin Encik Tang menyela.

baca juga : Pancing Ulur : Upaya Nelayan Natuna Menjaga Laut

 

Syarifuddin menyaksikan jaring tangkul belakan di depan rumahnya yang kosong dari hasil tangkapan. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Begitu juga yang diceritakan Muhammad Rizwan (43 tahun), nelayan sekaligus pengepul yang berada di Patam Lestari, Sekupang, Batam. Menurutnya sekarang, sudah sangat susah mencari ikan di perairan Patam Lestari. “40 kg satu hari dulu bisa, sekarang tidak bisa lagi,” kata Rizwan.

Salah satu faktor penyebab hilangnya ekosistem perikanan di pesisir karena nelayan menangkap kepiting semua ukuran, termasuk kepeting kecil. “Mungkin mereka juga tidak ada mendapatkan pembinaan dari pemerintah,” katanya.

Menurut Rizwan nelayan terpaksa menangkap kepiting kecil, karena dampak menurunnya hasil penangkapan tersebut.

Begitu juga banyak limbah yang berasal dari darat (perumahan) yang terdapat di sekitar pesisir. “Beberapa hari ini kami juga menemukan sampah eceng gondok yang sudah mati, sampah itu hanyut dari sungai,” katanya.

Rizwan bersama masyarakat sekitar sudah mencari asal sampah tersebut, tetapi sampai saat ini belum ditemukan sumbernya. “Apakah dibuang ke sungai, kita tidak tahu,” katanya.

Sampah eceng gondok seperti ini, Rizwan bilang, bisa membuat alat pancing nelayan seperti bubu yang disebar di laut tersangkut dan hanyut. “Makanya sering bubu nelayan hilang,” katanya.

 

Nelayan melaut di pesisir Patam Lestari Kota Batam, dengan latar belakang pohon mangrove. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Mangrove Rusak

Peneliti Universitas Raja Ali Haji (Umrah) Dony Apdillah mengatakan, beberapa waktu belakangan pihaknya sedang meneliti kualitas kesehatan mangrove di Kota Batam. Sampel di ambil di beberapa pesisir di Pulau Batam, seperti Kabil, Batu Besar, dan Batam Center. “Termasuk Tanjung Gundap,” katanya.

Dony menemukan, hampir keseluruhan mangrove di Batam berada pada status kurang sehat dan tidak sehat. “Batam tidak memiliki mangrove pesisir yang bagus lagi,” katanya. Penelitian ini kata Dony, merujuk kepada tingkat kesehatan mangrove di dalam aturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Doni mengatakan, penyebab kurang dan tidak sehatnya mangrove di Kota Batam karena perubahan lahan terutama menjadi kawasan industri (Shipyard). Dari pemantauan satelit, kata Doni, terlihat banyak reklamasi pesisir yang terjadi di Pulau Batam. “Penelitian mangrove ini kita fokuskan di pesisir,” kata Dony.

Dony belum secara menyeluruh melakukan penelitian terutama dampak kualitas kesehatan mangrove tersebut terhadap hasil tangkapan nelayan pesisir. “Namun, dampak itu bisa dilihat dari aspek jarak lokasi penangkapan nelayan, produksi ikan nelayan, kualitas ikan, jenis ikan, dan juga pendapatan nelayan,” katanya.

 

Exit mobile version