Mongabay.co.id

Sinergi dan Kolaborasi untuk Perikanan Berkelanjutan di Sulsel

 

Laut dalam kondisi kritis. Sebabnya mulai dari aktivitas destructive fishing hingga over fishing. Terumbu karang yang rusak memengaruhi kualitas ekosistem laut dan pesisir. Harus ada upaya mengurangi tekanan-tekanan tersebut.

“Jika praktik illegal fishing sudah tidak tak terhindarkan maka tak mungkin perikanan berkelanjutan ini akan terwujud. Perlu didorong blue economy sebagai sebuah konsep yang terkait perikanan berkelanjutan, kesehatan ekosistem dan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir.”

Hal ini disampaikan Prof. Dr. Najamuddin, dosen ahli perikanan tangkap di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas, dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema ‘Melangkah Bersama untuk Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Sulawesi Selatan’ yang diselenggarakan oleh Jejaring NGO Laut dan Pesisir Sulsel, di Makassar, Selasa, 25 Oktober 2022.

Diskusi yang merupakan proses pembelajaran tata kelola perikanan skala kecil ini adalah bagian dari Program Kemitraan Wallacea II yang didukung oleh Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) – Burung Indonesia. Diikuti oleh sejumlah NGO, nelayan, akademisi, pemerintah provinsi dan kota, Polri, TNI, polair, asosiasi swasta, media, dll.

Ada sejumlah isu yang dibahas dalam FGD ini, yaitu rantai pasar dan rantai nilai, pemberdayaan ekonomi dan bisnis perikanan, tata kelola, perlindungan dan pengawasan, penguatan data dan administrasi kenelayanan, serta sarana dan prasarana penunjang.

Menurut Najamuddin, penangkapan ikan di laut yang sudah cenderung over fishing saat ini perlu dibatasi, tidak lagi melakukan penangkapan ikan melebihi apa yang ada sekarang. Sehingga kemudian butuh indikator untuk tidak mengambil semua, atau hanya mengambil ikan yang layak tangkap.

“Ini yang perlu dikembangkan di lapangan, penyadaran bahwa ikan itu tidak berganda maksimal. Kalau diambil semua mulai anak hingga indukan, lalu apa yang akan berkembang? Itu yang harus disampaikan ke nelayan.”

baca : Nelayan Makassar Sepakat Tutup Sementara Wilayah Tangkap Gurita

 

FGD terkait perikanan berkelanjutan melibatkan parapihak termasuk nelayan yang diselenggarakan oleh Jejaring NGO Laut dan Pesisir Sulsel di Hotel Aston Makassar, Selasa (25/10/2022). Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Najamuddin juga menyampaikan kondisi terumbu karang yang semakin banyak rusak yang akan berdampak pada menurunnya hasil tangkapan nelayan.

“Kalau ekosistem rusak maka pasti sumber dayanya juga akan semakin menurun. Ini perlu disadari semua. Kalau melihat status stok Indonesia saat ini sebagian besar sudah dalam kondisi merah, artinya sudah over fishing, di sisi lain banyak yang kuning, yang hijau sedikit sekali.”

Sejumlah nelayan yang hadir dalam FGD tersebut menyatakan sulit melakukan pembatasan tangkapan karena sejumlah faktor.

“Kalau tangkap ikan kami tidak pernah pilih-pilih karena kami tidak tahu ikan yang akan terjaring itu besar atau yang kecil. Ikan atau gurita kecil akan diambil selama masih punya harga. Tidak mungkin kami ‘lari kosong’ sementara biaya operasional semakin tinggi, apalagi dengan naiknya harga BBM. Tidak bisa juga bohong kepada istri, misalnya dapat ikan lalu dilepas. Istri di rumah tak mau tahu, apalagi jika ada nelayan lain yang mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak,” ungkap Erwin, nelayan dari Pulau Langkai, Makassar.

Faktor lainnya pada tak adanya standar ukuran dan harga yang jelas. Meskipun terkadang nelayan sudah menangkap ikan dengan kualifikasi yang disarankan namun diberi harga murah. Kualitas dan harga ditentukan seenaknya oleh pengepul, sehingga nelayan kemudian mengambil apa saja yang bisa diperoleh di laut.

Meski demikian, Erwin mengakui bisa saja melakukan pembatasan jika ada pendampingan yang intens, penyuluhan dan insentif dari pemerintah atau swasta.

baca juga : Gurita dan Tantangan Tata Kelola Perikanan Skala Kecil di Makassar

 

Seorang nelayan Pulau Langkai, Makassar, Sulsel yang pendapatannya menurun drastis terdampak pandemi COVID-19 Kini mereka bergantung pada pencarian ikan telur terbang yang hanya bisa diusahakan oleh nelayan berkapal besar. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Putu Sumardiana, Koordinator Pengawasan, Pengendalian dan Informasi BKIPM Makassar, menyampaikan pentingnya informasi harga kepada nelayan, termasuk jenis dan kualitas ikan yang diinginkan pasar. Selama ini ada kesan para pengepul seenaknya mematok harga karena mereka pun kurang tahu kriteria ikan yang bagus sehingga membuat harga sendiri.

“Ini perlu sosialisasi ke nelayan agar mereka tahu. Pengepul pasti mau untung tapi ya caranya jangan seperti itu dong. Perlu juga sosialisasi ke nelayan jenis dan ukuran mana yang nilainya bagus, dsb.”

Menurut Putu, salah satu tantangan nelayan ketika melaut adalah bagaimana mempertahankan suhu ikan hasil tangkapan agar tetap segar, sehingga mereka perlu dibekali es untuk mempertahankan kualitas. Ia menyarankan optimalisasi dukungan DKP provinsi melalui program pengadaan cold strorage mini untuk nelayan, karena kondisi es yang cepat mencair.

Kamaruddin Azis, dari Yayasan Commit menyatakan inisiatif untuk mendorong perikanan kecil berkelanjutan hal yang bagus, namun hanya bisa berjalan efektif jika pengambil kebijakan juga peduli.

“Mungkin kita menghadirkan energi penguatan kapasitas perencana di ASN, namun ketika sampai ke pimpinan kadang bermasalah, karena mereka tidak mau mengalokasikan sumber daya atau anggarannya dikurangi atau malah tidak ada sama sekali, serta penempatan personil yang tidak tepat.”

Menurutnya, selama ini diskusi banyak fokus pembahasan pada nelayan, sementara nelayan sendiri mungkin merasa tak memiliki masalah. Masalah justru ada di pemerintah yang tidak care dan aware dengan apa yang terjadi depan matanya.

“Apa yang harus dilakukan menurut saya simpel, pemerintah harus mengalokasikan sumber daya yang memadai agar pesisir dan pulau-pulau kita bisa mendapat hasil maksimal. Tidak mungkin NGO jalan sendiri. Pengambil kebijakan, baik itu pemerintah daerah dan pusat, DPRD dan DPR, harus diajak untuk bicara ini.”

baca juga : Sistem Buka-Tutup Diharapkan Perbaiki Ekosistem Laut yang Rusak Akibat Destructive Fishing

 

Ilustrasi. La Ato, nelayan gurita Desa Darawa, Kecamatan Kaledupa Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, saat melakukan penangkapan gurita di wilayah adat mereka. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Ia memuji komitmen pengawasan dan penegakan hukum yang dilakukan Polair, Polisi dan Lantamal, yang harus selalu diberi ruang supaya bisa berkolaborasi. Namun semua itu tidak akan berguna jika pengambil kebijakan, seperti bupati, walikota dan gubernur, justru tidak punya kepedulian.

Deasy Ariani, staf bidang pengawasan di Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) provinsi Sulsel menyampaikan tantangan dalam melakukan pengawasan terkait keterbatasan personel dan perlengkapan untuk patroli. Untuk personel hanya terdapat 26 pengawas perikanan dan 3 PPNS perikanan yang menangani 24 wilayah kelautan seluruh Sulsel.

“Kami membina pokmaswas, lalu ada 7 cabang dinas, semuanya melakukan pengawasan dan pelaporan, kewenangan hanya sampai di situ. Bila terjadi perlanggaran akan dilimpahkan ke pihak berwenang. Kami butuh unit reaksi cepat untuk menanggapi laporan masyarakat. Tanpa hal ini maka patroli kurang efektif karena ketika ada pelaporan maka tim akan lambat tiba di lokasi, di mana pelaku sudah keburu kabur.”

 

Mendorong Co-Management

Yusran Nurdin Massa, dari Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia, sebagai fasilitator kegiatan, menyampaikan pentingnya peran kelembagaan ekonomi, tidak hanya dalam kaitannya dengan peran distribusi tetapi juga pada penguatan komunitas.

“Mau tidak mau dibutuhkan peningkatan kapasitas nelayan ke pengembangan ekonomi dan ini perlu diintegrasikan ke peran-peran semua pihak di dalamnya. Dan identifikasi rantai pasar perlu dibumikan ke tingkat nelayan sehingga intervensinya bisa didorong kuat,” katanya.

 

Beberapa tahun terakhir hasil tangkapan ikan nelayan di Pulau Barrang Caddi, salah satu pulau di Kota Makassar, Sulawesi Selatan mulai berkurang. Dalam sehari mereka kadang hanya bisa menangkap beberapa ekor ikan dan bahkan kadang tidak ada tangkapan sama sekali. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Ia juga menyampaikan pentingnya sinergi dan kolaborasi mendorong perikanan berkelanjutan melalui collaborative management (comanagement) atau pengelolaan bersama.

“Dengan co-management maka semua pihak terlibat. Bagaimana swasta ada di situ, UPI (Unit Pengolahan Ikan), nelayan, NGO, pemerintah, dll., masuk dalam ruang itu. Hanya saja, kalau sekedar bertemu tanpa adanya formalistik dan ruang-ruang interaksi secara legal yang bisa diakomodasi oleh kebijakan dan regulasi yang ada, maka itu juga sulit untuk operasionalisasi.”

Ruang interaksi ini, lanjut Yusran, bisa memanfaatkan insititusi Komite Perikanan Berkelanjutan yang sudah ada, yang bisa menjadi ruang untuk menggelorakan semangat perjuangan perikanan berkelanjutan dalam konteks bersama.

“Harapannya, dengan begitu Sulsel punya road map perikanan berkelanjutan sehingga jelas apa yang dituju. Ujungnya pasti masyarakat sejahtera, pesisir dan laut lestari. Bagaimana itu tercapai sudah digerakkan oleh sistem ekonomi dunia, bagaimana unit-unit perikanan diperbaiki tata kelolanya agar laut lestari dan secara ekonomi juga menguatkan nelayan.”

 

Exit mobile version