Mongabay.co.id

Ghost Gear dan Dampaknya Terhadap Nelayan Kecil

 

Indonesia menghadapi persoalan cukup pelik terkait penanganan sampah laut. Kehadiran Peraturan Presiden Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut rupanya belum cukup efektif untuk mengatasi persoalan sampah laut yang jumlahnya berjibun itu. Tak terkecuali sampah dari jaring nelayan.

Alih-alih, sampah laut dengan jenis terakhir itu belum banyak mendapat perhatian. Padahal, dampak yang ditimbulkan dari sampah ini pun tak sepele. Baik secara ekonomi, sosial, maupun ekologi. “Selama ini penanganan sampah laut masih terbatas pada sampah secara umum. Belum secara khusus untuk sampah jaring,” terang Muhammad Abdi Suhufan, koordinator Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Kamis (6/10/20220 lalu.

Abdi menjelaskan, rendahnya perhatian akan sampah jaring atau yang dalam istilah lain disebut jaring tak bertuan (ghost gear) itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Tetapi juga negara-negara lain di dunia. Sebuah riset yang pernah dilakukan bahkan menyebut 9,1 persen sampah laut secara global teridentifikasi sebagai ghost gear.

“Bila dibiarkan, situasi ini tidak hanya mengancam keberlanjutan perikanan. Tetapi, juga masa depan nelayan itu sendiri. Jadi, bukan cuma ekosistem lautnya saja yang terancam, tetapi kehidupan nelayannya juga, manusianya juga.” kata Abdi.

Abdi menjelaskan, pada ekosistem laut, keberadaan jaring tak bertuan itu sulit terurai. Sebab, alat tangkap tersebut banyak terbuat dari plastik. Atau bahan tak ramah lain. Karena tak mudah terurai, banyak satwa laut yang kemudian terjerat, lalu mati (ghost fishing).

Menurut Abdi, ghost fishing merupakan fenomena ketika hewan tertangkap oleh jaring bekas termasuk dalam kategori abandoned, derelict, lost fishing gear (ADLFG). Setiap tahun, diperkirakan 0,64 juta ton alat tangkap hilang dan berkontribusi besar terhadap polusi plastik di laut di seluruh dunia.

baca : Jaring Alat Tangkap Ikan Nelayan, Harga Naik Tapi Kualitas Turun

 

Sejumlah nelayan memperbaiki jarinv di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari, Kota Tegal,Jateng. Foto : A Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Dampak pada Nelayan

Sebuah penelitian pernah dilakukan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk mengetahui dampak ghost gear ini. Penelitian yang didanai Yayasan Strategi Konservasi Indonesia dilakukan Atrasina Adlina, Pini Wijayanti dan Dinda Ratnasari itu untuk mengetahui dampak ghost gear atau kerugian ekonomi para nelayan.

“Salah satu tujuan penelitan ini adalah untuk mengetahui nilai kerugian ekonomi para nelayan kecil akibat dari ghost gear ini. Jadi, kami ingin tahu apakah ada pengaruhnya,” terang Atrasina Adlina, koodinator riset saat menyampaikan hasil riset yang  dilakukannya, 6 Oktober lalu.

Dalam penelitiannya, Adli –sapaanya- mewawancarai 41 nelayan yang ada di tiga lokasi berbeda. Yakni di Tegal, Muara Raja, Pulau Kodok dan Pulau Komodo, Jawa Tengah. Puluhan responden itu merupakan nelayan yang biasa beroperasi di perairan Laut Jawa dengan kapasitas kapal maksimal 10 gross tonnage (GT).

Rinciannya, 26 merupakan nelayan harian dan sisanya (15 orang) merupakan nelayan mingguan. Rangkaian proses itu dilakukan pada pertengahan Juni 2021 hingga awal 2022. Satu kesimpulan paling penting adalah hampir semua responden mengaku pernah membuang jaring. Jaring-jaring itu yang kemudian disebut ghost gear, sebagaimana definisi oliveridleyproject.org.

Adli menjelaskan, secara umum, ghost gear dapat didefinisikan sebagai alat tangkap perikanan terbuang atau sengaja dibuang yang pada akhirnya menjadi sampah di laut. Kendati terkesan sepele, bila dirunut, keberadaan ghost gear ini memiliki dampak turunan yang tak sedikit.

Pada lingkungan misalnya, ghost gear tidak hanya berpotensi menyebabkan hewan-hewan di laut terjerat, tetapi juga mengakibatkan terumbu karang rusak. “Jadi, ketika ghost gear yang terbuang itu menjadi sampah laut, ada siklus yang mematikan. Sehingga disebut hantu,” terang Adli.

Ia memberi contoh, jaring nelayan yang terbuang, baik karena cuaca buruk, tersangkut, atau sengaja dibuang karena dianggap ilegal, akhirnya akan menyangkut di terumbu karang yang menjadi habitat ikan target. Ikan-ikan pun menjadi terperangkap dan tidak bisa termanfaatkan.

baca juga : Bubu, Alat Tangkap Ikan Tradisional Ramah Lingkungan yang Digunakan Kembali di Flores Timur

 

Tumpukan jaring bekas di salah satu pengepul di Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Selain itu, ghost gear juga memicu perpindahan spesies invasive ke tempat lain. Dalam jangka waktu tertentu, sampah jaring ini juga akan pecah dan menjadi mikroplastik yang berpotensi dimakan oleh ikan di laut. Tentu, bila kemudian ikan tersebut tertangkap dan dikonsumsi, akan membahayakan kesehatan manusia.

Pada nelayan, dampak ghost gear juga tak kalah parah. Sebab, menurut Adli, ghost gear ini dapat memicu kerusakan baling-baling hingga menyebabkan terjadinya kecelakaan. Dampak lainnya, menurunkan pendapatan yang pada akhirnya mempengaruhi penghidupan atau kesejahteraan nelayan.

Pini Wijayanti, peneliti lainnya memberikan penggambaran lebih detil bagaimana kerugian akibat ghost gear itu terjadi. Menurutnya, ada tiga jenis kerugian yang alami para nelayan, sebagaimana yang telah ia kelompokkan. Yakni, kerugian perbaikan, misalnya karena perbaikan alat tangkap; kerugian kehilangan karena tersangkut atau sengaja dibuang; serta kerugian atas biaya yang tak tampak (hidden cost), seperti berkurangnya waktu bekerja untuk melakukan perbaikan.

Dari ketiga komponen itu, kelompok nelayan harian didapati alami kerugian paling besar ketimbang nelayan mingguan. Dijelaskan Pini, pada komponen perbaikan misalnya, rerata kerugian yang dialami kelompok nelayan harian mencapai Rp92.300 untuk sekali trip, pergi-pulang. Sedangkan nelayan minggu ‘hanya’ Rp72.200.

Demikian pula dengan komponen kehilangan. Menurut Pini, nelayan kelompok harian alami kerugian lebih besar, mencapai Rp323.400 per trip. Sedangkan nelayan mingguan ‘hanya’ sebesar Rp100 ribu.

Selisih perbandingan kerugian juga terjadi pada komponen hidden cost. Menurut Pini, nelayan kelompok harian rata-rata alami kerugian sebesar Rp70.800. Sedangkan nelayan minggu ‘hanya’ mencapai sebesar Rp37.700.

Timpangnya jumlah kerugian oleh nelayan harian itu pun berjalan linier dengan perhitungan kerugian dalam setahun. Menurut Pini, dalam setahun, nelayan harian harus menanggung kerugian hingga Rp468 juta. Sementara nelayan mingguan hanya Rp391 juta ini.

Jumlah kerugian akibat hilangnya alat tangkap, baik sengaja atau tidak sengaja oleh nelayan harian lebih mencengangkan lagi. Bersasar perhitungan Pini dkk., jumlah kerugian sektor tersebut mencapai Rp888 juta setahun. Jauh lebih tinggi dari yang dibayar nelayan mingguan, hanya Rp73 juta.

baca juga : Demi Keberlanjutan, Alat Tangkap Perikanan Harus Ramah Lingkungan 

 

Jaring bekas yang dikumpulkan para nelayan di salah satu pengepul di Kota Tegal. Foto : A Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Bagaimana dengan kerugian hidden cost? Menurut Pini, kondisi nelayan harian juga tak lebih baik. Sebab, jumlah kerugian yang didapatnya juga jauh lebih besar. Yakni, Rp359 juta dibanding Rp17 juta untuk nelayan mingguan dalam setahun. “Dari gambaran ini, dapat disimpulkan bahwa nelayan harian lebih berisiko bila dibanding nelayan lain,” jelas Pini.

Bagi Pini, situasi seperti itu tidak bisa terus dibiarkan. Apalagi, dari hasil riset yang dilakukannya, tingginya kerugian akibat ghost gear tersebut berbanding lurus dengan loss income potential nelayan harian yang juga lebih besar bila dibanding nelayan mingguan.

Bahkan, menurut hitung-hitungan Pini, hilangnya potensi pendapatan nelayan harian mencapai 58 persen. Sementara nelayan mingguan ‘hanya’ 11 persen. Padahal, duit yang dibawa pulang tersebut tidak hanya untuk nelayan itu sendiri, tetapi juga untuk berbagai keperluan. Misalnya saja, 50 persen untuk membeli beras, lauk pauk, 30 persen untuk pendidikan anak, dan 20 persen untuk operasional (listrik).

“Bisa dibayangkan sendiri kalau pendapatan nelayan harian itu berkurang 58 persen, maka alokasi untuk kebutuhan tersebut juga akhirnya akan berkurang. Artinya, ada penurunan uang yang harusnya bisa dibelanjakan, yang pada ujungnya mempengaruhi kesejahteraan mereka” jelas Pini.

 

Perlu Mitigasi

Di sisi lain, kendati keberadaan ghost gear berdampak bukan hanya bagi ekosistem laut, tetapi juga kesejahteraan nelayan, upaya mitigasi dinilai menjadi hal yang penting. Manajemen mitigasi, kata Pini, akan mampu menekan potensi ghost gear di tengah laut.

Beberapa daerah yang sudah memiliki konsep mitigasi ghost gear di antaranya Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari, Kota Tegal dengan membentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perbaikan Jaring. “Keberadaan UPT ini menjadi bagian dari mitigasi karena dapat memperpanjang umur jaring,” terang Pini.

Saat ini, keberadaan UPT tersebut masih terbatas pada kapal-kapal besar. Namun demikian, ke depan diharapkan bisa mencakup kapal yang lebih kecil di bawah 10 GT. Dengan begitu, nelayan akan berpikir untuk membawa kembali jaringnya yang rusak ketimbang membuangnya di tengah laut. Dengan begitu, nelayan akan mendapat nilai tambah melalui program ekonomi sirkular.

 

Seorang nelayan memperbaiki jaring cantrang di kawasan Pelabuhan Perikanan Nusantara, Brondong Kabupaten Lamongan, Jatim, 3 Juli 2022. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Menurut Pini, beberapa negara telah menerapkan kebijakan ini. Di Korea Selatan misalnya, pemerintah setempat bahkan rela mengalokasikan bujet untuk membeli jaring-jaring bekas milik para nelayan guna didaur ulang. “Sementara di Indonesia, pemerintah sekarang mematangkan kajian untuk pemasangan tag pada jaring sejak dari ia diproduksi,” jelas Pini.

Di sisi lain, Sutarman, Dekan FPIK Universitas Pancasakti, Tegal, mengakui, saat ini, laut Indonesia mengalami banyak tekanan. Selain eksploitasi berlebihan, sampah di laut juga masih menjadi persoalan yang belum tertangani hingga kini. Terutama soal sampah plastik. Padahal, ada jutaan masyarakat yang menggantungkan hidup dari laut.

Laut yang kotor, kata dia, tidak akan bisa menghasilkan ikan. “Ikan akan melimpah kalau lautnya bersih. Tetapi, sampah-sampah ini sangat mempengaruhi stok ikan yang ada di laut. Dampaknya memang luar biasa. Kalau lautnya semakin tidak produktif, nelayan juga tidak akan bisa bekerja,” jelas Sutarman.

Masalah lainnya, sampah dari berbagai macam jenis itu juga banyak mengandung bahan atau zat berbahaya, termasuk mikroplastik yang berpotensi termakan oleh ikan. “Itu kalau sampai termakan ikan, ya pasti akan dampaknya meski dalam waktu yang lama. Mikroplastiknya mungkin tidak masalah. Tetapi, karena ia sebagai zat pengikat, bahan-bahan berbahaya akan tetap menempel. Ini bisa menyebabkan penyakit kanker dan sebagainya,” terang.

Karena itu, semua pihak dituntut untuk serius mencegah aliran sampah ke laut. Mereka yang tinggal di pesisir, kata dia, harus lebih hati-hati membuang sampah. Begitu juga dengan yang di hulu. Sebab, dari hulu, sampah yang tidak terkelola pada akhirnya akan sampai juga ke laut. Padahal, laut tidak hanya menjadi salah satu sumber pangan saat ini. Tetapi juga di masa depan.

 

Exit mobile version