Mongabay.co.id

Kala Rencana Landmark BKSDA di Tebing Harau Tuai Kritik

 

 

 

 

 

“Tolong jangan pasang tulisan seperti ini karena akan mengurangi kecantikan dari tempatnya. Justru lebih indah natural saja.”  

“Boleh tahu urgensinya? Sepertinya banyak pos lain yang lebih tepat sasaran untuk alokasi anggaran.”

“Nian ka iyo-iyo se lah pak, buk. Ndak usah digaduah nan alah rancak itu.”  

Begitu antara lain respon netizen di bawah postingan akun sosial media, Instagram Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat, yang berencana membangun landmark “TWA Lembah Harau” di Tebing Taman Wisata Alam (TWA) Lembah Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Muncul kekhawatiran mereka dan bergaia kalangan, landmark itu bisa ganggu estetika.

Ade Edward, ahli geologi di Sumatera Barat mengatakan, pemasangan landmark itu seperti proyek vandalisme. “Harus dicopot,” katanya.

Pemasangan landmark itu, katanya, bisa merusak nilai atraksi alam yang memperlihatkan tebing batuan alam dengan struktur pelapisannya. Menurut dia, efeknya sangat negatif.

Corak struktur pelapisan batuan pada tebing batu vertikal, katanya, memiliki nilai universal luar biasa (outstanding universal value/OUV).

“UOV-nya justru pada tebing batu vertikal itu. Eh kok ini malah itu yang ditutup. Jatuh tapai ibaratnya nilai OUV-nya,” kata Ade.

 

BKSDA Sumbar berencana membangun landmark yang bertuliskan TWA Lembah Harau di dinding Tebing Lembah Harau. Foto: Givo Alputra

 

Mengutip situs resmi Kementerian pendidikanPdan Kebudayaan, OUV adalah syarat utama sebuah budaya bisa diakui sebagai warisan dunia oleh UNESCO.

Ade juga menyatakan postingan Instagram BKSDA Sumbar keliru yang mengatakan jenis batuan di tebing Harau itu jenis granit.

“Batuan tebing Lembah Harau bukan batuan Granit. Tebing Lembah Harau dibentuk oleh batuan sedimen terdiri dari batuan breksi konglomeratan berlapis batu pasir. Jadi bukan batuan granit sebagaimana versi BKSDA,” katanya.

Niatan BKSDA ini Ade nilai gagal paham dalam melihat dampak lingkungannya. “Memang dampak lingkungan secarar fisik tidak signifikan tetapi dampak terhadap aspek lingkungan non-fisik seperti aspek estetika dan ilmiah dari Tebing Harau yang merupakan salah satu geoheritage.”

Dia bilang, menutup obyek heritage hingga pandangan terhalang juga termasuk vandalisme. “Sama dengan aksi corat coret pada heritage,” katanya.

Ade contohkan, seperti corat coret pada Candi Borobudur. “Secara fisik candinya tidak rusak. Tapi rusak aspek non-fisiknya.”

Dia mengatakan, jenis batuan breksi dan konglomerat ini karena jutaan tahun lalu Lembah Harau adalah laut.

“Sebelumnya laut. Lalu terjadi pengangkatan. Perlahan berubah menjadi danau. Terakhir Danau Purba Payakumbuh. Sisa danau purba masih terlihat di rawa-rawa Bukit Bulek Taram,” katanya.

Melalui akun Instagram BKSDA Sumbar berusaha menjelaskan rencana pembangunan landmark yang ingin mereka lakukan.

 

Respon sebagian netizen di postingan Instagram BKSDA Sumbar

 

Dalam akun sosial media itu BKSDA Sumbar menyebut, pembangunan landmark di Taman Wisata Alam Lembah Harau dengan posisi menghadap ke arah kedatangan pengunjung. Posisi landmark, tergantung di sisi tebing dengan tulisan terbuat dari bahan besi plat setinggi empat meter setiap hurufnya.

“Tentu akan menjadi atraksi wisata baru yang menawan. Oh iya, tingginya kurang lebih 250 meter dari permukaan tanah loh…wow bukan?” begitu postingannya.

Lembah Harau merupakan ngarai yang berdekatan dengan Kota Payakumbuh, Kabupaten Limapuluh Kota. Lembah ini diapit dua bukit terjal dengan ketinggian mencapai 150 meter berupa batu pasir yang terjal berwarna-warni, dengan topografi berbukit-bukit dan bergelombang dengan ketinggian 500-850 mdpl.

Tebing-tebing granit menjulang tinggi berbentuk unik mengelilingi lembah dengan ketinggian tebing antara 80-300 meter.

“Rencana pembangunan landmark ini tidak akan berdampak negatif terhadap kawasan,” sebut postingnya BKSDA Sumbar itu.

Ardi Andono, Kepala BKSDA Sumbar melalui aplikasi perpesanan menyampaikan beberapa poin mengenai rencana pembangunan itu. Pertama, pemilihan posisi berada pada ruang kosong yang tak bervegetasi hingga tidak melibatkan penebangan.

 

pemandangan Lembah Harau. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Kedua, bukan merupakan jalur perlintasan satwa. Ketiga, aktivitas pembangunan, tak berpotensi menimbulkan kebakaran hutan, yang merupakan ancaman utama pada kawasan ini.

Keempat, tebing granit yang bertekstur kuat, mampu menahan beban landmark hingga tak berisiko terjadi longsoran material dari tebing.

Kelima, tak mengganggu keberadaan air terjun, yang merupakan daya tarik utama kawasan. Keenam, bahan yang digunakan besi plat yang tak memerlukan pemeliharaan intensif. Ketujuh, tak teraliri listrik hingga aman bagi satwa liar. Kedelapan, tak diberi pencahayaan yang akan mengganggu aktivitas satwa malam (noctunal).

Ardi bilang, pembangunan ini sudah mendapatkan dukungan dari ninik mamak, tokoh masyarakat dan Wali Nagari Tarantang. Ia tertuang dalam berita acara persetujuan pembangunan landmark ini.

“Diharapkan dengan ada landmark dapat menambah atraksi wisata yang berdampak positif untuk peningkatan ekonomi masyarakat. Atraksi wisata ini akan menghiasi tahun baru masyarakat,” katanya.

Ardi tidak menampik, ada kritikan dari netizen di akun Instagram resmi BKSDA Sumbar. Menurut dia, ada hal lebih penting untuk dikritik yaitu pungli atau pungutan liar di TWA Lembah Harau.

Sudahri, Wali Nagari Tarantang yang masuk daerah pemasangan landmark membenarkan kalau BKSDA Sumbar sudah menyampaian niatan mereka.

“Mereka koordinasi dengan saya. Kemudian saya panggil ninik mamak dan warga untuk berkumpul dan mereka setuju,” katanya.

Dia mengatakan, landmark itu sekadar mengaskan kalau itu wilayah kewenangan BKSDA Sumbar. Lagipula, katanya, landmark bisa untuk pemberitahu kalau itu Lembah Harau.

 

BKSDA Sumbar berencana bikin landmark bertuliskan “TWA Lembah Harau” di Tebing Harau. Niatan ini mendapat kritik dari netizen. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

********

Exit mobile version