Mongabay.co.id

Hilangnya Kantong Gajah Sumatera di Koto Panjang [Bagian 1]

 

 

Ulu Kasok merupakan objek wisata alam yang menyuguhkan hamparan danau luas, dengan pesona gugusan bukit hijau. Bukit tersebut, tampak seperti pulau-pulau kecil yang menyembul dari paras danau. Panorama alam yang begitu populer di Desa Pulau Gadang, Tanjung Alai Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.

Roni Rakhmat, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Riau menuturkan, dalam sehari sekitar 1.114 orang berwisata ke Ulu Kasok, mengacu jumlah yang datang pada minggu pertama Mei 2022. Tepatnya, saat liburan Lebaran.

“Mereka dari berbagai daerah untuk swafoto, sekaligus menikmati suasana alam,” tuturnya.

Ulu Kasok disebut sebagai replika Raja Ampat di Riau. Perbedaan ketinggian antara daerah berbukit dan lembah, membuat lanskap ini terlihat seperti pulau karang di Papua Barat itu.

Namun indahnya panorama tersebut, berbanding terbalik dengan histori yang ada. Danau ini sesungguhnya waduk PLTA Koto Panjang yang dulunya merupakan permukiman, kebun, ladang, jalan, serta hamparan perbukitan dan habitat gajah sumatera.

Dedi, anggota kelompok wisata Ulu Kasok menuturkan, sebelum ada jalan nasional masyarakat Koto Panjang sudah terhubung dengan masyarakat Kabupaten Limapuluh Kota, di Sumatera Barat. Mereka menggunakan jalan lama yang sebagian kini sudah tenggelam di dasar danau. Jalan tersebut, dulunya berfungsi sebagai jalur distribusi logistik dari Sumatera Barat ke Riau. Sementara, jalan nasional yang menghubungkan Riau dengan Sumatera Barat saat ini,  dibangun pada 1989.

Satu objek wisata yang dekat Ulu Kasok adalah Puncak Kompe, di lengkungan danau yang sama. Dedi menyebut, dari bukit Ulu Kasok ke arah bukit Puncak Kompe, dulunya merupakan jalur perlintasan gajah dan harimau. Cerita yang didapat dari nenek datuknya.

“Tepat di bawah Ulu Kasok, dulunya kebun masyarakat Pulau Gadang,” ujarnya, sembari menunjuk danau.

Ucapan Dedi senada keterangan Nukman, pensiunan BKSDA Riau, yang terlibat pemindahan gajah di Koto Panjang. Nukman bertutur, wilayah Koto Panjang merupakan medan cukup berat selama penggiringan gajah. Tahun 1996, Indah seekor gajah jinak betina yang dilibatkan dalam proses penangkapan gajah liar pernah “disandera” sejumlah gajah liar.

Mulanya, gajah-gajah liar tersebut hendak membawa kabur Ria, gajah jinak betina lainnya. Waktu itu, rantai kaki Ria tidak bisa dilepas oleh gajah-gajah liar, sementara rantai di kaki Indah bisa diputus.

Nukman dan tim mengejar Indah dengan gajah jinak Ria dan Ngarun. Hingga hari ke tujuh, di lembah sekitar Kampung Patin [nama saat ini], mereka menemukan Ria yang tertinggal rombongan karena tertahan kayu melintang.

“Indah selamat dan bergabung dengan timnya,” jelas Nukman.

 

Gajah sumatera di Riau yang habitatnya semakin terdesak akibat rusaknya hutan. Foto: Rahmi Carolina/Mongabay Indonesia

 

Perjalanan proyek PLTA Koto Panjang

Proyek pembangunan PLTA Koto Panjang bermula tahun 1979. Saat itu Perusahaan Listrik Negara [PLN] merencanakan pembangunan dam untuk sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Air [PLTA] skala kecil di Tanjung Pauh, Kabupaten Limapuluh Kota, Provinsi Sumatera Barat.

Hal ini dilakukan untuk memanfaatkan potensi Batang Mahat, anak sungai Kampar Kanan. Tujuan utamanya, menambah daya listrik di kawasan sekitar, termasuk juga beberapa daerah di Riau.

Merujuk jurnal Indonesian Perspective, Volume 1 Nomor 1 [Januari-Juni] 2016, yang ditulis Keigo Kashiwabara, Kedutaan Besar Jepang di Indonesia, berjudul “Opini Publik dan Politik Luar Negeri: Sikap Masyarakat Indonesia Terhadap ODA Jepang dalam Proyek PLTA Koto Panjang dan Hubungan Bilateral Indonesia-Jepang” dijelaskan tahun 80-an ekonomi berkembang di Sumatera, sehingga permintaan listrik di daerah tersebut bertambah sekitar 20%. Saat itu, sumber energi listrik di Sumatera Barat berasal dari tenaga air, gas, dan diesel.

Persentase terbesar dari tenaga air [46,9%], disusul tenaga diesel [27,4%], dan tenaga gas [25,7%]. Sedangkan Provinsi Riau menghasilkan 100% energi listrik dari pembangkit listrik tenaga diesel.

Di Sumatera Barat, kabel listrik disediakan hanya di Kota Padang dan sekitar. Sementara penduduk di Riau, menggunakan listrik melalui pembangkit listrik tenaga diesel berskala kecil, dengan kabel yang disediakan warga sendiri. Oleh sebab itu, electrification rate di Provinsi Riau hanya sampai 12,3% saja.

Ini merupakan persentase paling rendah di seluruh Sumatera dengan rata-rata electrification rate sebesar 24,9%. PLN tidak mampu meningkatkan ketersediaan listrik di Riau. Ini disebabkan karena sumber daya alam, seperti gas alam atau sumber panas bumi yang diperlukan untuk pembangkit tidak cukup tersedia.

Kebijakan sektor energi pun menjadi prioritas pemerintah di masa itu. Pembangunan proyek PLTA yang memanfaatkan sumber daya air di Riau, dibangun dengan dana bantuan dari Jepang. Saat itu, Tokyo Electric Power Services Corporation [TEPSCO], sebuah perusahaan konsultan Jepang sebagai pembangun PLTA, telah mengirim tim ke Sumatera.

Dari hasil kerja tim, TEPSCO mengusulkan pembangunan waduk skala besar, yakni di pertemuan antara Sungai Kampar Kanan dengan Batang Mahat. Lokasi damsite di Koto Panjang.

TEPSCO juga menyarankan kepada PLN untuk merencanakan persiapan kabel listrik. Nantinya, digunakan untuk menghubungkan energi listrik yang dihasilkan PLTA Koto Panjang ke Provinsi Sumatera Barat dan Riau. Tujuannya, menjaga keseimbangan permintaan dan penawaran listrik di kedua daerah.

 

Ancaman kehidupan gajah sumatera selalu ada, meski statusnya sebagai satwa liar dilindungi. Foto: Rahmi Carolina/Mongabay Indonesia

 

Tahun berikutnya, TEPSCO mengirim tim untuk melakukan penelitian prastudi kelayakan ke damsite. Hasilnya, TEPSCO menyarankan kepada pemerintah untuk membangun bendungan besar skala tunggal di Koto Panjang, serta merelokasi 11 desa yang ada untuk digenangi.

Sebelas desa tersebut adalah Desa Batu Besurat, Koto Tuo, Binamang, Pongkai Istiqomah, Muara Takus, Gunung Bungsu, Koto Masjid, Pulau Gadang, Lubuk Agung, Tanjung Balik, dan Tanjung Alai. Delapan desa secara administrasi berada di Kabupaten Kampar, Kecamatan XIII Koto Kampar, Riau, dan tiga lagi berada di Kabupaten Limapuluh Kota, Provinsi Sumatera Barat. Hal ini dilakukan karena biayanya dianggap lebih murah dan kapasitas listrik yang dihasilkan lebih besar.

Desember 1990, Pemerintah Jepang dan Indonesia menandatangani kesepakatan Exchange Note atas proyek Koto Panjang dengan nama “Koto Panjang Hydroelectric Power and Associated Transmission Line Project”. Tokyo menurunkan dana bantuan pertama senilai ¥12,5 miliar di tengah gelombang protes dari masyarakat setempat.

Tentu saja, Pemerintah Jepang mengajukan syarat-syarat pinjaman untuk pembangunan proyek, seperti penduduk yang terkena dampak proyek Koto Panjang harus mengikuti perundingan pembayaran ganti rugi, dan segala hewan liar, terutama 30 ekor gajah di lokasi, harus diselamatkan dengan dipindahkan ke tempat pelindungan yang cocok.

Rapat terpadu antara Pemda Riau dan Sumatera Barat gencar dilakukan bersama Kepala Biro Regional Bappenas, karena lokasi pembangunan PLTA Koto Panjang berada di perbatasan Riau dan Sumatera Barat. Tahun 1992, pemerintah mulai melakukan pemindahan masyarakat serta satwa liar, ke tempat baru secara bertahap.

 

PLTA Koto Panjang yang dibangun dengan tujuan untuk memenuhi pasokan listrik masyarakat. Foto: Rahmi Carolina/Mongabay Indonesia

 

Manusia dan gajah direlokasi

PLTA Koto Panjang berjarak sekitar 22 km dari Bangkinang, Ibu Kota Kabupaten Kampar. Atau, sekitar 87 km dari Pekanbaru, Ibu Kota Provinsi Riau. Letaknya di pinggir jalan nasional yang menghubungkan Provinsi Riau dan Sumatera Barat.

Bendungan ini memanfaatkan aliran Sungai Kampar Kanan, dengan konstruksi dam beton tipe concrete gravity setinggi 58 meter dan panjang 258 meter. Kapasitas tampungnya 1.545 juta meter kubik, dengan 1.040 meter kubik kapasitas tampung aktif, sebagaimana dijelaskan Aras Mulyadi, dalam tulisan berjudul “Industri Listrik PLTA Koto Panjang Vs Permasalahan Lingkungan” di Jurnal Industri dan Perkotaan, Volume 8 No 13 [2003].

Dari sini terbentuklah waduk yang telah menggenangi sejumlah permukiman dengan luas 124 kilometer persegi, atau kira-kira seluas wilayah Kota Jakarta Barat.

Bendungan PLTA Kota Panjang menggunakan turbin generator jenis kaplan, dengan tiga unit generator yang masing-masing membangkitkan daya listrik sebesar 38 mega watt.

Pembangunan PLTA dilakukan dengan membendung Sungai Kampar di Rantau Berangin [Merangin], Kabupaten Kampar. Sungai Kampar merupakan sungai besar di Riau, gabungan dua anak sungai yang hampir sama besarnya, yaitu Sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri.

Sungai Kampar Kanan melintasi Kabupaten Limapuluh Kota [Sumatera Barat] dan Kabupaten Kampar [Riau]. Sedangkan Sungai Kampar Kiri melewati Kabupaten Sijunjung [Sumatera Barat] dan dua kabupaten di Riau yaitu Kuantan Singingi dan Kampar.

 

Ulu Kasok, objek wisata alam yang menyuguhkan hamparan danau luas, dengan pesona gugusan bukit hijau. Foto: Rahmi Carolina/Mongabay Indonesia

 

Tahun 1992, masyarakat Desa Pulau Gadang mulai dipindahkan ke permukiman baru. Tak hanya warga, satwa liar khususnya gajah sumatera pun tak luput direlokasi ke habitat baru.

BKSDA Riau menurunkan tim guna pemindahan gajah tersebut: staf, mahout atau pawang gajah, serta empat ekor gajah latih. Tiga ekor bernama Ria, Ngarun, dan Bang Song di datangkan dari Pusat Latihan Gajah [PLG] Sebanga Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau. Seekor lagi merupakan gajah Thailand bernama King Kai yang didatangkan dari BKSDA Aceh.

Gajah-gajah latih yang dilibatkan ini bertugas sesuai jadwal. Termasuk Indah, gajah latih yang disandera oleh gajah liar jantan. Peran gajah jinak diperlukan demi keamanan tim. Sebab, dalam proses penangkapan dan penggiringan, tim berhadapan langsung dengan gajah-gajah liar.

 

Exit mobile version