Mongabay.co.id

Hutan dan Gambut Pulau Mendol Terancam Perusahaan Sawit, Warga pun Resah

 

 

 

 

 

Perusahaan sawit, PT Trisetia Usaha Mandiri (TUM), akan beroperasi di Pulau Mendol, Kabupaten Palalawan, Riau. Izin kepada perusahaan sawit ini diduga melanggar beberapa peraturan, seperti berada di gambut fungsi lindung. Pulau kecil ini juga jadi sumber kehidupan warga dengan berkebun dan bertani. Bahkan, pulau ini salah satu lumbung pangan di Palalawan.

Kasus ini mencuat ketika, M Syahrir, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau, surati Direktur TUM Surat tertanggal 15 Juni 2022 itu memberi tenggat waktu 20 hari agar perusahaan segera memanfaatkan lahan. Sejak dapat HGU 2017, TUM menelantarkan konsesinya.

Syahrir, baru pensiun awal Oktober lalu. Selang satu minggu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dia tersangka, bersama Frank Wijaya dan Sudarso, masing-masing Komisaris dan General Manager PT Adimulia Agrolestari (Afimulia).

Dalam kasus lain, Sudarso sudah vonis dua tahun karena terbukti menyuap Bupati Kuantan Singingi non aktif Andi Putra, yang dihukum 5,7 tahun bui. Mereka terlibat kasus suap perpanjangan hak guna usaha (HGU) Adimulia yang enggan memenuhi kewajiban kebun plasma.

Untuk kasus TUM ini, surat peringatan yang dikeluarkan Syahrir tidak mempertimbangkan pencabutan izin usaha perkebunan budidaya (IUPB) perusahaan oleh M Harris, Bupati Pelalawan, 13 April 2020.

 

Kanal yang dibangun PT TUm, di lahan gambut, menuju pantai dan membelah hutan. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Harris menerbitkan izin itu seluas 6.550 hektar pada 2013 dan cabut kembali setelah tujuh tahun perusahaan tak kunjung memenuhi kewajiban Pasal 40 ayat 1 dan 3, Peraturan Menteri Pertanian 98/2013.

Empat bulan berselang, pada 31 Agustus 2020, pencabutan izin itu ditindaklanjuti Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Pelalawan. Suriani, Kepala Dinas Budi kirim surat ke Kementerian ATR/BPN agar membatalkan atau mencabut hak atas tanah TUM walau hingga sekarang belum ada keputusan.

Berdalih tidak pernah mendapat surat peringatan dari Pemerintah Kabupaten Pelalawan, TUM tetap mengerahkan beberapa alat berat. Buat jalan, bersihkan lahan hingga menggali kanal.

Menurut Kazzaini KS, tokoh masyarakat Pulau Mendol, keberadaan kantor TUM tidak jelas. Pemerintah Pelalawan pun tak berhasil melacak alamat perusahaan untuk mengirim surat pencabutan IUP.

Perusahaan ini baru muncul dan beri tanggapan setelah berita penolakan masyarakat bertebaran di internet maupun media cetak.

Mengutip Hariantimes.com, Aznur Affandi, mengaku sebagai penanggungjawab perusahaan, menegaskan telah memiliki seluruh perizinan: persetujuan pencadangan lahan 1995, izin prinsip, pelepasan kawasan hutan, IUP maupun HGU yang baru berakhir pada 2052.

Aznur mengaku lalai hingga lahan terlantar. Alasannya, persoalan teknis seperti perlu pemetaan ulang kawasan, penelitian dan kajian memulai aktivitas, termasuk modal besar. Kendala itu, katanya, menjadi tambah sulit ketika pandemi COVID-19 menyerang dalam beberapa tahun belakangan.

Setelah dapat peringatan dari Kanwil BPN Riau, barulah perusahaan berangsur-angsur mengerjakan arealnya.

Mongabay menghubungi Aznur Affandi, 29 Oktober 2022, sore. Dia menolak beri keterangan. “Tak usahlah ya. Ndak. Ndak.”

Hasil pantauan Walhi Riau, eskavator TUM menggali kanal hampir satu kilometer dengan kedalaman lebih dua meter. Parit besar itu justru lebih banyak membentang di luar HGU. Bahkan, bermuara ke bibir pantai atau hanya lima meter lagi ke laut.

Informasinya, akan dibangun pelabuhan menunjang aktivitas perusahaan ke depan. Walhi Riau menemukan bukti jual beli tanah di sekitar pantai antara perwakilan perusahaan dengan sejumlah masyarakat. Kazzaini bilang, pembelian lahan hampir 10 hektar itu untuk membangun akses dari konsesi TUM ke laut.

“Memang tidak ada aturan spesifik yang kami temukan soal larangan pembangunan kanal di bibir pantai. Tapi untuk ekosistem gambut sangat berbahaya. Karena akan mendorong gambut jadi kering. Air turun dan gampang terbakar,” kata Boy Jerry Even Sembiring. Direktur Eksekutif Daerah Walhi Riau.

Pembukaan kanal dalam HGU tanpa IUPB karena telah dicabut, katanya, tergolong pelanggaran hukum.

“Dalam logika perizinan perkebunan, dalam UU Cipta Kerja sekalipun, tetap disyaratkan, aktivitas perusahaan perkebunan harus memiliki hak atas tanah dan perizinan berusaha, yang sebelumnya disebut izin usaha perkebunan,” katanya.

Memperhatikan jalur kanal yang dibangun, kuat dugaan TUM menebang kayu alam karena sempadan kiri-kanan bukaan kanal jelas ada kayu mahang. Seharusnya, TUM memiliki izin pemanfataan kayu (IPK).

 

Kanal yan dibangun perusahaan sawit di lahan gambut menuju pantai. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Picu konflik

Perusakan hutan alam itu pun kadung menimbulkan gejolak di Pulau Mendol, Kecamatan Kuala Kampar, Kabupaten Pelalawan, Riau. Warga protes. Menghadang beko dan menyita kunci agar operator alat berhenti menggali gambut.

Unjuk rasa juga berlangsung beberapa kali di Kantor BPN Riau, Jalan Cut Nyak Dien, Kecamatan Sukajadi, Pekanbaru. Audiensi dengan Ketua DPRD kota dan provinsi. Masyarakat sempat menyerahkan surat penolakan terhadap TUM ke Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia Tanjung, saat melawat ke Pekanbaru.

Saar ini Asnawati, sebagai pelaksana tugas Kepala Kantor Wilayah BPN Riau, sekaligus Direktur Pengendalian Hak Atas Tanah, Alih Fungsi Lahan, Kepulauan dan Wilayah Tertentu, Kementerian ATR/BPN. Mongabay menghubungi ajudannya, Farhan Lerian, untuk konfirmasi. Dia minta kirim inti pertanyaan via WhatsApp dan akan meneruskan terlebih dahulu ke Kepala Bidang Pengendalian dan Penanganan Sengketa BPN Riau, Seti Kuncoro.

Beberapa hari kemudian, Farhan mengarahkan wawancara ke Koordinator Substansi Pengendalian Pertanahan, Syafrina.

Syafrina mengatakan, jauh hari sebelum ada gejolak, BPN Riau sudah melakukan tahapan evaluasi terhadap HGU TUM. Dia akui, pemilik perusahaan yang klaim sebagai putra daerah ini sulit dihubungi.

Surat BPN Riau pun sempat dikembalikan oleh jasa pengiriman karena alamat perusahaan tak sesuai lagi. Sampai akhirnya mereka surati Kementerian Hukum dan HAM menanyakan status perusahaan.

Berdasarkan akta 8 Juli 2013, TUM berkantor di Wisma Aldiron, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Jakarta. Kini, ditempati PT James Consulting and Trading.

Meski begitu, Panitia C atau panitia evaluasi penertiban tanah terindikasi terlantar tetap mengawasi perkembangan kegiatan perusahaan. Dari hasil beberapa kali turun ke lapangan dan sidang panitia, BPN Riau akhirnya memberi peringatan tiga kali sesuai jangka waktu yang ditetapkan. Kini, areal HGU TUM sudah diajukan ke Menteri ATR/BPN untuk ditetapkan sebagai tanah terlantar. Kondisi lapangan sudah tidak memungkin untuk diusahakan lagi oleh perusahaan.

 

 

Langkah-langkah ini, katanya, merujuk PP 20/2021 tentang penertiban kawasan dan tanah terlantar termsuk turunannya, Permen Agaria/Kepala BPN 20/2021 mengenai tata cara penertiban dan pendayagunaan kawasan dan tanah terlantar. Salah satu indikasi terlantar juga merujuk surat pencabutan IUPB dari Bupati Pelalawan, sebelumnya.

“Jadi kita mulai bergerak September 2021. Sebenarnya, sudah panjang prosesnya. Sudah beberapa kali ke lokasi. Harusnya masyarakat tahu. Tiap turun, kami ketemu kepala desa dan camat. Termasuk rapat bersama sekretaris daerah maupun bupati. Tidak serta-merta HGU langsung dicabut,” kata Syafrina, 28 Oktober lalu.

Zukri, Bupati Pelalawan, pengganti Harris, telah melayangkan surat pada 11 Juli 2022. Merujuk dua keputusan bupati sebelumnya, pencabutan IUPB dan usulan pembatalan HGU yang sudah memasuki proses akhir. Dia memerintahkan, TUM menghentikan seluruh kegiatan. Desakan itu juga tak lepas dari laporan masyarakat yang sampai ke meja pemerintah daerah.

Belakangan, Andy Nofendri, Direktur Utama TUM, melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pekanbaru pada 25 Oktober 2022. Dia meminta pengadilan membatalkan surat keputusan Bupati Pelalawan yang mencabut IUPB dan yang menghentikan kegiatan.

Unjuk rasa penolakan kehadiran TUM di Pulau Mendol muncul dari berbagai kelompok atas nama masyarakat. Mulai dari Forum Masyarakat Penyelamat Pulau Mendol (FMPPM), Gerakan Masyarakat dan Mahasiswa Kuala Kampar (Gemmpar), Aliansi Petani Kuala Kampar (APPK) maupun Barisan Muda Riau (BMR).

“Masyarakat Pulau Mendol tidak anti investasi. Istilah Melayu, kecil telapak tangan, nyiru kami tadahkan. Cuma yang jadi persoalan, sawit itu sangat tidak ramah terhadap lahan gambut. Sementara seluruh daratan Mendol adalah gambut hasil endapan Sungai Kampar,” kata Kazzaini.

Pertengahan September lalu, satu dari tiga mobil yang ditumpangi rombongan FMPPM kecelakaan di satu ruas jalan tol Banten hingga satu orang meninggal dunia setelah dirawat beberapa hari di rumah sakit.

Kazzaini patah tangan dan satu orang lagi patah jari. Mereka berangkat dari Pangkalan Kerinci, Pelalawan, malam sebelum kejadian nahas. Agendanya, hendak menyambangi Kementerian ATR/BPN agar secepat mungkin cabut HGU TUM.

Cerita Kazzaini, penolakan masyarakat terhadap HGU sawit TUM sebenarnya sudah berlangsung empat tahun lalu. Tak lama setelah Menteri ATR/BPN mengeluarkan surat keputusan. Sejak itu, masyarakat mulai resah. Antar tokoh masyarakat Mendol yang menetap di Pekanbaru pun bereaksi dan musyawarah berkali-kali. Mereka membahas nasib kampung halaman mereka.

 

Tutupan hutan di Pulau Mendol, yang masuk izin PT TUM. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Pelanggaran

Sofyan Djalil, Menteri ATR/Kepala BPN, kala itu, memberikan HGU pada TUM melalui keputusan No. 103 seluas 6.055,77 hektar pada 2017.

Walhi Riau menilai, penerbitan hak atas tanah ini melanggar tiga kriteria penting. Pertama, soal pelepasan kawasan hutan. TUM memperoleh izin itu pada 1997 untuk dua wilayah. Antara lain, Kelompok Hutan Sungai Apit, Bengkalis (sekarang Kabupaten Siak) 24.755,65 hektar dan Kelompok Hutan Mendol, Pelalawan (waktu itu Kampar) 7.668 hektar.

Di Siak, areal itu masuk dalam daftar evaluasi berdasarkan SK No: 01/MenLHK/Setjen/Kum.1/1/2022 yang diterbitkan Menteri Siti Nurbaya.

Areal di Pulau Mendol memang tak masuk evaluasi tetapi pasca pelepasan kawasan hutan, TUM baru mendapat HGU 20 tahun kemudian. Jadi, lokasi itu telah dikuasai masyarakat dengan ragam tanaman seperti kelapa, pinang, kopi, sagu dan karet.

Pulau Mendol juga salah satu lumbung padi di Pelalawan.

“Data resmi pemerintah, hampir tujuh ribuan pulau itu adalah peladangan padi. Menurut perkiraan kami, sekitar 10 ribuan hektar. Karena diantara kelapa, masyarakat juga menanam padi,” kata Kazzaini.

Laporan kinerja 2021 devisi pimpinan Asnawati, juga berupaya mengendalikan alih fungsi lahan pangan khusus sawah jadi non sawah. Ia satu strategi peningkatan kapasitas produksi padi dalam negeri sejalan dengan UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Juga Peraturan Presiden 59/2019 tentang pengendalian alih fungsi lahan sawah.

Hasil olah citra satelit oleh Walhi Riau, HGU TUM diperkirakan tumpang tindih dengan pemukiman dan perkebunan warga seluas 2.884 hektar, hampir setengah dari luasan HGU.

Secara keseluruhan, konsesi itu tersebar di lima desa, Sungai Solok, Teluk Bakau, Teluk Beringin, Teluk Dalam dan Teluk. Kazzaini tak ingin desa-desa ini kering kerontang karena sawit akan merusak peladangan masyarakat, termasuk Pulau Mendol.

Namun dari surat yang ditunjukkan Syafrina pada Mongabay, menyebutkan, HGU TUM justru bebas dari garapan masyarakat. Salah satu lampiran syarat permohonan penerbitan HGU itu ditandatangani Wakil Bupati Pelalawan, Marwan Ibrahim, pada 2012.

Selain lumbung pangan itu, Walhi Riau juga menemukan area itu jadi sumber mata air yang dibangun pemerintah pada 1997. Perkebunan sawit di areal kerja TUM ditengarai akan membahayakan dan mengancam kebutuhan air masyarakat Pulau Mendol. Lokasi HGU juga habitat satwa endemik, seperti biawak dan monyet besar.

“Perlu riset khusus untuk mewujudkan keadilan ekologis. Kebijakan harus adil untuk lingkungan, manusia maupun satwanya,” saran Boy.

Dia menyebut, walaupun HGU TUM terbit 2017, tetapi pada Agustus 2018, Presiden Joko Widodo menerbitkan Instruksi Presiden No 8 tentang moratorium perkebunan sawit. Inpres ini menyebut lokasi perkebunan dari pelepasan kawasan hutan, kalau masih ada tutupan, kembali ke negara untuk ditetapkan kembali ke status awal.

Sekitar 53% HGU TUM atau 3.200 hektar masih punya tutupan hutan alam.

“Sebenarnya, apa yang dilakukan Bupati Pelalawan pada 2020 sudah tepat. Sayangnya, instrumen pencabutan IUP tidak memperhatikan inpres ini.”

 

Sumber: Walhi Riau

 

Kedua, pelanggaran kelayakan perkebunan sawit skala besar. Mendol atau juga sering disebut Penyalai, merupakan pulau kecil, hanya 312,89 km2 atau sekitar 30.000 hektar.

Kazzaini bilang, hampir 20% luasan Mendol akan jadi perkebunan sawit kalau HGU TUM beroperasi.

Merujuk UU 27/2007 mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, daratan maupun perairan sekitar pulau itu hanya untuk kepentingan konservasi, pendidikan, pelatihan, penelitian, pengembangan hingga budidaya laut.

“Seharusnya setelah keluar Inpres Moratorium Sawit, HGU itu harus dicabut. Walaupun terbit tahun 2017,” kata Boy.

Ketiga, mengenai perlindungan gambut. Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil, waktu itu, juga abai terhadap Instruksi Presiden 10/2011 tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. Termasuk, Permentan 14/2009 mengenai pedoman pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya sawit.

Padahal, merujuk peta kesatuan hidrologis gambut nasional, sekitar 5.689,49 hektar HGU TUM berada di atas gambut lindung. Hanya sedikit pada fungsi budidaya. Peta ini diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 28 Februari 2017.

Sofyan Djalil menerbitkan HGU TUM tujuh setengah bulan kemudian.

Ketidakpatuhan itu juga menunjukkan, Sofyan Djalil dinilai tak menghiraukan Peraturan Pemerintah 71/2014 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah 57/2016. Pemerintah tegas melarang pembukaan lahan baru pada gambut fungsi lindung.

“Dia (Sofyan Djalil) banyak menyalahi peraturan perundangan-undangan. Dia yang bertanggungjawab karena melakukan perbuatan melawan hukum dalam proses penerbitan izin. Itu berdampak konflik di masyarakat bahkan menghilangkan satu nyawa,” kata Boy.

Walhi Riau beri tiga rekomendasi. Menteri ATR/BPN segera mencabut HGU TUM, Bupati Pelalawan menyiapkan lokasi itu sebagai target legalisasi dan redistribusi tanah untuk masyarakat. Kemudian, mengkaji kawasan yang masih memiliki tutupan, ditetapkan kembali jadi kawasan hutan, untuk dikelola masyarakat lewat perhutanan sosial. Terakhir, KLHK dan Kementerian Kelautan dan Perikanan berkoordinasi ke Kementerian ATR/BPN guna memastikan perlindungan Pulau Mendol sebagai ekosistem gambut.

Gak ada alasan bagi Hadi Tjahjanto (Menteri ATR/BPN saat ini) tidak mencabut HGU TUM di Pulau Mendol. Satu, untuk memuliakan kepentingan masyarakat. Dua, untuk lingkungan hidup dan generasi masa depan.”

 

 

 

********

Exit mobile version