Mongabay.co.id

Mencari Jejak Anoa di Sulawesi Barat [Bagian 1]

 

 

“Jejak anoa inikah?” Saya bertanya ke Pecel, nama lapang Andri Ahmad Mukarom.

“Tunggu. Cek dulu.”

Andri membungkuk. Menyingkirkan daun-daun kering menggunakan jari.

Jejak itu tercetak di tanah gembur dan lembab, di bawah belukar daun adan [Phyllostachys aurea], nama lokal pakan kesukaan anoa. Sesuai dengan petunjuk dari buku panduan, selebar kartu ATM.

Andri mengeluarkan mistar besi lalu mengukurnya. Garing, rekan tim Andri mencatat koordinat di hape dan mengambil foto jejak itu.

Anoa adalah hewan berkuku belah. Di tanah, kuku depan anoa akan meninggalkan dua jejak meruncing dan dalam.

“Sepertinya ini jejak anoa,” kata Andri.

Andri adalah anggota Lawalata, kelompok mahasiswa pencinta alam IPB University. Akhir Juli 2022, mereka menyebar di Mamuju dan Mamasa. Melakukan ekspedisi bertajuk “Ekspedisi Raja Gandewa” untuk mengetahui populasi dan sebaran pakan anoa. Tim Andri bertugas di Gunung Mambulilling, Mamasa, Sulawesi Barat. Beranggotakan sembilan orang.

Di depan, Yunus, warga lokal pendamping tim, menemukan jejak serupa. Sedikit lebih kecil. Tercetak di sebuah pohon tumbang raksasa yang lapuk dan lembab, melintang di jalur pendakian.

“Sepertinya, anoa dari sini,” kata Yunus, sembari mencari jejak pendukung.

“Ada bekas tanduk,” serunya, menunjuk sebuah pohon, tiga meter dari letak jejak kecil tadi.

Anoa mengasah tanduk di batang pohon keras. Atau, menjadikan pohon sebagai titik bidik tandukan. Di alam liar, tanduk tajam dan ketangkasan menanduk adalah dua hal yang perlu dimiliki anoa, demi bertahan hidup.

Anoa menyiapkan itu sejak kecil, saat  dibawah perlindungan induknya, hingga akhirnya memisahkan diri dan menjelajah hutan ‘sendiri.’ Anoa termasuk hewan soliter.

Yunus menemukan bekas goresan begitu jelas. Saya membayangkan setajam apa tanduk anoa dan kekuatannya, sampai-sampai pohon bisa ‘luka’. Lokasi penemuan berada di sebuah punggungan, 2100 meter di atas permukaan laut [mdpl].

Kami senang. Temuan menakjubkan itu membuka hari pertama ekspedisi selama tujuh hari ke depan.

Baca: Melacak Leluhur Anoa di Sulawesi

 

Suasana damai dan alami di hutan wilayah Gunung Mambulilling, bagian bentang alam raksasa dengan topografi terjal dan tutupan hutan memukau bernama Gandang Dewata. Foto: Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Gunung Mambulilling

Gunung Mambulilling merupakan bagian bentang alam raksasa dengan topografi terjal dan tutupan hutan memukau bernama Gandang Dewata. Membentang hingga wilayah administrasi Kabupaten Mamuju, Mamuju Tengah, dan Pasangkayu serta Pegunungan Quarles. Sejak 2016, Gandang Dewata menjadi Taman Nasional, seluas 189.208,17 ha.

Gunung ini adalah habitat tokata, nama lokal anoa pegunungan, berbulu cokelat kehitaman. Topografinya yang curam, menjadi pelindung anoa dari jangkauan ‘predator puncak’ Pulau Sulawesi: manusia.

Anoa termasuk keluarga Bovidae, sedikit lebih besar dari anak kerbau, kerabat dekatnya. Anoa endemik Pulau Sulawesi dan juga dijumpai di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara.

Leluhur anoa [Proamphibos] diyakini berasal dari daratan Asia Selatan. Mencapai Pulau Sulawesi jutaan tahun lalu -saat separuh pulau masih melesap di bawah permukaan laut-dan mengalami pengerdilan tubuh dan kaki.

“Leluhur anoa pertama kali menginjakkan kaki di Sulawesi itu di Gandang Dewata, di Mamasa, Sulawesi bagian barat,” kata Abdul Haris Mustari, peneliti anoa dari IPB University.

Dari Mamasa, anoa memulai penyebarannya ke jantung-jantung hutan Sulawesi. Anoa menjadi dua spesies dalam proses evolusi dua juta tahun lalu: anoa pegunungan [Bubalus quarlesi] dan anoa dataran rendah [Bubalus depressicornis].

Penelitian tahun 2017, telah mengidentifikasi satu spesies anoa lain, Bubalus grovesi, yang telah lama punah, melalui fosil yang ditemukan di dua tempat di Sulawesi Selatan: Sungai Walanae dan situs gua prasejarah di Maros.

Bubalus grovesi diyakini sebagai “perwakilan paling kuno dan terbesar dari subgenus anoa.” Massa tubuhnya diperkirakan mencapai 117 kg. Nyaris dua kali lipat dari berat anoa pegunungan yang hanya 60-80 kg. Sedang berat anoa dataran rendah, 80-100 kg.

Baca: Jalan Sunyi Abdul Haris Mustari Meneliti Anoa

 

Jejak kaki anoa. Foto: Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Hari keempat ekspedisi, kami berencana menuju suatu tempat, sebuah punggungan pada ketinggian 2500 mdpl. Tempat pemburu babi hutan yang menemukan jejak anoa. “Mungkin sudah satu minggu lebih itu anoa di atas sana,” kata pemburu itu, yang tidak ingin disebutkan namanya. “Anjing saya tadi sempat mengejar.”

Hari itu menjadi rute terjauh sejak ekspedisi dimulai, melipir sekitar 2 km. Saban hari, tim inventarisasi menarik satu persegi di atas peta, memanjang 1 km dengan lebar 50 m, menjadi pagar bayangan selama menjelajah. Di lapangan, perjalanan bisa menempuh jarak berkali lipat.

Pencarian anoa adalah upaya yang sejak lama telah dilakukan. Seorang naturalis asal Inggris, Alfred Russel Wallace mencoba peruntungan itu, pada 1859, saat mencapai Lempias, sebuah kampung di kaki Gunung Klabat, Manado.

Lempias adalah rumah bagi sapi-utan, sebutan lokal anoa. Wallace terpikat dengan satwa itu. “Saya melihat dua spesimen dari spesies ini di Manado,” kata Wallace dalam buku Kepulauan Nusantara.

“Dan terkejut melihat persamaannya dengan hewan ternak kecil, lebih-lebih lagi dengan kijang di Afrika Selatan [Nesotragus moschatus].”

Wallace berburu selama tiga hari. Tiap hari, dia bertengger di atas pohon selama lima jam, dengan jari di ujung pelatuk senapan. Tetapi upaya itu berkahir hampa. Penemu garis Wallacea itu tak pernah mendapat kesempatan menembak.

Seperti Wallace, Lawalata mencoba peruntungan serupa.

Di Mambulilling, anoa telah berpindah tempat, menjauh dari aktivitas manusia. “Di sini anoa dulu biasa turun,” kata Yunus. “Tapi karena banyak pemburu bawa anjing, dia menyingkir jauh. Mungkin takut.”

“Anoa itu tahu ada manusia dari jarak puluhan meter,” kata Yunus.

Yunus pernah menjumpai anoa saat masih kecil. Sekali seumur hidupnya. Dia yakin, perjalanan hari itu tidak berakhir hampa. Secara teori, tujuan kami sesuai dengan habitat anoa pegunungan. Setidaknya ada jejak lando, hari itu.

Baca: Kenapa Anoa Dijuluki Kerbau Kerdil?

 

Kotoran anoa yang ditemukan saat ekspedisi bertajuk “Ekspedisi Raja Gandewa” untuk mengetahui populasi dan sebaran pakan anoa. Foto: Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Tengah hari, kami tiba di lokasi tujuan. Yunus di depan seperti biasanya, disusul dua anggota Lawata bernama Mengi dan Bewok, lalu saya.

Di tepi jalur pendakian, Mengi menemukan jejak kecil kaki anoa, selebar 7 cm. Anoa tak hanya melintasi jalur ini tapi singgah dan makan daun adan sepuasnya. Yunus menunjukkan bekas gigitannya.

Daun adan menyerupai bambu, dengan batang berserat lebih kecil, beruas kecil, meruncing, dan tumbuh selang-seling. Adan menjulang hingga lima meter, lalu menjuntai ke tanah.

Anoa menarik batang adan hingga patah, untuk menggapai daun muda di pucuk. Di sini, anoa juga melahap habis daun anggrek berjenis Dendrochillum spp..

Pada pendakian berikutnya, tampak satu jejak anoa tercetak di lumut. Mengarah ke atas. Kemiringan medan ini nyaris 90 derajat. Melewatinya perlu pijakan tepat, sambil mencengkram akar-akar pohon.

Medan terjal bukan perkara besar bagi anoa pegunungan. Berkat empat kaki kerdil [dua kaki depannya lebih pendek] dan tubuh kecilnya, dia bisa mendaki, berlari melalui punggungan terjal semudah tupai berpindah pohon.

Setelah pendakian melelahkan berikutnya, Yunus menemukan kotoran anoa, di balik ‘lorong’ daun adan. Dari dalam, lorong ini membentuk kubah. Kami harus merangkak masuk. Sekilas, kotorannya tak jauh berbeda dengan sapi. Bulatan bertumpuk dan menyatuh. Hijau kehitaman dan halus.

Apa yang istimewa? Di hutan, kotoran anoa membantu rantai ekositem hutan tropis.  Menjadi pupuk dan jika ada biji-biji di dalamnya, akan tumbuh menjadi pohon. Menjadi kehidupan baru.

Selama empat jam, kami menemukan delapan kotoran dan sembilan jejak kaki anoa. Keseluruhan, Tim Lawalata menemukan sebelas jejak kaki, delapan kotoran, dan delapan gigitan anoa.

Baca juga: Dianggap Punah, Jejak Anoa Ditemukan di Tahura Abdul Latief Sinjai

 

Aktivitas inventarisasi untuk mencari jejak anoa. Foto: Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Di Gandang Dewata, Tim Lawalata lain menjumpai 73 jejak kaki, lima kotoran, dan enam tempat peristirahatan [shelter]. Dari arah lain, di Bonehau, Mamuju, tim hanya menemukan tempat bernaung dan berkubang.

Data lain menyebutkan, populasi anoa jauh lebih tinggi di Mambulilling, menurut hasil inventarisasi baru-baru ini Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam [BBKSDA] Sulawesi Selatan, pemangku wilayah sementara Taman Nasional Gandang Dewata.

Tim berhasil mengidentifikasi jejak kaki, kotoran, tempat bernaung dengan jumlah keseluruhan mencapai 100 titik.

“Berkurangnya aktivitas perburuan anoa dan banyaknya sumber air, merupakan faktor yang menyebabkan tingginya populasi anoa di Desa Mambuliling,” terang Jusman, Kepala BBKSDA Sulawesi Selatan.

 

Exit mobile version