Mongabay.co.id

Mencari Jejak Anoa di Sulawesi Barat [Bagian 2]

 

 

Baca sebelumnya: Mencari Jejak Anoa di Sulawesi Barat [Bagian 1]

**

 

Di Mamasa, masyarakat setempat mengenal anoa sebagai satwa yang bisa dikonsumsi. Sampai sekitar tahun 2006, diburu besar-besaran, terutama jenis anoa pegunungan.

Waktu itu, tak ada yang peduli nasib satwa ikonik Sulawesi ini.

“Saya tidak pernah hitung, berapa banyak yang sudah diburu,” kata Bongga Lembang.

Bongga seorang pemburu anoa di Mamasa. Sejak usia 12 tahun, dia mengikuti jejak sang Ayah. Di Mamasa, berburu menjadi tradisi bagi satu rumpun keluarga tertentu. Diwariskan ke anggota keluarga laki-laki.

Tradisi berburu anoa dilakukan sejak lama. Diperkirakan, aktivitas tertua terawetkan melalui gambar purba berusia 40 ribu tahun, dalam perut gua karst Bulu Sipong IV Maros, kompleks situs prasejarah.

Anoa telah dilindungi jauh sebelum Indonesia berbentuk republik, ketika administrasi kolonial Belanda. Kini, Pemerintah Indonesia telah melindungi anoa pegunungan dan anoa dataran rendah melalui Peraturan Menteri LHK No. P 106 tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi.

Selain itu, kedua spesies masuk dalam Apendiks I, Convention on International Trade in Endangered Species [CITES]. Artinya, tidak boleh diburu dan diperdagangkan. International Union for Conservation of Nature’s [IUCN], menetapkan anoa pegunungan dan anoa dataran rendah sebagai satwa terancam punah berstatus Genting [Endangered/EN].

Di beberapa tempat, anoa menurut catatan Haris, telah jatuh ke jurang kepunahan. Penyebabnya? Pengrusakan hutan dan perburuan.

 

Tanduk anoa yang terpajang di rumah warga di Mamasa, Sulawesi Barat. Foto: Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Berburu anoa dilakukan berkelompok dan berhari. Tempat Bongga berburu adalah sebuah dataran yang terdapat aliran sungai dan ditumbuhi ratusan pandan hutan, seberang Mambulilling.

Di sekitar itu, Bongga dan kawan-kawan membangun pondok kayu, ditemani empat anjing terlatih. Tugasnya jelas: mengejar dan menyergap anoa.

Ketika anjing-anjing itu mengepung anoa, mereka meraung berulang yang semakin keras. Bongga akan menyusuri suara itu.

Suatu hari, anjing Bongga bernama Riko, mati terkena tandukan anoa. Meninggalkan lubang menganga di sekitar leher.

“Anoa itu tidak melihat kalau menanduk. Dia turunkan kepalanya, lurus saja. Waii… kencang sekali!”

Dalam sebulan, Bongga berburu hingga 3 kali. Dia tidak membawa anoa buruan ke kampung secara utuh. Tetapi, dipotong menjadi bagian-bagian kecil, kemudian diasapi di atas tungku api.

Di kampung, Bongga membagikannya ke tetangga, gratis. Beberapa orang bahkan, kata Bongga, rela barter dengan beras atau menggelontorkan duit untuk bagian daging tertentu.

 

Aktivitas inventarisasi yang dilakukan untuk mencari jejak anoa. Foto: Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Saya bertemu Bongga, di rumah panggungnya di Desa Mambulilling, awal Agustus 2022. Sekarang usianya 59 tahun.

Bongga tak bakal lupa anoa terakhir yang dia buru, 10 tahun lalu. Tanduknya dipajang di dinding rumah. Dua tanduk itu melengkung sejengkal lebih. Mulus, keras, seruncing ujung linggis.

Sang pemilik tanduk adalah seekor anoa jantan besar. Bongga tak pernah lupa, tahu kesialan apa yang menanti jika lengah sedetik, terkena tanduknya.

Anoa bisa agresif ketika merasa terancam dan terpojok. Atau sedang masa birahi, terluka, maupun sedang menjaga anaknya.

Bongga berhenti berburu, setelah sibuk beternak kerbau dan mengurusi sepetak sawah warisan keluarga. Dia tidak mengizinkan anak laki-lakinya melanjutkan tradisi itu.

“Om, tahu kalau anoa dilindungi?” saya bertanya.

“Tahu,” katanya. “Ada mahasiswa yang mendaki Gandang Dewata waktu itu menjelaskan. Tapi mereka minta juga daging anoa. Katanya oleh-oleh,” kenangnya.

Tak jauh dari rumah Bongga, saya menjumpai mantan pemburu lain. Seorang pria pendiam berusia 70 tahun. Namanya Karua, sering berburu bersama Bongga.

Seperti Bongga, Karua berasal dari keluarga pemburu tokata. Dia masih menyimpan tombak berburu dan menunjukkan pada saya. Sebuah besi legam pipih berbentuk daun. Keras dan tajam. Bersambung dengan tongkat bulat yang berat, melampaui panjang tubuh Karua.

Tak semua anoa meregang nyawa di ujung tombak itu. Karua tidak membunuh anakan, melainkan membawa pulang. Memelihara layaknya kerbau. “Ada yang saya pelihara,  jantan, lima tahun. Tanduknya sudah panjang, jinak sekali,” katanya. “Sudah lima anoa yang saya pelihara.”

“Diberi makan apa, Om?” saya bertanya.

“Kalau baru datang, buah-buah hutan. Nanti diajar makan rumput. Berikutnya dilepas dengan kerbau.”

 

Bekas gigitan anoa di daun. Foto: Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Menyelamatkan anoa

Di Mamasa, anoa dianggap hewan biasa. Bukan bagian ritual adat atau sesuatu yang punya hubungan spritual, seperti kerbau. “Anoa itu hanya untuk dikonsumsi,” kata seorang pemburu, Boka -bukan nama sebenarnya.

Kami berjumpa di kaki Gandang Dewata. Awal tahun 2022, Boka memburu dua ekor anoa jantan dan memajang tanduk-tanduknya di rumah. Saya melihat tanduk-tanduk itu. Dipenuhi sarang laba-laba.

Baginya, berburu tidak memusnahkan anoa begitu saja. “Jerat itu yang bikin punah,” katanya. “Saya selalu tegur orang, kalau pasang jerat dekat-dekat kampung atau kebun saja. Kasihan juga itu anoa kalau kena.”

 

Ukiran berburu babi di rumah adat masyarakat Mamasa. Foto: Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Tim Lawalata juga menemukan jerat di Mamuju. Jerat dipasang untuk babi hutan, satwa yang dianggap hama oleh warga setempat. Tetapi jerat tidak se-selektif itu.

Soal jerat, BBKSDA Sulawesi Selatan [Sulsel], kata Jusman, rutin menggelar patroli dan berkala memusnahkan yang terpasang di kawasan taman nasional.

“Ini dilakukan berdasarkan instruksi Menteri LHK tentang perlindungan satwa liar atas ancaman penjeratan dan perburuan liar di dalam dan luar kawasan hutan.”

Selain dikonsumsi, warga setempat memburu anoa dikarenakan percaya ada khasiat sebagai obat. Eli Azzer, warga Mambulilling mengaku, sembuh dari penyakit yang merusak livernya, setelah rutin meminum ramuan dari serbuk tanduk anoa.

Hasil survei Lawata menunjukkan, warga setempat kini peduli dengan upaya konservasi anoa. Tetapi Boka yakin, perburuan masih selalu ada.

BBKSDA Sulsel, klaim Jusman, akan memberi solusi jangka panjang pada pemburu agar menyudahi perburuan.

“BBKSDA lebih menekankan tindakan preventif dan pre-emtif,” katanya. “Apabila telah dibina beberapa kali dan masih dilakukan, maka akan diberikan tindakan-tindakan represif dan penegakan hukum.”

 

Kompilasi foto tanduk anoa. Foto: Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Dalam satu kali kelahiran, anoa hanya melahirkan satu ekor, dengan sembilan bulan masa kehamilan. Siklus itu tak selamanya terjadi tiap tahun. “Karena itulah langka,” kata Abdul Haris Mustari, peneliti anoa dari IPB University.

Dalam bukunya, Haris mengutip tren perburuan anoa di Sulawesi, sekitar 284 ekor diburu tiap tahun. Angka tersebut hanya puncak gunung es.

Bagi Haris, melindungi anoa itu mutlak. Anoa adalah spesies payung, yang punya wilayah jelajah luas. Melindungi anoa berarti melindungi hutan dan isinya.

“Anoa adalah spesies kunci. Dia memiliki peran penting dalam ekosistem, meregenerasi hutan. Banyak spesies yang bergantung padanya,” kata Haris.

“Dan dia adalah duta Sulawesi. Duta Indonesia di dunia Internasional.”

 

Lembah Mamasa yang terlihat hijau. Foto: Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Zulkifli Hasan, saat menjabat Menteri Kehutanan, telah meneken aturan penting tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi [SRAK] Anoa, tahun 2013-2022.

SRAK yang bertujuan menstabilkan populasi anoa sampai tahun 2022, dengan terjaganya daya dukung habitat melalui program konservasi yang melibatkan multi-pihak. Termasuk, lembaga konservasi [LK] melalui konservasi ex-situ.

Tapi, keadaan lapangan tak selalu berbanding lurus dengan harapan.

“Di ex-situ khususnya di LK, founder [indukan] dan populasinya tidak banyak dan usia mereka rata-rata semakin tua, sehingga sulit terjadi reproduksi sempurna,” kata Tony Sumampau, Sekjen Perhimpunan Kebun Binatang Seluruh Indonesia [PKBSI].

“Satu-satunya harapan adalah mendapatkan darah segar untuk founder dari alam. Tapi, pengambilan dari alam perizinannya sangat sulit. Jadi simalakama.”

Bagi Tony, ketika populasi anoa di ex-situ berkembang biak dengan baik, akan menciptakan populasi minimum yang layak [Viable population]. “Maka anakannya dapat dilepasliarkan di alam untuk menciptakan populasi berkelanjutan.”

“Memang, konservasi anoa di negeri kita ini harus ditingkatkan,” ujarnya. [Selesai]

 

Exit mobile version