Mongabay.co.id

Upaya Perempuan Adat To’ Cerekeng Luwu Timur “Menjual” Warisan Leluhur

 

Rahmadani menunjukkan sebuah kemasan berbahan plastik dengan label berwarna kuning. Tertulis di labelnya ‘Warisan Leluhur. Di bawahnya ada tulisan lain ‘Magellow: Bedda Rica Dewasa’.

Bungkusan itu adalah bedak dingin yang diracik dari berbagai bahan, dengan bahan utama temulawak dicampur dengan sejumlah bahan dari tanaman lokal. Bikinan Kelompok Usaha Bersama (Kube) Manurung Sejahtera milik perempuan masyarakat adat To’ Cerekeng, di Desa Manurung, Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

“Ini merupakan warisan leluhur, resepnya diperoleh dari nenek dan dipakai sehari-hari ibu-ibu dan anak-anak di kampung,” ungkap Rahmadani yang merupakan ketua kelompok Kube Manurung Sejahtera, di Malili, Luwu Timur, Selasa (1/11/2022).

Bedak berwarna kuning dalam bentuk bubuk ini tersedia untuk dewasa dan anak-anak, yang memiliki fungsi melindungi kulit dan mengatasi panas dalam. Produk lainnya adalah bedak bolong dalam bentuk pasta. Bolong dalam bahasa Cerekeng berarti hitam.

Kube Manurung Sejahtera sendiri telah mendapat pendampingan dari Perkumpulan Wahana Lingkungan Lestari Celebes Area (Wallacea) melalui program Indigenous Peoples and Community – Conserved Territories and Areas (ICCA’s) Indonesia terhadap Covid-19, dengan dukungan Global Support Initiative (GSI) melalui mekanisme Global Environmental Facility (GEF) Small Grant Programme (SGP).

Selain pendampingan produk khas masyarakat adat, Perkumpulan Wallacea juga melakukan riset ketahanan pangan dan bersama warga saling berbagi pengetahuan tentang tanaman obat dengan mempraktikkan langsung pembuatan obat pencegahan Covid-19 secara tradisional.

baca : Negara Harus Lindungi Perempuan Adat Pembela HAM dan Lingkungan di Papua

 

Perempuan adat To’ Cerekeng yang tergabung dalam Kube Manurung Sejahtera berupaya menjaga warisan leluhur dan sekaligus mendapat manfaat ekonomi melalui produksi sejumlah produk lokal berbahan tanaman lokal. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Kube Manurung Sejahtera lahir dengan semangat sebagai pelestari pengetahuan warisan leluhur, yang kemudian mendapat respons positif dari Pemerintah Desa Manurung dengan diterbitkannya Surat Pengukuhan Kube No. 145/1373/DMR yang ditandatangani Kepala Desa Irwan Jafar pada 19 September 2022 silam.

Menurut Basri Andang, Direktur Perkumpulan Wallacea, komunitas To’ Cerekeng bukan hanya dikenal sebagai komunitas yang memiliki kearifan lokal dengan melestarikan hutan adatnya akan tetapi mereka juga mampu melestarikan pengetahuan warisan leluhur berupa praktik medis, kosmetik dan pangan dengan memanfaatkan tumbuhan yang ada di dalam kampung.

“Ini semakin memperkuat pengetahuan ekologi To’ Cerekeng ini sebagai sistem budaya yang masih kuat mempraktikkan pesan leluhur mengelola lingkungan hidup secara tradisional dengan prinsip hidup selaras alam, menjadi cara mereka bertahan menghadapi perubahan sosial-budaya dan ekologis sampai saat ini,” katanya.

Sebelum pembuatan produk dilakukan survei pengetahuan dan praktik medis dan pangan. Hasilnya, ditemukan 95 persen warga komunitas To’ Cerekeng masih menggunakan obat tradisional dan masih banyak yang memiliki pengetahuan mengolahnya.

“Kami pun mengajak mereka untuk mengumpulkan semua jenis tanaman dan mengelompokkan sesuai manfaat serta cara pengolahannya. Teridentifikasi sekitar 30 jenis tanaman. Termasuk tanaman yang dipakai mengurangi gejala Covid-19 seperti batuk, flu dan kehilangan rasa atau penciuman, panas dingin dan kelelahan,” katanya.

baca juga : Cerita Perempuan Adat Hadapi Pandemi

 

Praktik pengetahuan lokal dimana perempuan adat To’ Cerekeng menginventarisir tanaman pekarangan yang bermanfaat secara medis dan kosmetik beserta cara pengolahannya pada 31 Maret 2022 lalu. Foto : Basri Andang/Perkumpulan Wallacea.

 

Pengakuan Kearifan Lokal

Komunitas To’ Cerekeng sendiri merupakan komunitas adat pertama di Indonesia yang memperoleh pengakuan kearifan lokal dari pemerintah melalui Surat Keputusan Bupati Luwu Timur No. 286/X/2019 tentang Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal Masyarakat Hukum Adat To Cerekeng.

Kehadiran SK bupati ini merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No. 34 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.

Permen LHK ini sendiri adalah aturan mengenai bagaimana cara pemerintah mengakui kearifan lokal komunitas, dan menjamin pembagian keuntungan atas pemanfaatan kearifan lokal.

“Permen ini lahir dari komitmen Indonesia di perjanjian internasional yaitu Protokol Nagoya. Dilatari oleh kondisi di mana selama ini perusahaan bisa ambil pengetahuan tradisional komunitas sembarangan seperti jamu, obat-obatan, dll., kemudian dapat hak paten, tanpa persetujuan masyarakat adat yang kemudian tidak dapat apa-apa,” ungkap Nadya Demadevina, Koordinator Riset di Perkumpulan Hukum dan Masyarakat (HuMa) Indonesia.

Menurutnya, Permen ini belum banyak digunakan sebagai jalur advokasi padahal memiliki peluang besar untuk digunakan karena persyaratan lebih mudah, di mana masyarakat adat melakukan inventarisasi, dan kepala daerah menetapkan hasil inventarisasi.

“Tidak perlu verifikasi kalau tidak ada keberatan pihak lain,” katanya.

Permen ini juga tidak parsial yang tidak mensyaratkan pengakuan subjek terlebih dahulu.

“Selama ini jalur lain hanya melindungi wilayah adat, sedangkan aturan ini mengakui kedudukan pengampu atau subjek, wilayah adat, sekaligus kearifan lokal.”

Melalui Permen ini masyarakat juga proaktif di mana mereka sebagai pengampu kearifan lokal dapat melakukan inventarisasi kearifan lokal sendiri, dan dapat memilah sendiri mana yang bisa dipublikasi dan tidak.

Melalui SK bupati ini terdapat hak-hak masyarakat adat yang harus diakui pemerintah seperti hak atas kearifan lokal, memanfaatkan dan menjalankan kearifan lokal, serta mendapat perlindungan terhadap kearifan lokal.

“Jika komunitasnya sepakat, mereka mendapat pembagian keuntungan jika ada pihak luar yang mau memanfaatkan kearifan lokal dan hanya bisa dilakukan dengan persetujuan komunitas.”

baca juga : Kala W20 Dinilai Tak Sentuh Persoalan Perempuan Adat dan Petani

 

Nadya Demadevina, Koordinator Riset di HuMa Indonesia menjelaskan tentang keberadaan Permen LHK No. 34 Tahun 2017 sebagai upaya menjaga kelestarian kearifan lokal dalam kaitannya dengan keanekaragaman hayati, yang hingga saat ini belum banyak digunakan. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Hak lainnya adalah hal atas wilayah kearifan adat/lokal serta mendapat perlindungan dari gangguan kerusakan dan pencemaran lingkungan dan sumber daya alam.

“Masyarakat adat juga dapat mengajukan keberatan terhadap rencana usaha dan atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup, sumber daya alam, religi, sosial, budaya.”

Hak lain terkait Free, Prior and Informed Consent (FPIC), di mana masyarakat adat memilik hak untuk memberikan persetujuan terhadap rencana pemanfaatan kearifan lokal serta menolak rencana pemanfaatan kearifan lokal.

 

Semiloka Sistem Ekologi

Sebagai bagian dari program ICCA’s ini Perkumpulan Wallacea juga melaksanakan Semiloka Sistem Ekologi To’ Cerekeng dan Belajar Bersama Antar Komunitas tentang Pengetahuan Ekologi dan Aksi Resiliensi terhadap Perubahan Ekologis.

Kegiatan selama 3 hari ini menghadirkan sejumlah perwakilan komunitas adat di wilayah Luwu Raya, yaitu komunitas adat To’ Jambu Kelurahan Battang Barat Kecamatan Wara Barat Kota Palopo, komunitas Paranta Desa Ilang Batu Uru Kecamatan Walenrang Barat Kabupaten Luwu, komunitas lokal Liku Dengen Desa Uraso Kecamatan Mappideceng Kabupaten Luwu Utara, dan Kelompok Pelestari DTA Danau Matano Desa Nuha Kecamatan Towuti Kabupaten Luwu Timur, Kelompok Pelestari DTA Danau Mahalona Desa Tole Kecamatan Towuti Kabupaten Luwu Timur dan Komunitas Sahabat Alam (Kosalam).

Menurut Basri Andang, dari kegiatan ini diharapkan kearifan lokal terkait pengetahuan, cara dan aksi dari komunitas adat mampu bertahan dari segala bentuk perubahan yang terjadi terutama perubahan iklim yang memengaruhi semua sendi kehidupan komunitas baik secara sosial, ekonomi, pangan dan medis.

Dari semiloka ini juga diharapkan diperoleh informasi terkait praktik atau cara menanggulangi perubahan lingkungan dan wabah penyakit dengan memanfaatkan keanekaragaman hayati berupa tanaman-tanaman tertentu yang ada di sekitarnya dan tumbuh di wilayah-wilayah yang mereka tetapkan sebagai wilayah perlindungan masyarakat (WPM).

“Kami juga berharap diperoleh informasi kondisi terkini dari wilayah perlindungan masyarakat yang merupakan zona yang berada di luar kawasan konservasi formal namun tetap dilindungi karena adanya kepentingan langsung dengan kehidupan masyarakat adat secara sosial, ekonomi, dan budaya. Wilayah perlindungan masyarakat ini juga menjadi sumber genetik.”

 

Exit mobile version