Mongabay.co.id

Di Tanah Pembangkit Listrik, Petani Terasing

 

Panen kedua tahun ini kembali tak memanen senyum Yustini (37). Hasil hitung-hitungan warga Desa Mekarsari, Kecamatan Patrol, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat itu tetap saja tak berubah. Besar pasak daripada tiang.

Hari itu bukanlah hari tani, saat petani merayakan pesta yang mempertegas eksistensi mereka. Melainkan aksi para petani memprotes dampak Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) I Indramayu berkapasitas 3×300 Megawatt (MW).

Pagi itu, Yustini bersama suami serta anaknya, Raswandi (38) dan Saniti (8), bergegas meninggalkan sawah yang baru saja dipanen. Mereka termasuk warga yang melayangkan protes.

“Debu batubara kerap membikin sawah tercemar. Kadang mesti nandur dua kali karena padi yang baru ditanam tiba-tiba mati,” ungkap Yustini saat ikut bersama warga yang tergabung dalam Jaringan Tanpa Asap Batu Bara Indramayu (Jatayu), pada akhir Oktober 2022 lalu.

Sejak asap cerobong PLTU itu mengepul tahun 2011 silam, kemurungan pelan-pelan menghampiri. Sebagai petani pesisir, mereka hafal ihwal musim angin barat dan timur. Dulu, dua musim itu bukanlah masalah berarti. Tapi kini menjadi kekhawatiran lantaran tanaman mereka mesti beradu dengan waktu.

“Yang paling sial itu kalau pas musim barat dimana kita baru tanam padi,” timpalnya.

baca : Cerita Warga Terdampak PLTU Indramayu di HUT Kemerdekaan Indonesia

 

Seorang petani di Desa Mekarsari, Patrol, Indramayu, Jawa Barat sedang mengairi sawah berlatar belakang PLTU I Indramayu yang asapnya berdampak negatif terhadap pertanian dan kesehatan warga setempat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sebetulnya ada alternatif penghasilan lewat palawija diantara jeda musim tanam. Namun, kegagalan bikin Yustini patah hati. Karena tiap kali menanam selalu saja tak balik modal. Alhasil perekonomian keluarga buruh tani itu hanya mengandalkan pada keberkahan bulir padi.

Yustini dan suami biasa menggadaikan motor untuk tambahan sewa lahan. Sisanya membeli pupuk dan pestisida. Upah tenaga kerja nol karena membersihkan rumput, mencangkul, menyemprot hama, dilakukan sendiri.

Katanya, sewa lahan satu bau (7.100 meter persegi) seharga Rp7 juta per tahun. Normalnya menghasilkan 5-6 ton gabah. Namun, tahun ini hanya menghasilkan 2.5 ton saja.

“Untungnya harga sekarang lagi bagus sekitar Rp5.300 – Rp5.500,” ujar Yustini. Hasil panen itu menghasilkan Rp13 juta dengan modal sekitar Rp6 juta. Artinya, penghasilan keluarga ini kira-kira Rp 1,7 juta sebulan, karena padi itu dipanen setelah empat bulan.

Seharusnya, dia dapat melunasi pinjaman kepada bank swasta sebesar Rp7 juta berikut bunganya. Kini, dia dipaksa keadaan menunggak dua bulan. Yustini bingung mesti menggali lubang yang mana.

Sejauh mata memandang, sekitar PLTU Indramayu, tampak hamparan “karpet” kuning kecoklatan. Dan disitulah cerita gagal panen menjadi cerita berulang. Sawah hancur akibat mendulang abu batubara. Dan karena itulah, Yustini getol aksi menolak PLTU sejak 2015.

baca juga : Buntut Protes PLTU Indramayu, Buruh Tani Mendekam Dalam Tahanan

 

Seorang petani di Desa Mekarsari, Patrol, Indramayu, Jabar di tengah sawah berlatar belakang PLTU I Indramayu yang asapnya berdampak negatif terhadap pertanian dan kesehatan warga setempat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Bencana

Sebetulnya jadi petani cukup menghasilkan. Sepanjang semua sehat, hidup mereka berada di atas garis kemiskinan.

Namun, pasca PLTU beroperasi semua berubah. Anak-anak di sana sudah terjangkit penyakit pneumonia (peradangan paru-paru yang disebabkan oleh infeksi) sejak usia dibawah 5 tahun.

Penyakit lainnya juga dialami Surmi. Perempuan 50 tahun itu sudah 3 tahun belakangan bolak-balik rumah sakit untuk periksa indera penglihatannya.

“Mata kanan sudah dua kali operasi dan yang kiri tiga kali operasi. Penglihatan saya sudah tidak jelas sekarang,” kata warga Mekarsari itu.

Kemalangan itu bermula ketika menggarap lahan yang jaraknya sekitar satu kilometer dari PLTU. Dari sana, dia menyaksikan ledakan pada cerobong asap. Persisnya, Surmi lupa.

“Tapi waktu itu tiba-tiba nyeri kaya ada kotoran masuk ke mata,” kata Surmi yang kini mesti menggunakan alat bantu kacamata. Dia bilang debu batubara itu menempel lama, “Kalau sekarang udah gak ada item-item (pada mata). Kalau dulu menempel, kalau lirik ke sini ikut item-itemnya itu.”

Sebelum matanya sakit, Surmi rutin menanam padi dan palawija. Namun, kondisinya sama seperti Yustini. Padi yang baru ditanam berubah merah dan akarnya membusuk. Daun-daun seperti terong hingga kacang acapkali menguning dan kering.

“Petani tidak tahu, jadi tetap diberi pupuk. Hasilnya malah rugi diongkos, kualitasnya juga gak bagus” tutur Surmi.

Serangan ini datang bak hantu. Tak ada yang menduga jika itu ada hubungannya dengan debu batubara.

Itu baru diketahui dari spot-spot pohon kelapa yang lantas mengering dan mati. Dalam hitungan tahun, salah satu komoditas unggulan warga itu pun hilang. Total.

Sepanjang ingatan petani di sana, gagal panen tahun-tahun belakangan ini adalah yang terburuk. Menurut sejumlah petani, belum pernah kejadian seperti saat ini.

perlu dibaca : Kala PLTU Batubara Picu Perubahan Iklim dan Ancam Kesehatan Masyarakat

 

Kompleks PLTU I Indramayu, Jabar yang asap batubara dari operasionalnya berdampak negatif terhadap pertanian dan kesehatan warga setempat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Keberpihakan

Cerita sumbang petani Jatayu menjadi ironi di tengah ambisi swadaya energi. Perampasan ruang hidup jelas sebuah tetapan yang disembunyikan. Kemiskinan acapkali jadi variabel tersembunyi dan disembunyikan dalam rumus ekonomi pembangunan. Maka itu, tidak heran jika semakin prestisius pembangunan, semakin banyak pula orang miskin.

Sendi-sendi sosial goyah. Desa-desa di Kecamatan Patrol, adalah sedikit tempat yang kehilangan pengharapan hidup warganya akibat nafsu ekonomi.

Di satu sisi, pemerintah berkomitmen menangani masalah pangan. Namun, keberadaan PLTU mengancam keberlanjutan lumbung pangan. Tentunya jika berbicara tentang program untuk pangan, penggunaan batubara bertentangan dengan tujuan itu. Sebagai informasi, produksi padi Indramayu merupakan yang tertinggi di Indonesia.

Di sisi lain, pemerintah selalu berdalih PLTU itu murah. Padahal, itu keliru. Dibalik murahnya batubara untuk listrik sebenarnya tidak murah. Karena tidak memasukkan eksternalitas. Di dalamnya tidak dihitung biaya dampak lingkungan, sosial, dan budaya.

Warga Jatayu menggugat. Mereka memenangkan gugatan analisis dampak lingkungan PLTU II Indramayu berkapasitas 2×1.000 MW di PTUN Bandung tahun 2017. Namun, pasca itu warga yang melawan dikriminalisasi. Mereka hidup dalam ketakutan. Posisi petani terjepit. Nasib mereka dibikin buram.

Menurut Ketua Jatayu, Rodi, warga yang menolak dibuat tak nyaman. Gerak-gerik perjuangan mereka diawasi. Tak jarang pula dibenturkan dengan warga yang pro terhadap pembangunan PLTU II. Dan perihal pembebasan lahan kadang memakai jasa organisasi masyarakat dengan tujuan menekan petani agar mau menjual lahannya.

“Praktek semacam itu sudah kentara dilakukan di sini,” kata Rodi. Sudah 10 tahun melawan, Rodi menegaskan komitmennya, “Keteguhan kami tetap seperti dulu, menolak adanya PLTU. Kami hanya buruh tani tua yang tak mau kehilangan mata pencaharian.”

Rodi menghela nafas. Tatapannya kosong. Informasi yang dia didapat bahwa pembebasan PLTU II sudah hampir rampung. Itu artinya, pembangunan kemungkinan besar dilanjutkan.

“Semua urusan diterabas tanpa mengindahkan kami sebagai manusia yang ingin mempertahankan ruang hidupnya,” tegas Rodi.

Pembebasan lahan sekitar 300 hektar adalah buktinya. Proyek senilai Rp29,5 triliun itu telah tercantum dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Sebuah inisiatif pemenuhan kuota energi nasional 35.000 MW yang ingin diwujudkan pemerintah.

perlu dibaca : Warga Sekitar PLTU Batubara Ngadu ke Posko Kampanye Jokowi dan Prabowo

 

Baliho aksi warga Jatayu yang menolak dampak asap batubara dengan latar belakang PLTU I Indramayu, Jabar. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Masalah Baru

Adapun penggunaan batubara sebagai sumber energi memang tak bisa dihentikan sekaligus secara mendadak. Namun, setidaknya laju ekspansinya harus dikurangi. Paradigma sekarang adalah batubara hanya difungsikan untuk mengisi masa transisi ke energi baru terbarukan.

Di antara silang sengkarut itu, keluar Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik akan mempertegas penghentian dini PLTU. Juga ada pelarangan pembangunan PLTU baru, kecuali yang memenuhi syarat. Pemerintah memberi batasan kuota terkait PLTU mana saja yang masih diperbolehkan beroperasi dan yang tidak.

Alih-alih mulai menyortir keberadaan PLTU yang bermasalah. PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) malah menginisiasi metode co-firing di sejumlah PLTU untuk mengurangi pemakaian batubara sejak 2020. Metode ini mencampurkan biomassa bersama batubara dengan kadar 5-10 persen untuk biomassa yang digunakan.

Ada 52 PLTU co-firing dengan total kapasitas terpasang 2.000 MW. Biomassa yang digunakan bermacam-macam, mulai dari sekam padi, pelet kayu, hingga cangkang kelapa sawit.

Menurut Juru kampanye Biomassa Trend Asia, Meike Inda Elina, langkah itu memancing polemik baru. Pemerintah dianggap setengah hati terhadap komitmennya mempercepat transisi energi yang menimbulkan gas efek rumah kaca.

“Kami mendalami pada biomassa kayu. Melalui riset kami, co-firing kayu itu setara dengan kalori batubara. Artinya kalau berbicara dampaknya akan sama saja. Malah tidak mengurangi emisi sama sekali,” terang Meike.

penting dibaca : Benarkah ‘Co-firing’ Biomassa PLTU Itu Transisi Energi? Berikut Kajian Trend Asia

 

Aksi warga Desa Mekarsari, Patrol, Indramayu, Jawa Barat (Jatayu) yang menolak dampak buruk operasional PLTU I Indramayu berupa asap batubara pada akhir Oktober 2022. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Aksi warga Desa Mekarsari, Patrol, Indramayu, Jawa Barat (Jatayu) yang menolak dampak buruk operasional PLTU I Indramayu berupa asap batubara pada akhir Oktober 2022. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Menurutnya, keberlangsungan kayu sebagai bahan baku co-firing perlu juga dipertanyakan. Lantaran ini akan berkaitan dengan deforestasi. “Untuk kayu sementara ini memakai skema hutan tanaman industri (HTI) untuk memenuhi pasokan. Tapi tidak menutup kemungkinan akan ada pembukaan lahan baru hanya untuk co-firing kayu.”

Saat ini, katanya, khusus untuk memenuhi 5% co-firing kayu dari total kebutuhan 9 juta ton, membutuhkan 2,33 juta hektare hutan. Sebagai contoh, dalam sehari, operasional pembangkit PLTU Indramayu membutuhkan 12.000 metrik ton batubara.

“Persentasenya 95% batubara, 5% co-firing kayu. Dari situ saja sudah bisa disimpulkan kalau itu hanya untuk melanggengkan PLTU bukan solusi mengurangi batubara,” katanya melalui sambungan telepon.

Barangkali energi terbarukan baru sekedar celoteh di negeri ini. Tapi, bagi petani yang lahannya berdekatan dengan batubara seperti di Indramayu, mereka berharap lekas menemui musim baru supaya kuldesak lekas pergi.

 

Aksi warga Desa Mekarsari, Patrol, Indramayu, Jawa Barat (Jatayu) yang menolak dampak buruk operasional PLTU I Indramayu berupa asap batubara pada akhir Oktober 2022. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version