Mongabay.co.id

Komitmen Keberlanjutan di Perusahaan Sawit Menurunkan Angka Deforestasi di Indonesia, namun…

 

Mengacu pada penelitian baru, komitmen keberlanjutan dan pengawasan yang lebih ketat terhadap rantai pasokan sawit turut membantu menurunkan laju deforestasi yang ada di Indonesia. Demikian hasil analisis yang dipublikasikan oleh Trase.

Indonesia adalah produsen komoditas sawit terbesar dunia, -dan meski produksinya meningkat seiring kenaikan harga komoditas, faktor-faktor yang biasanya mendorong pembukaan hutan dan deforestasi secara signifikan tidak terjadi.

Analisis data menunjukkan deforestasi untuk sawit telah turun 82 persen selama dekade terakhir, yaitu 45.285 hektar dalam periode 2018-2020, atau 18 persen dari puncaknya pada periode 2008-2012.

 

Luas hutan per tahun yang dikonversi menjadi perkebunan sawit (ribuan hektar, batang merah) dan produksi minyak sawit mentah tahunan (juta ton, garis hitam) di Indonesia selama 2001-2020. Sumber: Trase

 

Para ahli menyebut tren ini tak terlepas dari makin banyaknya perusahaan yang mengadopsi komitmen tanpa deforestsi (no-deforestation), di sisi lain perusahan-perusahaan yang lebih kecil yang tidak menyatakan komitmen, juga mulai kehabisan hutan untuk mereka tebangi.

“[Fenomena] Ini menunjukkan sawit Indonesia dapat dikembangkan tanpa deforestasi,” kata Timer Manurung, Direktur Auriga Nusantara. “Jadi sawit tanpa deforestasi bukan sesuatu yang tidak mungkin terjadi.”

Dalam analisis data, di tahun-tahun awal sejak komitmen nol-deforestasi (zero-deforestation) dinyatakan oleh perusahan, maka tingkat risiko deforestasi yang lebih rendah tidak selalu terlihat jelas, relatif sama ataupun belum tampak nyata.

“Pada tahun 2018, kami tidak melihat banyak bukti bahwa eksportir dengan komitmen nol-deforestasi membeli sawit dengan jejak deforestasi yang jauh lebih rendah,” sebut Robert Heilmayr, dari University of California, Santa Barbara, yang memimpin penelitian Trase ini.

Analisis ini menemukan sesuatunya akan menjadi lebih baik di tahun-tahun terakhir, saat perusahaan telah sepenuhnya mengimplementasikan komitmen, dan mulai mengungkap informasi ini kepada publik. Secara keseluruhan, rantai pasokan yang diatur oleh komitmen nol-deforestasi mengalami penurunan deforestasi 45 persen.

“Ini adalah hasil yang sangat penting karena merupakan bukti pertama yang jelas tentang hubungan antara komitmen nol-deforestasi dan tingkat deforestasi yang lebih rendah,” kata Heilmayr.

 

Pekerja sawit mengendarai sepeda motor di perkebunan kelapa sawit di Riau, Indonesia. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay.

 

Risiko Lebih Tinggi di Perusahaan Kecil

Salah satu cara komitmen nol-deforestasi untuk  mendorong keberlanjutan yang lebih besar di sektor ini adalah dengan mendorong perusahaan untuk melacak kembali rantai pasok mereka dan terbuka bagi pengawasan publik, kata Heilmayr.

Analisis tersebut menemukan bahwa kilang minyak sawit dengan laporan pelacakan, yang memproses 87 persen ekspor minyak sawit olahan Indonesia pada 2018-2020, memiliki risiko deforestasi yang lebih rendah.

Hal ini tampak di beberapa kelompok eksportir minyak sawit terbesar dari Indonesia, -​Wilmar, Sinar Mas, Musim Mas dan Royal Golden Eagle, dimana mereka telah menunjukan tingkat deforestasi yang relatif lebih rendah dalam rantai pasokan mereka.

Namun pangsa pasar gabungan mereka telah menurun dalam beberapa tahun terakhir, dari 68 persen di 2015 menjadi hanya 59 persen di 2020. Adapun hal ini adanya pemain baru yang semakin memantapkan diri di pasar, seperti KPN Corp, Astra Agro Lestari dan Citra Borneo Indah (CBI). Ketiganya  telah tumbuh dari kurang 5 persen di tahun 2018, menjadi lebih dari 10 persen di tahun 2020.

“Dan beberapa dari kelompok ini memiliki laju deforestasi per hektar tinggi,” kata Heilmayr.

Tiga perusahaan yang sama juga merupakan satu-satunya grup perusahaan di antara 12 eksportir minyak sawit teratas Indonesia yang tidak menerbitkan laporan pelacakan pada tahun 2020.

Analisis Trase menunjukkan bahwa KPN, Astra Agro dan CBI semuanya telah mengadopsi komitmen nol-deforestasi, tetapi setiap ton minyak sawit yang mereka ekspor 1,7 kali lebih tinggi deforestasinya dibandingkan kelompok perusahaan besar.

Ketiganya memilih untuk mengekspor minyak sawit ke sebagian besar pasar yang kurang ketat persyaratan ketelusuran dan keberlanjutannya, seperti Asia dan Afrika.

“Jadi, kurangnya ketelusuran mungkin menjadi alasan kelompok-kelompok ini mengalami deforestasi yang lebih tinggi,” kata Heilmayr.

 

Perkebunan sawit di Kalimantan Barat. Deforestasi yang terkait dengan produksi minyak sawit agak melambat dalam beberapa tahun terakhir. Foto: Nanang Sujana/CIFOR melalui Flickr (CC BY-NC-ND 2.0).

 

Ketimpangan Pasar

Pasar ekspor minyak sawit utama Indonesia adalah Tiongkok dan India, sedang pasar domestik menyerap 40 persen dari seluruh total produksi. Ketiga pasar tersebut memiliki standar keberlanjutan yang lebih rendah dari persyaratan pelaporan yang diadopsi oleh kawasan seperti Uni Eropa ataupun negara seperti AS.

Para peneliti Trase memperkirakan bahwa satu ton minyak sawit Indonesia yang ditujukan untuk pasar domestik, Tiongkok atau India ternyata 2,4 kali lebih memiliki kemungkinan terkait deforestasi daripada volume identik yang diekspor ke pasar Uni Eropa.

Menurut analisis, 97 persen minyak sawit yang diekspor Indonesia ke UE, AS, dan Inggris berasal dari perusahaan dengan komitmen nol-deforestasi. Namun pasar ini hanya 9 persen dari keseluruhan total ekspor minyak sawit di tahun 2020.

Herry Purnomo, peneliti dari Center for International Forestry Research (CIFOR), mengatakan permintaan minyak sawit berkelanjutan tidak menjadi perhatian di pasar seperti Tiongkok dan India.

“Kami tahu bahwa negara-negara seperti Tiongkok, Pakistan, dan India tidak terlalu peduli,” sebutnya.  Hal serupa terjadi bagi para pembeli dalam negeri.

“Pembeli dalam negeri lebih mementingkan apakah suatu produk bersertifikat halal atau tidak, daripada apakah itu bersertifikat RSPO [Roundtable on Sustainable Palm Oil] atau ISPO [Indonesian Sustainable Palm Oil],” tuturnya.

RSPO adalah skema sertifikasi keberlanjutan minyak sawit terkemuka di dunia, sedangkan ISPO adalah skema sertifikasi pemerintah Indonesia, yang wajib bagi semua petani kelapa sawit di negara ini.

“Jadi usaha harus datang dari kedua belah pihak, produsen dan pembeli. Produk pertanian didorong oleh pembeli. Jika pembeli membutuhkan [keberlanjutan], maka produk harus mengikuti [permintaan]. Jika tidak, mereka tidak akan dibeli,” lanjut Purnomo.

 

Area hutan di Aceh, Sumatera, yang dibuka bagi perkebunan sawit. Foto © Steve Winter.

 

Risiko Deforestasi itu Tetap Ada

Kurangnya transparansi ketelusuran minyak sawit dari kilang dan pabrik  tetap menjadi tantangan bagi upaya penurunan risiko deforestasi di Indonesia, sebut Heilmayr.

“Kami memiliki informasi yang relatif kurang tentang dari mana pasar domestik mendapatkan minyak sawitnya.”

Selain itu, beberapa perusahaan di Indonesia juga tidak memiliki laporan keterlusuran; jika pun ada, mereka memiih untuk tidak mempublikasikan volume minyak sawit yang mereka perdagangkan.

Persoalan lain, masih banyak areal di konsesi perkebunan sawit yang masih berupa hutan, dan secara legal masih dapat dibuka.

“Hutan Indonesia belum keluar dari bahaya: 2,4 juta hektar hutan utuh masih ada di konsesi izin sawit yang ada. Secara hukum, perusahaan dapat menebangi hutan ini. Saat ini, tidak ada regulasi perlindungan secara hukum,” jelas Timer.

“Apa yang dapat dilakukan saat ini hanyalah mendorong agar perusahaan tersebut melakukan komitmen nol-deforestasi untuk hutan yang memiliki nilai karbon tinggi dan stok karbon tinggi,” sebutnya.

 

Asap yang diduga dari api yang digunakan untuk pembukaan lahan, di perkebunan sawit di rawa gambut di Aceh, Indonesia (2012). Gambar oleh Dita Alangkara/CIFOR via Flickr (CC BY-NC-ND 2.0).

 

Analisis Auriga Nusantara menunjukkan ada kaitan antara keberadaan pabrik dengan deforestasi. Di Provinsi Aceh, 84 persen deforestasi terjadi dalam jarak 20 kilometer dari pabrik.

“Area yang kaya akan hutan akan menghadapi tekanan jika produksi kebun sawit diperluas, terutama jika pabrik baru dibangun di area ini,” kata Timer.

Selain Aceh, Provinsi Papua juga sangat berisiko tinggi. Dikarenakan pembukaan kebun sawit yang meningkat hampir dua kali lipat pada periode 2018-2020, peningkatan risiko deforestasi meningkat sebesar 24 persen di wilayah itu.

Komitmen keberlanjutan yang lemah, dan pasar yang masih terbuka, dapat mendorong area hutan tropis yang luas di dalam konsesi masih rentan untuk dibuka.

“Kisah Brasil setelah 2012 memperingatkan kita bahwa perlindungan hutan masih rapuh, dan ia sangat mudah hilang,” kata Helen Bellfield yang merupakan Wakil Direktur Trase.

“Inilah saatnya untuk mengintensifkan upaya pemerintah dan sektor swasta, seperti memperkuat standar ISPO dan meningkatkan implementasi komitmen nol-deforestasi, termasuk pelaporan ketertelusuran yang lebih rinci,” pungkasnya.

 

 

Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini: Sustainability pledges help Indonesia produce palm oil with less deforestation. Artikel diterjemahkan oleh Akita Verselita.

 

 

 

Exit mobile version