Mongabay.co.id

Konflik Lahan Warga dengan Perusahaan Sawit di Pasaman Barat Berlarut, Pemerintah Lambat?

 

 

 

 

Konflik agraria warga Nagari Aia Gadang, di Pasaman Barat, Sumatera Barat, dengan perusahaan sawit, PT Anam Koto, terus berlarut. Bupati Pasaman Barat mengusulkan tanah obyek reforma agraria di lahan itu namun upaya ini masih belum jelas. Bertahun-tahun tak ada kejelasan, warga pun reclaiming lahan dan terjerat hukum.

Setidaknya, lima petani terjerat hukum, sudah vonis Pengadilan Negeri Pasaman. Putusan Pengadilan Negeri Pasaman Barat, Idamiri, Jasman, Rudi dan Safridin kena hukum dua bulan lima hari dan Wisnawati 1,5 bulan. Begitu vonis yang dibacakan Suspim G P Ninggolan, Ketua majelis hakim 19 September lalu.

Derita warga belum usai. Drama bersambung dengan laporan perusahaan sawit, Anam Koto, kepada Serikat Petani Indonesia soal pendudukan lahan.

Janji pemerintah tentang pengusulan tanah reforma agraria dan meminta perusahaan menyerahkan 500 hektar tanah masih belum jelas.

Mongabay menghubungi Hamsuardi, Bupati Pasaman Barat. Dia benarkan sudah mengusulkan tanah obyek reforma agraria (Tora) di Nagari Aia Gadang.

“Kemarin diusulkan. Cuma dari BPN katanya ada yang kurang atau bagaimana,” katanya melalui sambungan telepon, 22 September lalu.

Dia juga sudah membuat surat keputusan agar perusahaan menyerahkan sekitar 500 hektar tetapi dalam surat itu memang tak ada sanksi kalau perusahaan tak memenuhi.

“Nanti kita surati lagi. Kalau tidak juga nanti kira cabut izin usahanya,” janji bupati.

 

Baca juga: Ketika Puluhan Tahun Warga nagari Aia Gadang Tak Ada Kejelasan Lahan Plasma

Lahan sengketa antara warga Aia Gadang dan PT Anam Koto. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Pemerintah lambat

Warga sudah lama menyuarakan soal lahan mereka tetapi belum juga ada kejelasan. Hingga akhirnya, warga menduduki lahan mereka kembali (reclaiming) yang kini masuk konsesi perusahaan.

Kurnia Warman, Guru Besar hukum agraria Universitas Andalas mengatakan, reclaiming sampai bentrok ini karena pemerintah seperti Badan Pertanahan Nasional dan bupati sebagai Ketua Gugus Tugas Reforma Agraria, lambat dalam memproses tanah obyek reforma agraria.

Reclaiming itu implikasi dari kelambatan proses reforma agraria. Terjadi karena ada perlambatan. Yang melakukan reclaiming pun masyarakat subyek penerima tora yang harus mendapatkan haknya,” katanya.

Dia mengatakan, persoalan sengketa yang bermula dari perjanjian yang tak ditaati perusahaan dan reforma agraria adalah dua hal berbeda.

Kalau fokus pada tuntutan soal Anam Koto ingkar janji 10% plasma itu bisa masuk sengketa perdata. “Tentunya, itu wanprestasi. Maka masuk wilayah sengketa perdata. Saya menduga, sengketa perdata itu kecil kemungkinan ditempuh masyarakat karena antara lain, aspek-aspek teknis seperti biaya berperkara dan sebagainya,” katanya.

Menurut Kurnia, kalau masyarakat ingin menempuh jalur reforma agraria maka lupakan janji masa lalu soal plasma karena tak ada hubungan. “Jadi, ada atau tidak janji perusahaan kalau mau diterapkan sebagai tora dan mengembalikan tanah masyarakat [berarti lewat mekanisme] reforma agraria.”

Di Sumatera Barat, Nagari Aia Gadang, hanya salah satu kasus, di lokasi lain, juga terjadi konflik agraria. LBH Padang, mencatat sepanjang 2022 konflik agraria terjadi baik antara petani dengan perusahaan atau dengan negara. Setidaknya ada 13 kasus konflik agraria seluas 11.930 hektar tersebar di tujuh kabupaten di Sumatera Barat.

Diki Rafiqi dari LBH Padang, mengatakan, tipologi konflik agraria yang terjadi, mencakup sektor pertambangan, perkebunan, ibukota kabupaten, proyek strategis nasional, sampai kehutanan. Ada sekitar 2.802 keluarga atau 8.426 orang terdampak.

Daerah terbanyak sebaran konflik di Pasaman Barat, ada tujuh kasus bersumber dari perkebunan dan kehutanan.

 

Warga Nagari Aia Gadang, yang reclaiming lahan di konsesi perusahaan sawit, PT Anam Koto. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Selanjutnya, di Solok ada dua kasus dari energi dan pertambangan, dan Agam dua kasus konflik dengan perusahaan dan kehutanan. Kasus lain di Pasaman, Solok Selatan, Padang Pariaman, dan Kepulauan Mentawai.

“Dari 13 titik konflik di Sumatera Barat terjadi upaya-upaya kriminalisasi petani atau masyarakat adat yang berjuang atas hak mereka,” kata Diki.

.Ada 21 orang menjadi korban kriminalisasi, 13 orang sudah vonis dengan delapan orang bebas atas tuduhan korupsi pada kasus pemindahan ibu kota kabupaten di Nagari Parik Malintang, Padang Pariaman. Lima orang putus bersalah dengan tuduhan kekerasan pada kasus sawit di Nagari Aia Gadang.

Sedangkan delapan orang masih tersangka atas tuduhan penyerobotan lahan Anam Koto di Aia Gadang.

“Keberpihakan penegak hukum makin terlihat, dalam upaya petani dalam mencari keadilan terus dibaikan. Laporan-laporan atas tindakan perusahaan tidak pernah ditanggapi.”

Dalam kasus antara petani dengan Anam Koto, katanya, petani sudah melaporkan perusahaan kepada Kepolisian Pasaman Barat dua kali soal perusakan dan kekerasan. Sayangnya, tak ada keadilan bagi petani hingga kini.

Konflik agraria, katanya, menyisakan kepedihan warga terdampak. Masyarakat adat hidup tak lepas dari lahan. “Hilangnya penguasaan tanah secara tak langsung berdampak kehilangan identitas adat dan budaya.”

LBH Padang pun, menuntut lima poin pada pemerintah. Pertama, desak pemerintah daerah dan pusat jalankan reforma agraria sejati.

Kedua, menuntut pemerintahan kabupaten dan provinsi menyelesaikan konflik agraria dengan membentuk tim independen.

Ketiga, menuntut pemerintah daerah dan pusat memberikan perlindungan kepada petani dalam memperjuangkan hak. Keempat, menuntut kepolisian menghentikan kriminalisasi kepada petani. Kelima, mendesak pemerintah provinsi dan pusat mencabut izin usaha yang bermasalah.

Wengki Purwanto, Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Barat mengatakan salah satu masalah yang menonjol adalah masyarakat tidak pernah diberitahu secara sadar tentang berubahnya status kepemilikan tanah ketika ada izin usaha di atas wilayah adat.

“Mereka tidak diberitahu status berubah jadi tanah negara,” katanya.

Kesepakatan, katanya, juga tak didasarkan free, prior, and informed consent (FPIC). “Kalau hari ini kita wawancara seluruh tokoh adat terkait dengan semua perusahaan sawit, mereka dulu tidak pernah tahu status tanah ulayat mereka jadi tanah negara,” katanya.

Awalnya, perusahaan terkesan menghormati hak masyarakat adat tetapi dalam proses manipulatif.

Perusahaan, katanya, akan berlindung di balik izin HGU dan izin lain serta mencoba lari dari tanggung jawab.

Dari riset yang mereka lakukan, katanya, terlihat kalau umur konflik justru lebih lestari dari perkebunan sawitnya. “Jadi kalau sawit mengusung tema berkelanjutan, konflik lebih berkelanjutan.”

Dia contohkan, usia sawit 25-26 tahun tetapi konflik lebih tua dari itu. “Ada beberapa kasus berlarut-larut hingga tiga dasawarsa. Di atas 30 tahun.”

Wengki pun merasa aneh. “Pemerintah tidak serius menyelesaikan masalah. Seperti hak kebun masyarakat tidak diberikan dan tak ada resolusi konflik.”

Seperti Surat Bupati Pasaman Barat yang menginstruksikan perusahaan berikan 500 hektar lahan dan masuk tora.

“Apakah posisi bupati akan memperpanjang daftar masalah sawit yang tidak selesai atau bagaimana?” kata Wengki.

Walhi Sumbar bekerja sama dengan peneliti dari beberapa provinsi di Sumatera dan KITLV mencatat ada 25 kasus konflik sawit.

Walhi gunakan sumber 54 artikel surat kabar, 112 dokumen pemerintah, 20 laporan LSM, empat studi akademis, 71 sumber online, 42 dokumen dari masyarakat serta 53 wawancara dengan perwakilan masyarakat selama Mei 2019-Mei 2020.

Dalam 25 kasus itu terkadang satu mengalami beberapa konflik seperti penyerobotan lahan, skema plasma, perkebunan melanggar peraturan, kompensasi tidak memadai, kondisi ketenagakerjaan dan lain-lain.

Persentasenya, 16 atau 64% kasus penyerobotan lahan, 20% perkebunan melanggar peraturan, 12% kompensasi tidak memadai, 8% ketenagakerjaan, 4% lain-lain.

Dari semua itu, ada 13 atau 52% kasus sawit di Sumbar terkait permasalahan skema plasma. Dalam riset itu menyebutkan hasil plasma tak memadai. Skema plasma seringkali berujung konflik.

Keluhan muncul dalam tiga bentuk. Pertama, perusahaan tak merealisasikan plasma seperti dijanjikan. Kedua, lahan plasma terealisasi tetapi keuntungan pada masyarakat tidak ada atau terlalu kecil.

Ketiga, koperasi yang dibentuk mengelola skema plasma tak berfungsi karena anggota masyarakat yang menjalankan tidak membagikan keuntungan transparan kepada anggota.

 

Warga Nagari Aia Koto, reclaiming lahan. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Walhi mencatat, ada 14 kasus atau 56% masyarakat meminta sebagian tanah dikembalikan. Ada 13 kasus, 52% masyarakat menginginkan timbal balik lebih baik dari perkebunan seperti pembagian keuntungan lebih dari skema plasma.

Selanjutnya, ada 20% kasus yang meminta kompensasi lebih baik di atas tanah mereka yang hilang.

Penolakan atas izin HGU dan non-HGU ada 20%, meminta pengukuran ulang batas perkebunan 16% dan 4% kasus masyarakat meminta kontribusi lebih banyak dari perusahaan seperti peluang kerja.

Masyarakat, katanya, umumnya tidak menginginkan perkebunan hengkang semua tetapi meminta timbal balik. Walhi tidak menemukan ada permintaan penghentian pembangunan sawit dan penghentian operasi perkebunan.

Kemudian catatan Nagari Institute, lembaga yang survei pelanggaran HAM di konsesi sawit Wilmar International di Sumatera Barat.

Nagari Institute didukung oleh Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari dan Forest People Programme.

Zulkifli, Ketua Nagari Institute mengatakan rata-rata plasma di Pasaman Barat, bermasalah. Dia mencatat, ada sembilan anak perusahaan Wilmar dan 13 pemasok mengalami konflik dengan masyarakat di sekitar perkebunan.

Aduan-aduan ini membawa Nagari Institute membuat survei yang awal temuan ada 90% area konsesi Wilmar International dan perusahaan pemasok ditemukan masalah besar. “Yang berpotensi mendorong terjadinya konflik yang akan meluas dan terstruktur,” katanya.

Nagari Institute mencatat, beberapa hasil penelitian soal konflik bisa terjadi terus-terusan di Sumbar.

Pertama, perusahaan tidak menghormati hak masyarakat untuk memberikan atau tak memberikan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa ketika mempersiapkan proses perolehan lahan.

Kedua, dengan tak memenuhi FPIC sebelum mengajukan izin HGU, perusahaan-perusahaan ini telah merampas hak masyarakat atas tanah. Ketiga, perusahaan tak menjalankan prinsip kehati-hatian dalam mengelola bisnis.

Zulkifli, dari Nagari Institute mengatakan, pendekatan awal investasi sawit masuk di Pasaman dan Pasaman Barat era Orde Baru terjadi intimidasi yang melibatkan aparat.

“Ninik mamak dikumpulkan dan diminta menandatangani berkas izin dari masyarakat adat agar sawit bisa masuk ke daerah mereka.”

 

Jalan di tengah perkebunan sawit, PT Anam Koto di Pasaman Barat. Perusahaan bermansalah lahan dengan warga sejak puluhan tahun lalu hingga kini. Foto: Jaka Hendra B/ Mongabay Indonesia

 

 

*******

Exit mobile version