Mongabay.co.id

Akhirnya BKSDA Batalkan Bikin Landmark di Dinding Lembah Harau

 

 

 

 

Setelah menuai beragam kritik, akhirnya rencana pembuatan landmark Taman wisata Alam Tebing Harau dibatalkan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat. Lokasi proyek akan dialihkan ke tempat lain yang bukan zona inti geopark.

Ardi Andono, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar mengatakan, pembatalan pemasangan landmark  itu diputuskan Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).

”Sesuai instruksi Bu Menteri, kami sudah membatalkan pemasangan landmark itu. Jadi, apapun yang diinstruksikan Bu Menteri kami ikuti dan kami patuhi,” katanya usai rapat tindak lanjut landmark di Taman Wisata Alam Lembah Harau di Kantor BKSDA Sumbar, 10 November lalu.

Ada beberapa hal yang disepakati dalam rapat yang dihadiri berbagai ahli ini, antara lain, pertama sepakat menerima keputusan tidak memasamg huruf bertuliskan TWA Lembah Harau di lokasi tebing yang merupakan zona inti cagar alam.

Kedua, pemasangan tulisan di dataran bagian bawah lebih dalam di lahan BKSDA hingga tidak menggunakan lahan masyarakat. Ketiga, istilah “landMark” diganti menjadi “sign board”

”Kami dari BKSDA Sumbar, ahli geologi, dan masyarakat setempat akan menentukan lokasinya,” ujar Ardi.

Dia berharap pengerjaan proyek Rp182 juta, itu tetap selesai pada tahun baru nanti.

Rapat ini dihadiri berbagai ahli, mulai dari ahli geologi, ahli geopark, ahli dan praktisi pariwisata, serta dosen dari sejumlah perguruan tinggi. Selain itu, juga ada perwakilan dari unsur pemerintahan dan masyarakat dari tingkat nagari, kabupaten, hingga provinsi.

 

Baca juga: Kala Rencana Landmark BKSDA di Dinding Harau Tuai Kritik

Rapat koordinsi di kantor BKSDA Yyang dihadiri ahli dari berbagai bidang. Foto: Vinolia/ Mongabay indonesia

 

Ade Edward, ahli geologi yang ditunjuk sebagai juru bicara untuk memaparkan hasil rapat itu mengatakan, berdasarkan hasil rapat, proyek tidak dibatalkan dan pindah lokasi. ”Intinya, pembangunan itu baik, tetapi detail dan penempatan betul-betul disesuaikan agar tidak mengganggu atau merusak,” katanya.

Pada zaman Belanda pernah dibangun prasasti di Lembah Harau, tepat dekat kolam air Terjun/Sarasah Bunta. Pada masa awal kemerdekaan juga ada prasasti di Sarasah Aka Barayun.

”Itu saja kita teruskan. Label merek dipasang di dekat situ. Di bawah, tidak perlu di tebing. Rencana semula (di tebing) dibatalkan, tetapi pembangunan tetap. Mereknya dipasang di bawah, tidak di zona inti (geopark),” ujar Ade.

Adi Putra, Kepala Urusan Pemerintahan Nagari Tarantang menerima keputusan rapat. ”Kami menyetujui kegiatan ini ditinjau ulang dari lokasi zona inti ke lokasi memungkinkan. Para pakar tentu punya (pengetahuan) bagaimana sebaiknya (pembangunan) landmark tetap bisa berjalan,” katanya.

Sebelumnya, rencana pembangunan yang diumumkan BKSDA Sumbar awal November lalu itu banjir kritikan dari warganet, aktivis lingkungan, hingga ahli geologi dan pariwisata. Proyek itu dinilai nirmanfaat, merusak keaslian situs dan pemandangan, serta bertentangan dengan semangat konservasi.

Penanda kawasan yang hendak dibangun itu bertuliskan ”TWA Lembah Harau”. Di bawahnya ada tulisan lebih kecil: ”BKSDA Sumbar-50 Kota”. Posisi penanda itu tergantung atau menempel di sisi tebing, menghadap ke arah kedatangan pengunjung atau arah barat daya. Lokasi itu masuk Nagari Tarantang, Kecamatan Harau, Limapuluh Kota.

Pada rencana awal itu, Ardi mengatakan, pembangunan landmark  sesuai dengan permintaan warga. Tulisan landmark diyakini bakal meningkatkan kunjungan wisata. Pembangunan diklaim sudah mengikuti aturan berlaku dan tidak berdampak negatif pada kawasan.

 

Tebing Lembah Harau. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Calon geopark dunia

Osronita, Kepala Puslitbang Geopark dan Lingkungan Hidup Universitas Taman Siswa Padang, dalam rapat itu mengatakan, Lembah Harau salah satu potensi geologi di Sumbar yang bernilai dunia. Proses pengajuan sebagai geopark nasional dan dunia sedang berlangsung meskipun sangat lambat karena belum ada respons dari daerah.

Dalam webinar beberapa waktu lalu, lanjut Osronita, dia sudah menyampaikan kekayaan geopark Lembah Harau itu kepada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tetapi koordinasi lebih lanjut belum maksimal.

”Inilah sebenarnya kekurangan kita. Koordinasi dari pusat ke daerah itu belum optimal. Artinya, masih banyak OPD (organisasi perangkat daerah) belum paham sebenarnya bagaimana pentingnya situs geologi itu dijaga,” katanya.

Hutan di geopark merupakan kawasan BKSDA tetapi dalam hal kebijakan penjagaan situs geologi yang bernilai dunia tinggal penetapan saja. ”Kami masukkan surat ke pusat, akan langsung keluar SK penetapan bahwa Lembah Harau itu bernilai dunia. Hanya satu temannya di dunia, yaitu Taman Nasional Yosemite (di AS). Jadi, besar peluang Lembah Harau untuk jadi geopark dunia.”

Osronita bilang, berdasarkan aturan UNESCO, zona inti situs geologi hanya boleh diamati tidak boleh diapa-apakan. Pada Lembah Harau, Pemerintah Hindia Belanda bahkan sudah membuat aturan yang tertuang di tiga tugu di kawasan itu.

”Ada tiga tugu di Lembah Harau. Di tugu disebutkan, dilarang mengganggu, dilarang merusak, dan dilarang mengubah lingkungan Cagar Alam Lembah Harau. Ini sejalan dengan UNESCO, zona inti hanya boleh diamati.”

Dengan begitu, katanya, rencana pemasangan landmark di tebing Lembah Harau itu mengganggu zona inti. Tulisan sepanjang 45 meter dan tinggi empat meter itu akan menghalangi kegiatan riset, edukasi, dan konservasi. Dia dukung kalau landmark dipasang di luar zona inti.

M Zuhrizul, pegiat pariwisata dalam rapat, mengatakan, niat BKSDA Sumbar membantu memajukan pariwisata patut diapresiasi. Sejumlah taman wisata alam mulai dibenahi tetapi memasang landmark di tebing Harau tidak tepat.

 


Obyek wisata yang mengedepan titik swafoto, katanya, mulai ditinggalkan pengunjung. Sejumlah destinasi seperti itu mulai gulung tikar. Bahkan, destinasi tempat swafoto masuk dalam lima pariwisata yang menyebalkan/norak di Indonesia.

”Merek (tulisan) yang besar itu justru berada di peringkat pertama. Nomor dua tempat selfie, seperti (simbol) love di pinggir danau. Nomor tiga tempat yang dicat-cat, seperti kampung warna-warni. Nomor empat, tempat yang membayar (tiket) dua kali. Nomor lima, ketegasan dari daerah soal kebersihan (tempat wisata kotor),” katanya.

Ketua Asosiasi Wisata Minat Khusus (Indonesia Adventure Travel and Trade Association/IATTA) Sumbar itu menambahkan, tempat pariwisata seperti yang disebutkan itu saat ini gampang mendatangkan uang bagi masyarakat secara instan. Namun, katanyam konsep itu tidak berkelanjutan.

 

Wisatwan berfoto di dinding Harau yang fenomenal. Sekarang keaslian dinding tersebut akan dipasasang Landmark yang akan mengurangi keaslian dan keindahan bebatuan. Foto: Vinolia/ Mongabay indonesia

 

Jalur satwa

Wilson Novario, peneliti satwa dari Universitas Andalas (Unand), menyebut, landmark di tebing harau kurang tepat. Selain bisa merusak keaslian tebing, lokasi tebing juga merupakan perlintasan satwa.

“Jika dilihat sekilas sepertinya tidak banyak hewan mengakses dinding tapi kalau kita amati secara lebih detail, akan melihat berbagai jenis burung dan primata yang memanfaatkan jenis tumbuhan/pepohonan pada dinding harau itu, salah satu, monyet ekor panjang.”

Wilson menyebut, Harau memiliki keanekaragaman yang unik karena keberadaan dinding-dinding batu yang terbentuk oleh peristiwa alam jutaan tahun lalu itu. “Jadi konsepnya keanekaragaman hayati bisa diukur dalam tiga tingkatan, yakni keanekaragaman genetik, keanekaragaman spesies dan keanekaragaman ekosistem,” katanya.

Tebing Harau, katanya, mempunyai nilai dari segi keanekaragaman ekosistem karena ada dinding–dinding batu itu. “Ini satu bentuk ekosistem unik dan tidak ada di semua tempat. Sebab itu dinding-dinding di Harau itu ekosistem yang perlu dijaga keunikan dan kelangkaannya.”

Ketika melakukan tindakan pada dinding-dinding Harau itu, katanya, sebenarnya berpotensi menurunkan nilai-nilai universal outstanding value (OUV).

“Jadi perlindungan utama di Harau itu sebenarnya karena keunikan dinding-dinding itu. Untuk itu, secara pengelolaan, Harau terdiri dari dua, ada yang cagar alam, ada yang taman wisata alam, dengan demikian idealnya tentu karena Harau itu dilindungi karena keunikan dinding. Harusnya dinding itu merupakan bagian inti yang perlu dijaga dan terbebas dari bentuk-bentuk kegiatan apapun.”

 

Keindahan Lembah Harau yang terbentuk oleh aktifitas alam jutaan tahun lalu. Foto: Wikipedia/ Mongabay Indonesia

 

********

Exit mobile version