Mongabay.co.id

Begini Cara Nelayan Kelola Warisan Laut Teluk Kolono dari Perikanan Merusak

 

Cahaya matahari meredup, terhalang hamparan awan tipis kelabu sejak terbit hingga menjelang siang di Teluk Kolono, Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Tetiba saja mendung tipis di atas Teluk Kolono mengguyurkan hujan di pekan awal September 2022.

Sudah dua tahun belakangan ini cuaca tidak menentu, nelayan pesisir Teluk Kolono di bagian timur mengeluhkan musim panas yang tertunda. Sudah tidak sesuai dengan kalender perhitungan mereka, yang awal September seharusnya menjadi awal musim panas, musim berburu tangkapan ikan di periode peralihan angin dari timur ke barat.

Risad, 34 tahun dibantu kerabatnya mengangkat jaring berisi tangkapan ikan berukuran kecil yang baru ditangkap di tengah Teluk Kolono, segera memutar kemudi perahu ketinting pulang menuju rumahnya di pesisir Desa Rumba-rumba, Kecamatan Kolono Timur. Mereka hanya berhasil mengumpulkan ikan satu boks gabus, seberat 40 kilogram lebih selama dua jam melaut.

“Cuaca tahun ini sudah tidak bisa diprediksi, habis kencang angin hujan lagi. Jadi kita ini nelayan setengah mati mencari ikan,” keluhnya.

baca : Tangkapan Ikan Melimpah, Dampak PAAP yang dirasakan Nelayan Pulau Buton

 

Risad, nelayan Desa Rumba-rumba, Kolono Timur, Konawe Selatan, Sultra, menaikan ikan yang diperoleh menggunakan alat tangkap jaring di Teluk Kolono, Konawe Selatan, Sultra. Foto : Riza Salman/Mongabay Indonesia

 

Ikan-ikan itu dijual seharga Rp10 ribu/kg ke para tetangga dan pengepul ikan terdekat. Hari itu keuntungan kotor dari penjualan sebanyak Rp400 ribu, membuat istri Risad, Irawati, 33 tahun, terpaksa menjemur ikan di dalam dapur yang nantinya untuk dijual untuk memenuhi kebutuhan belanja harian. Anak-anak Risad dan Mirna masih kecil-kecil, semuanya laki-laki berjumlah empat orang.

“Sebenarnya sudah (musim) panas ini. Kalau tahun lalu kan di bulan September segala jenis ikan sudah naik. Sekarang ikan kecil-kecil saja,” ujar Risad.

Tidak jauh dari rumahnya, Marmina, 38 tahun, seorang mamalele (perempuan pengepul ikan), sibuk membantu suaminya menimbang ikan-ikan segar yang dibeli dari para nelayan terdekat.

“Sudah 2 tahun ini nihil,” ujar Marmina, mengeluhkan menurunnya jumlah tangkapan harian para nelayan. “Sekarang biar 50 kilogram susah didapat. Itu pun kecuali musim angin barat,” keluhnya.

Padahal tahun-tahun sebelumnya, Marmina dan suaminya sanggup mengumpulkan 1,5 ton ikan dalam sehari dari nelayan di sekitar rumahnya yang sekali turun melaut mengumpulkan 100 kg ikan. Marmina memasarkan ikan-ikan dari nelayan ke perusahaan ikan di Kota Kendari, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara.

Beberapa nelayan di sini telah menjual sebagian perahu ketintingnya plus pukat terapung lantaran terhimpit masalah perekonomian. “Karena orang lain disuruh menggunakan (perahu) sudah tidak mau. Karena (hasil tangkapan ikan) tidak sesuai tenaga,” tandas Marmina.

baca juga : KTP dan Kisah Perempuan Nelayan Pesisir Buton Timur 

 

Marmina menimbang ikan yang diperoleh dari para nelayan di Teluk Kolono. Dalam 2 tahun terakhir jumlah tangkapan ikan menurun drastis. Foto : Riza Salman/Mongabay Indonesia

 

Perre-perre

Menurutnya, selain anomali cuaca yang membuat nelayan tidak melaut, keberadaan kapal pagae juga mendatangkan masalah di Teluk Kolono. “Dua tahun ini kapal pagae dari luar sudah masuk menjaring ikan kalau malam. Mereka sering juga melakukan pengeboman ikan secara sembunyi-sembunyi,” Pagae adalah sebutan masyarakat lokal kepada kapal-kapal penjaring ikan dengan ruang tampung besar mencapai belasan Grass Ton.

Risad, Irawati, dan Marmina dan para nelayan lain hingga ke desa-desa tetangga di pesisir Teluk Kolono kerap dibuat bingung menyaksikan aktivitas penangkapan ikan berlebihan oleh Pagae yang sekali menebar jaring sanggup mengumpulkan satu ton ikan bawal di perairan dangkal Teluk Kolono.

Belum lagi baru-baru ini terlihat tiga kelompok nelayan dari daerah lain yang diperkirakan datang dari Provinsi Sulawesi Selatan datang menangkap ikan menggunakan Perre-perre berpindah-pindah tempat di perairan Teluk Kolono. Perre-perre merupakan jenis alat tangkap ikan yang menggunakan lampu penerangan di malam hari untuk menarik perhatian ikan.

Staf Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Konawe Selatan, Bobby Akhyan Almuqni, mengatakan kalau perre-perre sanggup menjaring ikan sampai 300 kg lebih sekali beroperasi di malam hari. Termasuk ikan-ikan teri berukuran kecil.

Perre-perre itu masuk dalam kategori alat tangkap modern, karena menggunakan cahaya lampu bertenaga mesin genset berbahan bakar minyak,” katanya.

Pada akhir Agustus kemarin, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) mengeluarkan larangan penggunaan alat tangkap ikan jenis perre-perre di perairan Sulawesi Selatan, sampai adanya keputusan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tentang aturan penggunaan alat tangkap tersebut. Perre-perre menimbulkan banyak konflik antar sesama nelayan.

“Sampai sekarang tidak ada aturan yang melarang penggunaan Perre-perre”, kata Azahi H.S, Kepala Bidang Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP)–DKP Provinsi Sulawesi Tenggara. Azahi menjelaskan kalau perre-perre beroperasi dengan cara berpindah-pindah tempat, menggunakan fish finder atau alat dengan frekuensi tinggi untuk mencari kumpulan ikan.

Sesampainya di sekumpulan ikan, fish finder lantas dihentikan lalu nelayan menyalakan lampu-lampu untuk menarik perhatian ikan mendatangi sumber cahaya. “Jadi ikan itu mendidih (berkumpul). Setelah itu mereka tinggal sendok kasih naik ke perahu,” kata Azahi. Sebagian besar ikan yang ditangkap adalah ikan teri atau ikan-ikan berukuran kecil.

baca juga : Upaya Kelompok Nelayan Pulihkan Laut dan Pesisir Lora

 

Panorama pesisir Teluk Kolono, Konawe Selatan, Sultra. Foto : Jay Fajar/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Ramlin, Kepala Dusun II, Desa Langgapulu, Kecamatan Konawe Timur pernah melarang nelayan dari luar yang datang menangkap ikan di Teluk Kolono menggunakan perre-perre. “(Mereka) hanya beroperasi beberapa hari. Saat kami diberitahu (mereka menggunakan perre-perre), langsung kami larang beroperasi,” katanya.

Ramlin menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menangkap ikan, memanah gurita, menjaga laut dengan mengawasi aktivitas penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan di Kawasan Larang Ambil (KLA), zona inti daerah perlindungan laut yang disepakati melalui program Pengelolaan Akses Area Perikanan (PAAP).

Pengawasan dilakukan melalui Rumah Rakit atau oleh nelayan kerap disebut Rumah Ikan yang berjumlah dua unit, tersebar sekitar tepi batas area larang tangkap di perairan Teluk Kolono. Rumah rakit juga difungsikan sebagai rumah istirahat para nelayan, atau tempat berteduh ketika angin kencang disertai hujan deras melanda.

Rumah ikan berupa pangunan non permanen persegi berukuran 4×4 meter persegi, dengan tinggi bangunan dua meter. Berdiri diatas tong-tong drum plastik. Pada bagian bawah permukaan laut, terdapat rumpon ikan yang menggantung, berisi pelepah daun kelapa yang dijadikan rumah ikan.

“Kami akan tetap jaga jangan sampai ada gangguan di sekitar itu. Sebagai lumbung lah bagi kami kedepannya,” ujar Ramlin.

baca juga : Pendekatan Berbasis Ekosistem, Cara Baru Kelola Kelautan dan Perikanan

 

Jawas, anggota Forum Peduli Laut Teluk Kolono melakukan pengawasan Daerah Perlindungan Laut dari Rumah Rakit yang dibuat sebagai rumah singgah nelayan. Foto : Riza Salman/Mongabay Indonesia

 

Air Luluako Teluk Kolono

Selain permasalahan penangkapan ikan berlebihan menggunakan perre-perre dan pengeboman ikan yang merusak ekosistem laut, Teluk Kolono juga terdampak perubahan iklim, yang menyebabkan curah hujan sulit ditebak di periode Juni-September. Nelayan tidak bisa melaut, dan ibu-ibu nelayan tidak bisa menjemur ikan.

Fenomena perubahan iklim juga menyebabkan pemutihan karang di sepanjang tahun. Karang menjadi rusak dan ikan-ikan menjadi berkurang, sebagaimana tertuang dalam dokumen Rencana Pengelolaan Akses Area Perikanan (PAAP) Teluk Kolono, Konawe Selatan.

Melihat kondisi itu, Ahmad Isa Ansyori, staff Program Implementation Associate Rare Indonesia, menjelaskan jika masyarakat Teluk Kolono membutuhkan solusi dari pihak luar.

LSM RARE membantu dengan menginisiasi program PAAP bekerjasama dengan para nelayan setempat yang tergabung dalam Forum Peduli Laut Teluk Kolono. Program PAAP memberikan wawasan dan hal baru kepada masyarakat untuk secara bersama-sama mengelola kawasan laut Teluk Koloono.

Program PAAP dilakukan dengan mengelola kawasan dimana akses tertentu diberikan kepada sebuah unit sosial masyarakat, untuk memanfaatkan dan mengelola wilayah perikanan mereka, untuk memastikan keberlanjutan ketersediaan sumber daya secara bertanggung jawab.

“Yang bisa diangkat dari Teluk Kolono adalah kekompakan mereka untuk menjaga, mengatur, dan mengelola sumber daya perairan laut Teluk Kolono,” kata Isa. Berhubung adanya aktivitas penangkapan ikan dari nelayan dari luar menjadi tekanan untuk masyarakat di Teluk Kolono.

Perre-perre contohnya’, alat tangkap ikan yang tidak merusak tapi menjaring ikan-ikan kecil dan ikan teri secara berlebihan. Akibatnya jumlah ikan-ikan berukuran besar berkurang, berpindah tempat ke perairan wilayah lain untuk mencari makan. “Ikan-ikan kecil itu kan makanan ikan-ikan besar. Pelaku bom dari luar juga juga masih marak,” katanya.

Dengan program PAAP, masyarakat nelayan pesisir Teluk Kolono memperjuangkan kedaulatan akses pengelolaan laut sejak tahun 2015 dengan menetapkan Daerah Perlindungan Laut, seluas 3.321 hektar dengan panjang pesisir 31 km secara bertahap sampai tahun 2017. Sebanyak 8 kepala desa setempat menandatangani dokumen rencana PAAP, demi menghadapi kerentanan perubahan iklim dan penangkapan ikan yang berlebihan.

 

Seorang nelayan pulang dari melaut dengan latar depan ikan yang dijemur di pesisir Teluk Kolono, Konawe Selatan, Sultra. Foto : Jay Fajar/Mongabay Indonesia

 

Program PAAP itu termasuk area laut Air Luluako, yang dikeramatkan nelayan karena jadi area penangkapan ikan secara turun temurun di Teluk Kolono. Dalam program PAAP, area Air Luluako ditetapkan menjadi Daerah Pengelolaan Tradisional (DPT) yang dimanfaatkan sebagai daerah tangkapan nelayan lokal dan tempat budi daya perairan.

Untuk melindungi Air Luluako, sebanyak lima Daerah Perlindungan Laut dibentuk, tersebar di perairan laut yang masuk wilayah di lima desa, sepanjang pesisir Teluk Kolono Timur.

Area laut Air Luluako atau berarti ‘Air Mendidih’ dalam bahasa lokal karena adanya gelembung-gelembung air yang keluar dari dasar perairan Teluk Kolono. Kondisi itu

menjadikan rumah yang nyaman bagi ikan berukuran kecil dan berukuran besar, baik dari jenis ikan pelagis, ikan dasar, dan ikan karang untuk berkembang biak. Ikan di sini melimpah jumlahnya dan tidak pernah berkurang. Lokasinya mudah diakses menggunakan perahu dayung, berjarak ratusan meter dari pesisir.

Ketua Forum Peduli Laut Teluk Kolono, Mabrur, mengatakan pihaknya bekerjasama dengan PSDKP Sulawesi Tenggara untuk melakukan pengawasan di Daerah Perlindungan laut. Akan tetapi operasional pengawasan terkendala karena legalitas hukumnya berupa Dokumen Rencana PAAP yang telah diajukan Pemprov Sulawesi Tenggara belum disahkan oleh Gubernur Sultra, Alimazi.

Mabrur berharap dokumen PAAP itu segera ditanda tangani gubernur. “Supaya bidang pengawasan kami lebih gampang jalannya. Mereka terkendala di legalitas,” katanya.

Selain itu, Forum Peduli Laut Teluk Kolono mengharapkan adanya bantuan fasilitas transportasi laut dan subsidi bahan bakar minyak untuk melakukan pengawasan secara rutin.

Menurut Staf DKP Kabupaten Konawe yang juga pendamping program PAAP di Kecamatan Kolono Timur, Bobby Akhyan, nelayan-nelayan di sejumlah desa yang terlibat dalam PAAP terbantukan dalam mengelola sumber daya laut dan pesisir.

“Kegiatan menjaga kawasan sudah mereka terapkan, tidak melakukan pengeboman karena mereka sendiri yang rasakan dampak merusak perikanan”, kata Boby. Dengan program PAAP nelayan semakin berusaha untuk menjadi lebih baik.

Penurunan produksi ikan juga bisa terbantu, karena masyarakat diajak untuk melakukan aktivitas perikanan berkelanjutan dengan menggunakan alat tangkapan ikan yang ramah lingkungan. Baginya, kurangnya kesadaran masyarakat menjadi penyebab penangkapan ikan yang berlebihan sebelumnya.

Kini, nelayan di sini semakin berusaha untuk menjadi lebih baik. “Kami sosialisasikan dampak overfishing dan aktivitas pengelolaan ikan yang merusak,” kata Bobby.

 

Saharudin menunjukan Ikan Bawal hasil tangkapannya menggunakan pancing di area laut Air Laluako di Teluk Kolono. Foto : Riza Salman/Mongabay Indonesia

 

Saharudin, 41 tahun, seorang nelayan di Kecamatan Kolono Timur, secara perlahan-lahan menarik senar nilon pancing dan sesekali mengulurkannya, sembari mengayunkan dayung untuk mengimbangi kuatnya daya tarik ikan Bawal berukuran sedang, tersangkut di mata kail pancing.

Saharudin gembira, memperoleh strike beberapa ekor tangkapan ikan Bawal dan ikan karang di area Air Luluako. Dia mengaku rata-rata menangkap 4 ekor ikan untuk sekali turun melaut.

Katanya dari dulu sampai sekarang jumlah ikan di sini stabil, tidak berubah, meskipun terjadi perubahan musim dan cuaca tidak menentu. Yang terkadang mendapati ikan Tenggiri berukuran besar nyangkut di mata kail pancingnya.

“Kemarin-kemarin sebelum ada PAAP, orang masuk memukat dan segala macam. Tetapi sekarang tidak ada lagi, sudah dilindungi,” pungkasnya. (***)

 

Artikel ini didukung oleh Rare Indonesia

 

Exit mobile version