Mongabay.co.id

Aliansi Sulawesi: Kendaraan Listrik adalah Solusi Palsu untuk Perubahan Iklim

 

Aliansi Sulawesi, terdiri dari WALHI wilayah Sulawesi dan sejumlah LSM lainnya menyerukan penyelamatan atas hutan Sulawesi yang tergerus oleh pertambangan nikel demi memenuhi kebutuhan kendaraan listrik. Upaya pemerintah untuk mendorong kendaraan listrik dinilai hanya solusi palsu untuk perubahan iklim.

Pernyataan bersama ini disampaikan sejumlah direktur eksekutif WALHI region Sulawesi terkait pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi G20 yang digelar di Nusa Dua, Bali, 15-16 November 2022.

“Kami yakin pada pertemuan G20 ini, pemerintah Indonesia akan menawarkan kepada negara-negara maju sehubungan dengan potensi nikel yang terdapat di hutan hujan Indonesia, khususnya di pulau Sulawesi. Apalagi, Indonesia berambisi untuk menjadi produsen bahan baku baterai kelas dunia untuk mendukung produksi kendaraan listrik dunia,” ungkap Muhammad Al Amin, Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Selatan, di Makassar, Senin (14/11/2022).

Menurut Amin, para pemimpin negara-negara G20, terutama Amerika Serikat, Kanada, negara-negara Eropa, Jepang, Cina, dan Australia, seharusnya memperhatikan kehidupan masyarakat di Indonesia yang semakin miskin, utamanya yang tinggal di sekitar hutan.

“Hal ini utamanya dirasakan oleh petani dan keluarga nelayan yang tinggal di sekitar tambang nikel dan smelter serta pembangkit listrik mereka yang kotor,” katanya.

baca : Aksi Damai Menyuarakan Transisi Energi Berkeadilan untuk Pemimpin G20

 

Eksekutif Daerah WALHI wilayah Sulawesi yang tergabung dalam Aliansi Sulawesi menyerukan penyelamatan atas hutan Sulawesi yang tergerus oleh pertambangan nikel demi memenuhi kebutuhan kendaraan listrik. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Menurutnya, sebelum penambangan nikel meluas ke hutan hujan di Sulawesi, petani sejumlah daerah yang menjadi lokasi tambang di Sulawesi bisa mengandalkan dua kali panen dalam setahun.

“Setelah tambang dan smelter nikel mulai beroperasi, masyarakat sering mengalami banyak gagal panen karena sawah mereka tercemar lumpur tambang dan limbah smelter. Akhirnya, petani terpaksa menjual sawahnya karena sudah tidak layak lagi,” katanya.

Dampak lain adalah terjadinya pencemaran sungai dan laut akibat aktivitas penambangan dan peleburan nikel.

“Para pemimpin negara yang mempromosikan kendaraan listrik harus tahu bahwa kehancuran di Pulau Sulawesi akibat tambang dan smelter nikel tidak hanya menjadi masalah di hutan hujan, tetapi juga meluas ke garis pantai.”

Salah satu dampak penambangan nikel terlihat pada kasus pencemaran sungai yang terjadi di Sungai Malili, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

“Setiap turun hujan, lumpur tambang tersapu ke Sungai Malili sehingga tercemar dan berubah warna menjadi merah. Lumpur terbawa ke laut, mencemari garis pantai, menipiskan stok ikan dan berdampak pada mata pencaharian keluarga nelayan, serta memaksa mereka untuk berlayar lebih jauh dari sebelumnya untuk menangkap ikan akibat wilayah tangkapnya tercemar limbah nikel,” ujar Amin.

baca juga : Showcase Transisi Energi G20 dengan Kendaraan Listrik, Pembangkitnya Dominan Fosil

 

Tambang nikel di sejumlah wilayah di Pulau Sulawesi berdampak pada deforestasi dan terampasnya ruang hidup petani, nelayan dan masyarakat adat. Foto: WALHI.

 

Dampak penambangan nikel juga dialami oleh perempuan, tepatnya pada adat Karonsie, Sorowako, Luwu Timur, di mana terdapat sejumlah tambang dan smelter nikel milik perusahaan Brazil, Kanada dan Jepang, yang dinilai telah menghancurkan impian mereka akan kehidupan yang baik dan mandiri dengan mengolah tanah mereka sendiri.

“Tanah dan kebun adat mereka dirampas oleh perusahaan tambang nikel tanpa ganti rugi bahkan diubah menjadi lapangan golf milik perusahaan. Mereka tidak lagi memiliki akses air bersih dan terpaksa mengonsumsi air sungai kotor yang tercemar lumpur tambang nikel. Selain itu, pemukiman masyarakat saat ini telah dipagari dengan sangat tidak menghormati hak tanah adat masyarakat Karonsie.”

Kerusakan hutan hujan yang berdampak pada rusaknya sumber kehidupan masyarakat, khususnya perempuan, juga terjadi di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.

Di Sulawesi Tengah, tepatnya di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara, para nelayan di Morowali harus pasrah kehilangan mata pencaharian mereka akibat lumpur penambangan dan limbah tailing dari smelter nikel. Pesisir dan laut yang selama ini menjadi sumber pendapatan nelayan, tercemar lumpur bekas tambang dan limbah peleburan nikel.

“Akibatnya, nelayan memutuskan untuk berhenti melaut dan memilih menjadi buruh bangunan dan buruh pabrik smelter yang penghasilannya jauh dibandingkan saat menjadi nelayan,” ungkap Sunardi Katili, Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Tengah.

Menurutnya, dampak paling buruk di Sulawesi Tengah saat ini adalah tambang dan pembangunan pabrik peleburan nikel telah menciptakan konflik agraria. Di Kabupaten Morowali Utara, sawah dan kebun petani harus diambil paksa oleh perusahaan tanpa konsultasi dan kompensasi.

baca juga : Catatan Akhir Tahun WALHI Region Sulawesi: Industri Nikel Ancam Sulawesi

 

Sebanyak 80 persen energi listrik yang menggerakkan smelter nikel di Sulawesi bersumber dari pembangkit listrik tenaga batubara, yang dinilai bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Foto: WALHI.

 

Menurut Theo Runtuwene, Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Utara, terlepas dari dampak besar tambang dan smelter nikel terhadap hutan, sungai, pesisir, dan masyarakat di Pulau Sulawesi, aliansi menilai bahwa nikel, baterai, dan kendaraan listrik bukanlah obat mujarab bagi krisis iklim global.

“Hutan hujan ini sangat penting bagi lingkungan, kehidupan masyarakat, dan iklim dunia, menyerap karbon yang dikeluarkan oleh pabrik-pabrik di Indonesia, serta industri dan pembangkit listrik berbahan bakar fosil di belahan bumi utara. Sangat salah menyebut industri kendaraan listrik di mana bahan bakunya diperoleh dari perusakan hutan disebut sebagai produk ramah lingkungan dan solusi bagi perubahan iklim,” ungkapnya.

Dikatakan Theo, sebanyak 80 persen energi listrik yang menggerakkan smelter nikel di Sulawesi bersumber dari pembangkit listrik tenaga batubara, yang dinilai bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, energi yang ramah lingkungan, dan mitigasi terhadap perubahan iklim yang saat ini sedang disuarakan oleh para pemimpin dunia.

“Penggunaan tenaga batubara di smelter sebenarnya menggandakan emisi yang terkait dengan produksi nikel,” tambahnya.

Meningkatnya permintaan batubara membuat produksi nikel yang lebih tinggi di Sulawesi juga mempercepat perusakan hutan di pulau-pulau lain, terutama di Kalimantan, pusat utama kegiatan penambangan batubara di Indonesia.

“Selama produksi kendaraan listrik melibatkan penghancuran hutan hujan di Sulawesi dan Kalimantan, serta meningkatkan emisi karbon, maka mereka tidak dapat dianggap sebagai solusi untuk perubahan iklim.”

perlu dibaca : Menyoal Pengembangan Baterai Nikel bagi Lingkungan Hidup dan Sosial

 

Aksi yang dilakukan TuK INDONESIA bersama dengan Eksekutif Nasional WALHI di depan Kementerian Keuangan, OJK dan tiga bank besar Indonesia yaitu BNI, BRI dan Mandiri, di Jakarta, kamis (10/11/2022). Foto: WALHI.

 

Menurut Asnawi, Direktur WALHI Sulawesi Barat, investasi dan pembiayaan industri nikel di Pulau Sulawesi dari hulu hingga hilir, semakin memperkuat laju kerusakan hutan hujan yang berkontribusi pada laju perubahan iklim yang semakin mengerikan.

“Selain itu, kehidupan masyarakat adat dan lokal yang saat ini miskin akan semakin miskin, karena sumber mata pencaharian mereka juga rusak bahkan hilang.”

Melihat hal tersebut, Aliansi Sulawesi menuntut para pemimpin negara Group 20 khususnya pemimpin negara Amerika, China, Kanada, Jepang, Inggris, Jerman dan Uni Eropa untuk membuat komitmen tegas agar menghentikan dukungan investasi yang merusak hutan hujan di seluruh dunia, khususnya di Pulau Sulawesi.

“Secara konkret kami menuntut untuk menghentikan dukungan investasi di sektor pertambangan, khususnya pertambangan nikel,” ungkap Saharuddin, Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Tenggara.

Lembaga-lembaga keuangan internasional juga diminta menghentikan dukungan pembiayaan pada sektor pertambangan, khususnya pertambangan nikel di Indonesia.

“Juga termasuk pembiayaan untuk membangun pembangkit listrik yang kotor untuk menggerakkan pabrik peleburan nikel. Lembaga-lembaga keuangan internasional harus mengalihkan pembiayaan dan investasi pada bisnis yang berkelanjutan, khususnya yang melindungi hutan hujan di seluruh dunia,” tambahnya.

Kepada pemerintah Indonesia, khususnya Presiden Jokowi, aliansi menuntut untuk segera menghentikan penerbitan izin-izin usaha pertambangan, khususnya izin usaha pertambangan nikel.

“Selain itu, kami menuntut kepada Presiden Jokowi untuk mencabut izin-izin pertambangan yang telah merusak hutan hujan di Pulau Sulawesi dan pulau-pulau lainnya di Indonesia.”

baca juga : Mendorong Demokrasi Energi di Pembahasan Transisi Energi G20

 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (tengah) saat peluncuran Indonesia Energy Transition Mechanism Country Platform atau disebut juga platform ETM pada Senin (14/11/2022). Foto : facebook Sri Mulyani Indrawati

 

Kerjasama Transisi Energi

Dalam side event KTT G20 di Bali, pada Senin, 14 November 2022, Pemerintah Indonesia meluncurkan Indonesia Energy Transition Mechanism Country Platform atau disebut juga platform ETM sebagai sarana koordinasi utama Indonesia dengan negara-negara lain dan penggerak untuk mendorong transisi sektor energi bersih yang adil dan terjangkau di Indonesia.

Peluncuran ETM Platform Indonesia itu dilakukan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang dihadiri Presiden Asian Development Bank (ADB) Masatsugu Asakawa, Presiden Islamic Development Bank Dr. Muhammad Sulaiman Al Jasser, dan Presiden Bank Dunia David Malpass. Turut hadir pada acara ini Menteri Ekonomi, Keuangan, dan Industri dan Kedaulatan Digital Prancis Bruno Le Maire, Menteri Keuangan Afrika Selatan Enoch Godongwana, dan Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen.

“ETM Country Platfrorm Indonesia akan mengirimkan sinyal yang kuat tidak hanya ke Asia dan Pasifik namun seluruh dunia bahwa Indonesia adalah pemimpin dunia dalam transisi yang adil dan terjangkau dari bahan bakar fosil ke energi yang ramah lingkungan,” ujar Sri Mulyani Indrawati dalam siaran pers Kementerian Keuangan.

Langkah transisi energi ini diyakini akan mengurangi sekitar 50 juta ton emisi karbon pada 2030, atau 160 juta ton pada 2040. PT Sarana Multi Infrastruktur ditunjuk sebagai country platform ETM manager dalam mengelola kerangka pendanaan dan pembiayaan transisi energi di Indonesia. Kerja sama multilateral ini diantaranya melibatkan Asian Development Bank (ADB), Islamic Development Bank (IDB), World Bank, HSBC Standard, dan yang lainnya.

 

Exit mobile version