Mongabay.co.id

Pertanian Bawah Tanah, Solusi Pangan Masa Depan?

 

 

Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan, penduduk Bumi akan bertambah dua miliar pada 2050 nanti. Jumlah manusia saat ini, diproyeksikan mencapai 8 miliar jiwa. Produksi pangan global tentu saja perlu ditingkatkan agar mampu mencukupi kebutuhan penduduk Bumi.

Untuk mengatasi kebutuhan pangan, sejak beberapa tahun lalu, telah dikenalkan metode pertanian vertikal [vertical farming]. Khususnya, dikembangkan di kawasan perkotaan, dikarenakan keterbatasan lahan.

Meski demikian, pertanian vertikal dinilai sebagian kalangan masih belum mampu  mengatasi ketersediaan pangan di masa depan. Untuk itu, dibutuhkan metode lain. Underground farming atau pertanian bawah tanah pun digaungkan.

Seperti namanya, pertanian bawah tanah adalah aktivitas bercocok tanam bahan pangan di ruang bawah tanah. Cara ini memanfaatkan teknologi yang disebut controlled environment agriculture. Tujuannya, menciptakan lingkungan bawah tanah stabil. Penanamannya dilakukan dengan konstan, dapat diprediksi, dan berkelanjutan.

Baca: Mobil Terbang dan Implikasinya Terhadap Lingkungan

 

Lingkungan yang baik akan memberikan kualitas hidup yang baik juga bagi kehidupan manusia. Foto drone: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Perusahaan rintisan [startup] di sejumlah negara, mulai menjajaki dan mempraktikkan pertanian ini. Zero Carbon Farms, memanfaatkan ruang bawah tanah bekas perlindungan bom selama Perang Dunia II di London, Inggris.

Berada sekitar tiga puluh tiga meter di bawah jalan-jalan di barat daya London, Zero Carbon Farms, yang diluncurkan pertama kali tahun 2015, memiliki lahan satu hektar. Tanamannya berupa sayuran hijau, kemangi, bawang kucai, serta kacang polong.

Zero Carbon Farms menggunakan teknologi hidroponik mutakhir dan pencahayaan LED yang didukung energi terbarukan untuk menghasilkan sayuran segar. Proses penanamannya benar-benar bebas tanah, ditanam di atas karpet daur ulang.

Zero Carbon Farms panen hingga 60 kali setahun, enam kali lipat dari hasil pertanian konvensional. Keseluruhan, aktivitas pertaniannya menggunakan air 70 persen lebih sedikit daripada aktivitas pertanian di permukaan tanah dan bebas pestisida.

Baca: Kota Terapung dan Upaya Adaptasi Perubahan Iklim

 

Lahan pertanian padi yang perlahan terdesak permukiman dan alih fungsi lainnya.Foto drone: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Perusahaan rintisan di Prancis, Cycloponics, mulai pula memanfaatkan ruang-ruang bawah tanah yang terbengkalai di Prancis. Seperti tempat parkir dan bunker.

Di Kanada, perusahaan GreenForges mengenalkan pertanian bawah tanah dengan menyiapkan sejumlah lahan di bawah gedung-gedung. Pihak GreenForges memperkirakan, sistem pertanian bawah tanah yang dikelolanya mampu meningkatkan efisiensi energi sebesar 30-40 persen dibandingkan pertanian vertikal tradisional.

Perusahaan berbasis di Quebec itu memproduksi sayuran hijau, tanaman herba, dan buah beri. GreenForges juga akan menanam selada di lahan pertanian bawah tanah yang dikelolanya. Bahkan, di masa depan, perusahaan ini berencana menanam gandum.

Di Asia, Korea Selatan menjadi negara yang mulai menerapkan sistem pertanian bawah tanah. Sejak September 2019, sebagian areal bawah tanah Stasiun Sangdo disulap menjadi kawasan pertanian yang dinamai Metro Farm.

Di balik fasad berpanel kaca, pucuk-pucuk daun dan kecambah bermunculan dari bawah lampu LED yang terang, sebagai bagian dari proyek pertanian organik itu.

Konsep pertanian Metro Farm menggunakan baki tanam hidroponik dan jaringan teknologi otomatis untuk mengontrol suhu, kelembaban, dan tingkat CO2.

Hasil pertaniannya sejauh ini sangat produktif, mampu menghasilkan sekitar 30 kilogram sayuran per hari dengan kecepatan 40 kali lebih efisien ketimbang  pertanian di permukaan tanah.

Baca juga: Fenomena Hujan Plastik, Mungkinkah Terjadi?

 

Konsep pertanian bawah tanah yang dikembangkan perusahaan GreenForges. Sumber: GreenForges

 

Tantangan

Pertanian bawah tanah diyakini kebal dari dampak perubahan musim dan cuaca. Berdasarkan sejumlah penelitian, ketika tanaman berada di kedalaman tertentu, cuaca maupun kondisi lingkungan permukaan tidak berpengaruh pada lingkungan tumbuhnya.

Sejumlah kalangan percaya, pertanian bawah tanah memungkinkan dikembangkan skala besar dan akan produktif di lingkungan yang tidak bersahabat seperti gurun, tundra. Atau bahkan, di pegunungan yang ekstrim.

Dengan memindahkan aktivitas pertanian ke bawah tanah, diperkirakan akan semakin sedikit ruang di permukaan yang dibutuhkan, sehingga memungkinkan terjadinya perbaikan kondisi Bumi.

Meski menjanjikan, ada tantangan pengembangan pertanian bawah tanah yang mesti diperhatikan.

Modal, utamanya. Pertanian bawah tanah menggunakan teknologi cukup kompleks dan baru. Ongkos untuk membangun dan mengelolanya sangat mahal, sehingga membatasi jenis tanaman yang dikembangkan, terutama layak secara ekonomi.

Berikutnya, kondisi bawah tanah, khususnya terkait ketinggian air tanah. Ini akan sangat menentukan, apakah aktivitas pertanian dapat dilakukan atau tidak.

Aspek lain adalah sumber energi. Mengganti matahari bukanlah pekerjaan mudah. Problemnya adalah, pertanian bawah tanah membutuhkan lebih banyak energi dibandingkan di permukaan.

Tantangan dalam hal ini yaitu, bagaimana memastikan sumber energi yang digunakan merupakan energi terbarukan yang ramah lingkungan.

 

*Djoko Subinarto, kolumnis dan bloger, tinggal di Bandung, Jawa Barat. 

 

Rujukan:

Douglas Broom. 2021. This WW2 Bunker is Growing Sustainable Salad Leaves Deep Underground. Here’s How.

Green Forges. 2022. The Benefits and Challenges of Underground Farming.

Jesse Klein. 2021. GreenForges Digs Deep to Farm Underground.

Kristin Houser. 2021. New Startup Takes Vertical Farming Underground Literally.

Kwon Moon. 2020. Is Underground Farming the Future of Food?

 

Exit mobile version