Mongabay.co.id

COP27: Organisasi Lingkungan di Indonesia Pertanyakan Tanggung Jawab Negara Maju

 

 

 

 

Kerugian dan kerusakan (loss and damage) dampak krisis iklim jadi salah satu fokus bahasan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim atau Conference of the Parties (COP) 27 di Sharm El-Sheikh, Mesir, November ini. Bahasan ini terutama soal dana kompensasi negara-negara kaya penyumbang emisi karbon (CO2) terbesar yang menyebabkan pemanasan global.

Komitmen negara-negara kaya masih diragukan untuk berkontribusi mengatasi krisis iklim dan menyelesaikan kerugian dan kerusakan yang terjadi.

Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia, mengatakan, Indonesia sebagai satu negara terdampak krisis iklim mesti mendorong negara-negara penyumbang emisi karbon terbesar di dunia bertanggung jawab secara finansial menyelesaikan kerugian dan kerusakan dampak dari perubahan iklim.

Bagi Leonard, Indonesia sudah ‘tergolong’ sebagai negara kaya karena masuk dalam ‘club’ G20. Mestinya, Indonesia juga punya tanggung jawab moral mendorong seluruh negara-negara selatan mendapatkan fasilitas pendanaan dan pembiayaan.

 

 

Longsor di Sukabumi. Foto: BNPB

Sisi lain, Leonard menilai Indonesia dilematis karena mengalami bencana hidrometeorologi sebagai dampak krisis iklim. Saat ini, langkah dan upaya mitigasi masih mengedepankan perdagangan karbon.

Ichwan Susanto, wartawan lingkungan Harian Kompas mengatakan, bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, angin puting beliung, cuaca ekstrem, bahkan badai tropis terus meningkat. Korban pun makin banyak.

Bencana ini, katanya, terkait dengan banyak hal, mulai perubahan iklim, kerusakan pesisir, kerusakan bentang alam, ketidaksiapan infrastruktur, dan kelemahan mitigasi risiko bencana dan lain-lain.

Berdasarkan data Badan Nasional Pananggulangan Bencana (BNPB), kejadian bencana pada 10 tahun terakhir sejak 2011-2021, didominasi bencana bahaya hidrometeorologi. Sebanyak 98,1% bencana karena kejadian meteorologi dan iklim ekstrem ini disebut terjadi akibat ulah manusia.

Data BPNP selama periode 1 Januari-18 Oktober 2022, terjadi 2.860 bencana di Indonesia, dengan korban terdampak 3,59 juta orang atau 99,97%. Banjir, menempati posisi tertinggi 1.157 kejadian, cuaca ekstem (900), tanah longsor (516) dan kebakaran hutan dan lahan (240).

Sola Gratia, perwakilan komunitas terdampak di Kalimatan, menceritakan, daerahnya alami bencana cukup parah, mulai dari banjir sampai kebakaran hutan dan lahan. Bahkan banjir lebih parah sampai setinggi atap rumah.

Sebelumnya, curah hujan tidak sederas tahun ini. Banjir pun, katanya, dua kali lipat dari bencana yang sering mereka alami.

Banjir di Ketapang, Kalimatan, juga memutus rantai mata pencaharian dan melumpuhkan aktivitas warga. Petani, peternak harus menanggung risiko kehilangan ternak saat banjir tiba.

“Kalau air sampai di atap rumah, apa yang bisa diselamatkan?”

Kalimatan juga menghadapi kebakaran hutan dan lahan.

 

Banjir di Majene, penghujung Oktober 2022. Foto: BNPB

 

Warga Pekalongan, Jawa Tengah, juga hadapi bencana seperti banjir rob dari kenaikan permukaan air laut maupun karena terjadi penurunan muka tanah. Beberapa daerah sudah tergenang air dan tak bisa dihuni.

“Seperti ada di Pasir Sari itu ada beberapa daerah sudah tidak bisa dihuni karena rumah-rumahnya tenggelam,” kata Halimatus, warga terdampak di pesisir utara Jawa.

Warga yang punya finansial lebih mungkin memilih meninggalkan tempat itu, tetapi Halimatus bilang, beberapa orang tetap bertahan disana.

Sola bilang, pemerintah harus jauh lebih serius menangani masalah ini.

“Bukan sesuatu yang mudah, begitu kita mampu bertahan ketika tahun ini mulai bangkit dari banjir, lalu tahun depan alami lagi.”

“Atau sama dengan kebakaran, itu menjadi bencana yang pasti terjadi. Tahun ini kebakaran, tahun depan kebakaran lagi. Sampai kapan begitu?”

 

Api yang membakar hutan mengakibatkan hutan menjadi gundul sehingga tidak mampu menampung cadangan air saat musim hujan. Hal itu bisa menyebabkan terjadinya tanah longsor maupun banjir. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Keraguan

Bagi Leonard, bencana di Kalimatan dan daerah lain jelas-jelas karena degradasi lingkungan hidup dengan pendorong kekuatan-kekuatan ekonomi besar, dari sawit hingga pertambangan. Dua industri ini termasuk batubara, dia sebut oligarki terbesar yang mendominasi ekonomi Indonesia.

Indonesia, katanya, termasuk pengekspor batubara terbesar di dunia dan sektor energi sekitar 90% didominasi energi kotor ini.

“Buat negara utara, penting dibantu untuk berubah, tapi kita sendiri harus punya komitmen mengubah ekonomi menuju yang hijau,” kata Leonard.

“Kita mungkin akan diplomasi untuk dapat fasilitas pendanaan los and damage ini. Tetapi harus bisa membereskan ekonomi kita yang sangat merusak saat ini?”

Baginya, yang sulit dilakukan di Indonesia mitigasi iklim dan membereskan tata ekonomi yang secara produksi dan dampak cukup merusak. Setelah semua beres, baru bangun diplomasi untuk meloloskan fasilitas pendanaan kerugian dan kehilangan.

“Kalau kita diplomasi internasional, kita harus beres di dalam. Dalam konteks climate diplomasi, kita bisa dianggap aktor serius karena hutan kita satu dari tiga yang paling luas.”

Raynaldo Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesian for Enviromental Law (ICEL) Indonesia, mengatakan negara-negara maju penyumbang sekitar 47% akumulasi emisi CO2. Negara-negara ini, katanya, harus menunjukkan komitmen politik atau sikap lebih positif terhadap skala mekanisme terkait kerusakan dan kehilangan sebagaimana tercantum dalam Perjanjian Paris.

“Bagi saya, apa yang bisa dilakukan, makin menggalakkan litigasi-litigasi perubahan iklim, mengkampanyekan itu hingga pelan-pelan konteks pendanaan loss and demage itu juga mendapatkan support dari aksi-aksi komunitas-komunitas hukum secara global,” katanya.

 

Senin (5/9/22) longsor juga terjadi di kawasan Sitinjau Lauik, Kecamatan Lubuk Kilangan, Kota Padang.. Vinoloia

 

Konteks pendanaan itu sebenarnya, kata Raynaldo, adalah konteks pertanggungjawaban. Menurut dia, ada dua hal soal konteks loss and damage. Pertama, konteks pertanggungjawaban yang dikuatkan melalui bentuk-bentuk kompensasi atas perbuatan-perbuatan masa lalu. Kedua, perubahan perilaku.

Kedua hal ini sering sekali kontrakdiktif. Seolah-olah mengeluarkan dana sebagai pertanggungjawaban, sisi lain perilaku tidak berubah.

Bahkan, negara-negara maju ini justru jadi pendana untuk energi-energi kotor atau kontribusi terhadap emisi global.

“Bagi saya sebenarnya political will penting, tapi letakkan secara holistik dalam konteks pertanggungjawaban dan dalam konteks menutut perubahan perilaku baik dari negara-negara itu.”

Leonard bilang, jangan hanya setop di agenda, tetapi harus benar-benar ada pembicaraan terstruktur dan konkret selama COP27 ini berjalan untuk  poin aksi menuju penyelesaian loss and damage.

Dia juga berharap, kalau kemudian memperoleh fasilitas pendanaan loss and damage, sebisa mungkin tetap mendapat dukungan dana APBN dan APBD.

 

 

*********

Exit mobile version