Mongabay.co.id

G20 Diharapkan Tangani Dampak Krisis Iklim di Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

 

Perhelatan G20 di Bali pada 15-16 November 2022 menjadi momen penting bagi pemimpin-pemimpin negara anggotanya untuk berkontribusi aktif mengatasi dampak krisis iklim. Meskipun G20 dibentuk dengan landasan ekonomi, namun saat ini telah berkembang dengan membahas persoalan lingkungan khususnya terkait transisi energi dan perubahan iklim.

Negara-negara anggota G20 sendiri dinilai bertanggung jawab terhadap 75 persen gas rumah kaca global. Sejalan dengan agenda G20, salah satu prioritas Indonesia adalah transisi energi berkelanjutan. Hal tersebut tidak terlepas dari dampak krisis iklim yang tengah dihadapi sekarang. Wilayah pesisir dan pulau kecil menjadi wilayah yang sangat terdampak akibat dari krisis iklim.

Kepulauan Indonesia membentang di perairan tropis antara Samudera Hindia dan Pasifik, dan dari Asia Tenggara hingga Australia Utara. Dengan 17.504 pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dan memiliki garis pantai sepanjang sekitar 81.000 Km sehingga Indonesia merupakan negara yang memiliki garis pantai tropis terpanjang di dunia.

“Dengan kondisi seperti ini Indonesia menjadi negara yang rentan terhadap dampak dari krisis iklim global, seperti perubahan pola cuaca ekstrem dan kenaikan suhu rata-rata dalam waktu yang cukup panjang,” ungkap Asmar Exwar, Dinamisator Jaring Nusa, dalam diskusi Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia (KTI) secara daring, Senin (15/11/2022).

Jaring Nusa KTI adalah simpul 18 organisasi yang membentuk jaringan belajar antar LSM dan komunitas masyarakat pesisir di kawasan timur Indonesia yang memiliki perhatian khusus serta komitmen pada kesejahteraan masyarakat pesisir serta lestarinya pesisir, laut dan pulau kecil di Indonesia.

baca : Ketika Organisasi Masyarakat Sipil Tak Bebas Suarakan Krisis Iklim Jelang KTT G20

 

Nelayan Makassar menghadapi banyak tekanan dari perubahan iklim hingga tambang pasir laut. Kota Makassar menjadi kota dengan pergeseran iklim tertinggi di Indonesia dalam setahun terakhir, yang bahkan masuk 14 besar di dunia dengan jumlah 279 hari pergeseran iklim. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Merujuk data dari Bappenas jika dampak dari krisis iklim dapat dilihat dengan peningkatan suhu 0,45-0,57 derajat celcius, kenaikan muka laut 0,8-1,2 cm/tahun dan gelombang ekstrem meningkat di atas 1,5m.

“Jika tidak ditangani dengan cepat, krisis iklim akan lebih meningkatkan risiko abrasi pantai, banjir rob, intrusi air laut, coral bleaching, serta memicu krisis pangan di wilayah pulau-pulau kecil,” ungkapnha.

Asmar kemudian mendorong komitmen pemerintah Indonesia dan delegasi G20 untuk menempatkan kepentingan masyarakat dan lingkungan hidup di atas kepentingan ekonomi.

“Pertemuan G20 ini harusnya menempatkan rakyat dan lingkungan hidup di atas kepentingan ekonomi. Transisi energi yang digaungkan selama ini oleh pemerintah justru kenyataannya malah menempatkan wilayah pesisir dan pulau kecil menjadi lebih rentan akibat investasi industri ekstraktif, selain kerentanan yang dipicu oleh dampak krisis iklim,” ungkapnya.

Lanjut dikatakan Asmar bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan, seharusnya masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di dalamnya mendapatkan perlindungan dan keadilan sehingga bisa lebih sejahtera.

“Namun kenyataannya keterancaman wilayah pesisir dan pulau kecil semakin meningkat dari tahun ke tahun.”

Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI, menjelaskan dampak krisis iklim telah menyebabkan 199 kabupaten/kota pesisir di Indonesia akan terkena banjir pada 2050. Lebih dari 12.000 desa pesisir di Indonesia terancam akibat naiknya permukaan air laut yang mencakup sekitar 118 ribu hektar wilayah pesisir akan terendam air laut.

“Lebih dari 12.000 desa pesisir, dan lebih dari 86 pulau kecil terluar akan tenggelam akibat krisis iklim. Imbasnya, banyak masyarakat pesisir yang akan menjadi pengungsi karena bencana iklim,” jelasnya.

Akibat dari krisis iklim tersebut berdampak terhadap mata pencaharian nelayan. Sepanjang 2010-2019 telah terjadi penurunan jumlah nelayan. Jika pada tahun 2010 tercatat sebanyak 2,16 juta orang nelayan maka pada tahun 2019 jumlahnya tinggal 1,83 juta orang atau sebanyak 330.000 profesi nelayan hilang dalam satu dekade terakhir.

baca juga : Nelayan dan Masyarakat Pesisir Terdampak Perubahan Iklim?

 

Jumlah nelayan terus mengalami penurunan sepanjang 2010-2019. Jika pada tahun 2010 tercatat sebanyak 2,16 juta orang nelayan maka pada tahun 2019, jumlahnya tinggal 1,83 juta orang atau sebanyak 330.000 profesi nelayan hilang dalam satu dekade terakhir. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Nirwan Dessibali, Direktur Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia menyoroti hasil studi Climate Central bertajuk “365 Days on a Warming Planet” yang dirilis di Princeton, AS, pada 28 Oktober 2022 lalu.

Laporan ini merinci tren dan peringkat global berdasarkan peristiwa suhu penting pada 2021-2022, menggunakan alat berbasis peta visualisasi skor Indeks Pergeseran Iklim (Climate Shift Index) harian untuk 1.021 kota di seluruh dunia.

“Ini kabar yang memprihatinkan bahwa dalam laporan tersebut Kota Makassar menjadi kota dengan pergeseran iklim tertinggi di Indonesia dalam setahun terakhir, yang bahkan masuk 14 besar di dunia dengan jumlah 279 hari pergeseran iklim. Indeks pergeseran iklim harian di Kota Makassar tercatat sebesar 3,8, yang berarti anomali suhu pada hari tersebut setidaknya tiga kali lebih mungkin terjadi karena dampak perubahan iklim yang disebabkan manusia. Ini harus mendapat perhatian yang serius,” katanya.

Achmad Rusdi Rasjid, Yayasan Pakativa Maluku Utara, mengatakan sejauh ini sebagian besar porsi pengurangan emisi dalam Nationally Determined Contributions (NDC) dikaitkan dengan hutan yang memiliki fungsi menyerap karbon di udara, potensi emitan lain yang mampu menyerap karbon setara atau bahkan lebih besar dari hutan daratan belum menjadi perhatian serius.

Ekosistem pesisir diidentifikasi mampu mengurangi emisi gas rumah kaca, meliputi hutan mangrove, rawa payau, dan padang lamun, menjadi faktor penting yang diidentifikasi sebagai upaya mitigasi perubahan iklim. Karena itu perencanaan pembangunan rendah karbon di daerah mesti selaras dengan perspektif kewilayahan yang integratif darat dan laut.

Selain ancaman krisis iklim secara langsung di wilayah kepulauan, industri ekstraktif justru menambah parah kondisi kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil.

Keberadaan industri pertambangan di wilayah pesisir dan laut juga mengancam biodiversitas, berpotensi menghancurkan terumbu karang dan menghilangkan ikan-ikan karang dan spesies lainnya. Kondisi ini akan mendorong kerentanan sosial dan ekonomi masyarakat lokal, khususnya nelayan tradisional.

“Saat ini terdapat 112 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan total luasan konsesi 662.403,08 Ha. Selain itu terdapat pula perkebunan monokultur, yakni perkebunan sawit. Degradasi hutan yang masif dalam sektor ini berlokasi di wilayah Gane Halmahera Selatan dengan luasan konsesi 11.003,09 Ha,” jelas Achmad.

baca juga : Perubahan Iklim Nyata Dirasakan Nelayan dan Masyarakat Pesisir

 

Selain ancaman krisis iklim secara langsung di wilayah kepulauan, industri ekstraktif justru menambah parah kondisi kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Heribertus Se, dari Yayasan Tananua Flores, Nusa Tenggara Timur, menyampaikan bahwa pemerintah harus memperkuat ketahanan masyarakat pesisir dan pulau kecil, melindungi kearifan lokal dalam pengelolaan ruang laut, serta melakukan konservasi, penguatan kelompok ekonomi berbasis komunitas di pesisir dan pulau kecil.

“Harus ada regulasi dan rencana aksi yang melindungi dan memperkuat daya lenting masyarakat pesisir dan pulau kecil. Pemerintah wajib melindungi sumber pangan dari pesisir dan laut sebagaimana menjamin perlindungan sumber pangan di wilayah daratan.”

Jaring Nusa kemudian menyerukan sejumlah tuntutan. Pertama, mendesak pemerintah untuk mengevaluasi dan menghentikan seluruh proyek industri ekstraktif di wilayah pesisir dan pulau kecil di kawasan timur Indonesia.

“Pemerintah juga harus menjamin pengakuan dan perlindungan wilayah kelola rakyat di wilayah pesisir pulau kecil serta segera menyusun skema penyelamatan desa-desa pesisir di kawasan tersebut dari ancaman dan dampak krisis iklim,” ungkap Asmar.

Kedua, menyerukan kepada pimpinan dan delegasi negara-negara anggota G20 untuk tidak menjadikan wilayah pesisir dan pulau kecil Indonesia sebagai objek investasi industri ekstraktif karena akan mempertinggi kerentanan wilayah kepulauan serta meningkatkan risiko bencana iklim bagi masyarakat.

Ketiga, menyerukan kepada para pimpinan dan delegasi negara anggota G20 untuk mengutamakan menyusun agenda dan kerangka kebijakan untuk menjamin keselamatan masyarakat dari ancaman dan dampak krisis iklim.

 

Exit mobile version