Mongabay.co.id

Mencari Pahlawan Nasional Lingkungan Hidup

Pulau Gelasa yang begitu indah dan kaya biota laut.

 

Setiap 10 November kita peringati sebagai Hari Pahlawan.

Pada momen ini, digelar berbagai kegiatan yang menunjukkan negara ini dibangun dari kerja keras, semangat, hingga nyawa para pahlawan. Mereka dikenang akan jasa besarnya bagi bangsa dan negara, melawan penjajah.

Kini, tantangan yang kita hadapi berbeda, seiring perkembangan zaman. Satu hal yang selama ini belum terangkat dan belum dijadikan sebagai pertimbangan adalah jasa pejuang lingkungan hidup. Sisi ini belum terbahas dengan baik, dikarenakan makna pahlawan identik dengan perjuangan melawan kolonialisme dari berbagai sektor.

Selama ini, penghargaan terhadap para pejuang lingkungan hidup adalah Kalpataru. Sejak dimulai 1980, sekitar 388 orang ataupun lembaga meraih penghargaan ini.

Level internasional, penghargaan sekelas Nobel Prize telah memasukkan sisi lingkungan hidup. Ada juga Goldman Environmental Prize, penghargaan paling bergengsi bagi pejuang lingkungan hidup di level akar rumput. Beberapa tokoh lingkungan di Indonesia pernah mendapatkan apresiasi dalam ajang bergengsi ini.

Seperti saja Prigi Arisandi, ahli biologi yang melakukan pembersihan sungai di Surabaya. Loir Botor Dingit, pejuang lingkungan dari Dayak Bentian. Yuyun Ismawati, penggerak lingkungan perkotaan di Bali. Mama Aleta Baun, pejuang penentang tambang marmer di NTT. Rudi Putra, yang konsisten menjaga hutan Leuser dan perlindungan badak sumatera.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] pada 2021, memberikan penghargaan terhadap 12 tokoh yang konsisten memperjuangkan lingkungan hidup.

Tercatat ada nama Emmy Hafild, MS Zulkarnaen, Chairil Syah, Hapsoro, Den Upa Rombelayuk, Kus Saritano, Agung Nugraha, Dedi Mawardi, Maman Suparman, Linawati Harjito, R. Noto Sukoco, dan Yahya Bahram [Mongabay, 20/08/21].

Selain nama-nama tersebut, tentu banyak lagi sosok yang jarang terbaca publik tapi memiliki peran nyata di tingkat akar rumput.

Baca: Tamaknya Manusia Kuasai Sumber Daya Alam

 

Pohon ara terbesar yang terdapat di kawasan hutan Bukit Penyabung, Desa Pelangas, Kabupaten Bangka Barat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Berhadapan langsung

Pegiat lingkungan hidup umumnya berhadapan langsung dengan berbagai persoalan riil di masyarakat. Hal ini wajar, karena isu lingkungan beririsan dengan tata kelola dan berbagai kebijakan di Indonesia, mulai pertanian, perkebunan, perikanan, pertambangan, politik, dan tentu saja ekonomi.

Isu lingkungan pun terhubung langsung dengan industri yang cenderung berorientasi kapitalisme. Dalam beberapa sisi, persoalan ini berkaitan dengan persoalan di level internasional.

Berbicara soal perkebunan sawit misalnya, akan berkaitan dengan kiprah perusahaan multinasional yang memiliki jejaring begitu kuat. Soal pertambangan, akan berhubungan dengan kepentingan negara-negara lain dan tentu saja menjadi sebuah masalah global.

Oleh karena itu, sosok-sosok yang dikenal sebagai pejuang lingkungan hidup, adalah mereka yang kerap “berseberangan” dengan kekuasaan dan pemilik modal. Taruhan keselamatan jiwa adalah kondisi lazim yang harus dihadapi.

Jika dikaji lebih jauh, persoalan yang dihadapi bangsa ini dan juga negara-negara lain secara global, dalam beberapa tahun terakhir adalah masalah lingkungan. Perubahan iklim, pemanasan global, krisis energi, adalah isu-isu yang nyata dan ada di hadapan kita sekarang.

Krisis yang terjadi di Eropa dan Amerika sekarang, menunjukkan bukti bahwa soal lingkungan hidup tak bisa dianggap remeh. G20 yang dilangsungkan di Bali, juga mengusung tema ini sebagai bahasan utama.

Baca: Manusia dan Bayang-bayang Kepunahan Massal Keenam

 

Hutan Leuser yang begitu mengagumkan, tiada duanya di dunia ini, sebagai habitatnya orangutan, gajah, badak, dan harimau sumatera. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Untuk peringatan Hari Pahlawan selanjutnya, diharapkan negara memberikan perhatian penuh kepada para pejuang lingkungan hidup.

UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan, menyebutkan bahwa Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang gugur atau meninggal dunia, demi membela bangsa dan negara.

Atau, yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa, bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.

Batasan undang-undang tersebut, seharusnya bisa diterjemahkan menjadi lebih luas, termasuk perjuangan lingkungan hidup. Penjajahan yang dimaksudkan juga, harusnya tidak semata-mata dipahami sebagai perjuangan fisik seperti melawan penjajah zaman dulu.

Perjuangan melawan sindikat korporasi yang merusak keutuhan lingkungan, ataupun perjuangan melawan kebijakan yang jelas-jelas merusak nilai-nilai lingkungan hidup, patut dipertimbangkan masuk wilayah ini.

Baca juga: Menelisik Ancaman Transisi Energi di Indonesia

 

Pulau Gelasa di Provinsi Bangka Belitung, yang begitu indah dan kaya biota laut. Foto: [Drone] M. Rizqi Rama/Mongabay Indonesia

 

Pertanyaan besarnya adalah, apakah negara [dalam hal ini otoritas ada pada pemerintah], dengan jiwa ksatria bersedia menghargai jasa-jasa pejuang lingkungan? Kendati, mungkin semasa hidupnya justru pemikirannya berlawan?

Disinilah kita harus sadar bahwa pejuang lingkungan hidup memiliki andil besar pada bangsa dan masyarakat. Sebagai Pahlawan Nasional, yang harus kita banggakan dan kita jadikan inspirasi bersama.

 

*Dr. Yenrizal, M.Si [Akademisi Komunikasi Lingkungan FISIP, UIN Raden Fatah Palembang]. Tulisan ini opini penulis.

 

Exit mobile version