Mongabay.co.id

Pindang, Jejak Akulturasi Budaya Masyarakat Sumatera Selatan

 

 

Pindang merupakan masakan khas masyarakat Sumatera Selatan. Pindang adalah masakan berkuah dengan bahan utama ikan air tawar, yang diberi rempah-rempah atau bumbu. Masakan ini manandakan hubungan harmonis antar-komunitas manusia, juga dengan alam.

Jika bentang alam rusak, apakah masyarakat Sumatera Selatan hanya kehilangan masakan pindang?

Beranjak dari pertanyaan tersebut, Teater Potlot yang didukung Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi melalui Fasilitasi Bidang Kebudayaan [FBK] 2022 menggelar Seminar Pindang Batanghari Sembilan dan pertunjukan teater Dapur Ibu dan Anak-Anaknya, pada 6-7 November 2022, di Taman Budaya Sriwijaya, Jakabaring, Palembang.

Dalam seminar yang menghadirkan Dr. Amilda Sani, Dr. Yenrizal Tarmizi, Dr. Najib Asmani, Yudhy Syarofie dan Afrizal Malna, dilakukan berbagai kajian terhadap masakan pindang.

Amilda Sani, dari Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah Palembang, dalam seminar dengan makalah “Pindang Representasi Sejarah Akulturasi Budaya Masyarakat Sumatera Selatan”,  menjelaskan salah satu jejak kuliner yang menggambarkan bagaimana interaksi kebudayaan masyarakat Sumarera Selatan dengan kebudayaan dibawa para pedagang dan pendatang adalah pindang.

Masakan pindang hadir sebagai bagian dari menu keseharian keluarga di Sumatera Selatan, dibuktikan dengan banyaknya variasi yang menyesuaikan kondisi lingkungan masyarakat. Misalnya, masyarakat Meranjat mengenal pindang meranjat yang menggunakan terasi dan nanas sebagai rampainya untuk memberikan rasa segar pada kuah pindang.

“Pindang selapan, memiliki rasa khas karena penggunaan terasi yang lebih kuat dibandingkan pindang Meranjat. Orang Sekayu memiliki pindang sekayu yang menggunak congkediro untuk memberikan rasa asam pada kuahnya,” terangnya, Minggu [06/11/2022].

Dijelaskan Amilda, pindang adalah teknik memasak dengan cara merebus, yang tidak menggunakan santan atau berkuah bening. Ikan air tawar yang digunakan umumnya  baung, toman, lais, gabus, tebakang, dan terkadang ikat salai dan telur ikan.

Baca: Sungai, Pindang Ikan, dan Akulturasi

 

Pertunjukan Dapur Ibu dan Anak-Anaknya oleh Teater Potlot mengisahkan tentang dapur yang kehilangan masakan pindang. Foto: Humaidy Kenedy

 

Akulturasi

Bumbu-bumbu yang digunakan dalam masakan pindang merupakan bagian dari gambaran hubungan antara   budaya masyarakat Sumatera Selatan dengan semua budaya para pendatang.

Secara umum bumbu pindang terdiri cabai, bawang merah, bawang putih, kunyit, lengkuas, dan jahe. Semua  bumbu utama ini merupakan jenis yang umum digunakan dalam kuliner masyarakat di Indonesia. Jika merujuk asal, tanaman tersebut bersumber dari negara-negara yang memiliki hubungan dagang dengan masyarakat Sumatera Selatan.

Misalnya cabai [Capsicum] yang dibawa orang Portugis, kunyit [Curcuma domestica] dibawa orang India, jahe [Zingiber officinale] dibawa orang Tionghoa, lengkuas [Alpinia galanga] dibawa orang India, Arab, Tionghoa.

Berikutnya, bawang putih [Allium sativum L.] dibawa orang Tionghoa dan Arab, bawang merah [Allium cepa L] dibawa orang India, nanas [Ananas comosus] dibawa orang Portugis dan Spanyol,  daun kemangi [Ocimum sanctum] dibawa orang India, batang serai [Cymbopogon citratus DC] dibawa orang Srilangka, dan terasi dibawa orang Cirebon, yang berpadu dengan bahan lokal yakni daun salam [Syzygium polyanthum] dan ikan air tawar.

Sebagian besar jenis bumbu yang digunakan dalam masakan pindang, di masa lalu merupakan komoditas perdagangan di Nusantara.

“Titi Pudjiastuti, seorang sejarawan dari Universitas Indonesia, mengungkapkan bahwa keberadaan kunyit telah banyak disebut dalam naskah kuno yang ditemukan di Jawa  dan Bali seperti dalam serat Centini, Rajah Jampi Jawi, dan kitab Pribon. Disebutkan, kunyit dikenal masyarakat Jawa dan Bali sebagai rempah untuk pengobatan. Berdasarkan catatan sejarah tersebut dapat diasumsikan bahwa pada pedagang dan pendatang dari India membawa dan memperkenalkan kunyit dalam budaya masyarakat di Nusantara termasuk di wilayah Sumatera Selatan,” kata Amilda.

Selain kunyit, para  pedagang India dan Arab juga membawa tanaman bawang merah dan lengkuas yang kemudian dijadikan bumbu utama dalam pengolahan pindang. Selain India dan Arab, semangkuk pindang pun merepresentasikan hadirnya pengaruh Tionghoa dengan digunakannya bawang putih dan jahe.

Baca: Ikan Gabus yang Terusir dari Rawa dan Sungai

 

Kerusakan bentang alam, khususnya lahan basah, bukan hanya mengancam masakan pindang, juga kebudayaan masyarakat Sumatera Selatan. Foto: Humaidy Kenedy

 

Merakyat dan ramah lingkungan

Yenrizal Tarmizi, dari Fisip UIN Raden Fatah Palembang, dengan makalah “Pindang, Menjaga Lingkungan melalui Kuliner” menyebutkan masakan pindang lebih mewakili Sumatera Selatan, dibandingkan pempek.

“Pempek hanya dikenal di Palembang atau sering disebut pempek Palembang. Berbeda dengan pindang yang jenisnya tersebar hampir di semua daerah, sehingga dikenal beragam nama, seperti pindang Sekayu, pindang Pegagan, pindang Musi, pindang Pagar Alam, pindang Meranjat, dan lainnya. Penyebutan nama pindang ini merujuk daerah asal,” katanya.

Selain dikenal luas masyarakat Sumatera Selatan, masakan pindang juga dapat dikonsumsi semua lapisan masyarakat. Selain itu, hampir semua masyarakat dapat membuatnya.

“Sejak awal hingga sekarang, pindang tidak mengenal strata sosial. Pindang bukan hanya makanan sultan, raja, atau pejabat pemerintahan. Pindang adalah masakan rakyat yang bisa dan boleh dikonsumsi siapa pun,” katanya.

Selain itu, jelas Yenrizal, pindang adalah kuliner ramah lingkungan. Sebab, bahan baku utamanya ikan dan rempah, yang didapatkan dari alam. Artinya, masyarakat harus menjaga lingkungan guna mempertahankan masakan pindang. “Masyarakat sadar jika merusak alam, khususnya sungai dan kebun, mereka akan kehilangan bahan baku masakan pindang,” ujarnya.

Tapi, pada saat ini masakan pindang tidak lagi beragam, terutama jenis ikannya. Hal ini tentu saja sejalan dengan rusaknya bentang alam, khususnya sungai dan rawa gambut, sehingga sejumlah jenis ikan sulit didapatkan lagi. Misalnya baung, toman, lais, tembangkang, serta patin sungai [bukan tambak].

“Mempertahankan keberagaman masakan pindang merupakan upaya yang baik untuk menjaga sungai dan rawa gambut,” ujarnya.

Baca: Kisah Sungai di Sumatera, dari Kejayaan Menuju Kerusakan

 

Masakan pindang merupakan jejak akulturasi budaya di Sumatera Selatan. Foto: Humaidy Kenedy

 

Selamatkan rawa gambut

Najib Asmani dari Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya dalam makalah “Pindang Upaya Mitigasi Bencana Lanskap Lahan Basah” menjelaskan masakan pindang dapat digunakan untuk mencegah kerusakan atau mengembalikan kelestarian sungai dan rawa gambut.

“Harus dikampanyekan jika lahan basah di Sumatera Selatan rusak, maka masakan pindang akan terancam punah,” katanya.

Agar lahan basah di Sumatera Selatan terus terjaga atau lestarikan, ada hal yang harus dilakukan.

Pertama, mengoptimalkan jalannya berbagai program penyelamatan rawa dan sungai yang selama ini dicanangkan pemerintah. Misalnya, program pencegahan kebakaran dan pembalakan liar di kawasan rawa gambut dan program kali [sungai] bersih.

Kedua, lahirkan peraturan daerah tentang penyelamatan satwa endemik rawa dan sungai.

Ketiga, setiap rumah makan pindang wajib mengkampanyekan penyelamatan sungai dan rawa.

Keempat, setiap sekolah dasar wajib memasukan muatan lokal tentang kepedulian pada sungai, rawa, dan hutan.

Baca juga: Tanpa Minyak Sawit, Kita Terus Masak dan Mandi

 

kan tapah seberat 2 ons yang dibesarkan nelayan di Desa Danau Cala, Kabupaten Muba, Sumsel, menggunakan keramba. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Metode seni pertunjukan

Afrizal Malna, penyair dan pegiat budaya, menilai masakan pindang yang menunjukan keberagaman selera dan rupa, bukan hanya dapat dijadikan ide cerita dalam pertunjukan teater. “Tapi juga metode dalam menggarap sebuah karya teater,” katanya.

Afrizal menjelaskan filosopi dari ikan dan bumbu dalam kuliner pindang, memiliki banyak bagian dalam sebuah pementasan seni, yang dapat menyatukan rasa dan rupa.

Sebagai informasi, di Sumatera Selatan selain beragam jenis masakan pindang, juga terdapat sejumlah jenis ikan di Sungai Musi dan pesisir timur provinsi yang luasnya sekitar 9,1 juta hektar. Sekarang, terdata 233 jenis ikan.

Selain di Sungai Musi, ratusan jenis ikan itu hidup di ratusan sungai, termasuk pada delapan sungai besar lainnya, seperti Sungai Komering, Sungai Ogan, Sungai Lematang, Sungai Rawas, Sungai Lakitan, Sungai Rupit, Sungai Kelingi dan Sungai Batanghari Leko.

 

Exit mobile version