Mongabay.co.id

Tak Tergiur Sawit, Mereka Bertahan dengan Pertanian Campur [2]

 

 

 

 

Kusmiatun, warga di Kecamatan Babulu, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur, menanam tanaman beragam dari padi, sayur mayur, buah dan tambah ikan. Dia berupaya membagi waktu maupun peran ke sawah dan kebun yang lain. Kusmiatun juga jualan sayur keliling di sekitar Kecamatan Babulu.

“Bagi waktu kita kalau mau berhasil,” kata perempuan tiga anak ini tersenyum.

Sejak anaknya masih kecil dia berupaya membeli tanah di sekitar desa. Perempuan transmigran asal Jawa Timur ini selain padi, juga tanam buah, ada jeruk sekitar 360 pohon dalam satu hektar.

Di lahan sawah yang berbentuk keliling huruf O, mereka menanam pisang terus di samping ada kolam ikan nila, seling dan kolam ikan gurame. “Nanam cabe juga atasnya di dekat kolam ikan,” katanya, seraya bilang, gurame baru panen.

Kusmiatun juga punya tanaman sawit, tetapi tidak di desanya, dekat Tanah Grogot, seluas dua hektar dikelola keluarga. Dia tak berniat mengalih fungsi sawah. Lahan sawahmya ini sudah berkeliling sawit.

“Sebelah-sebelah sawit, saya tanami jeruk dan pisang.”

Tanaman buah dan kolam ikan, katanya, satu cara menghalau serangga masuk ke sawah.

Begitu pula Nasrudin, transmigran dari Nusa Tenggara Barat (NTB). Pada 1986, bersama saudaranya, dia berangkat dari Lombok Timur, ke Sebakung Jaya. Ketika itu, dia baru 18 tahun. Sehari-hari dia bertani sawah. Dalam perjalan hidup, dia kesulitan dalam biaya pengelolaan pertanian.

Beberapa tahun silam,  terpaksa menjual pekarangan rumah demi beli sawah. “Satu hektar saya beli di Sebakung Tiga,” katanya.

 

Baca juga: Kala Desa Penyangga Pangan IKN Nusantara Berangsur jadi Kebun Sawit 1

Petani perempuan Sebakung sedang merapikan gabah hasil panennya. Foto: Andallah Naem/ Mongabay Indonesia

 

Satu hektar sawah, katanya, tak memadai. Nasrudin ingin menggarap sawah tepat di belakang rumah seluas satu hektar, dengan sistem sewa.

Beberapa hari lalu Nasrudin sudah membicarakan dengan Wasimin, sang pemilik sawah, tetapi waktu itu belum ada keputusan.

Wasimin, guru SD punya lebih 10 hektar sawah. Dia tak mengerjakan langsung tetapi dikelola orang lain.

“Disewakan Rp4 juta per tahun setiap hektar,” katanya.

Nasrudin pun sewa lahan sawah dari Wasimin. “Saya akan mengelola, nanti panen baru bayar.”

Nasruddin bersama keluarga tinggal di bangunan bekas SD untuk putra putri transmigran pada 1980-an. Dinding dedung dari kayu itu mulai lapuk. Cat bangunan tak berbekas lagi. Di dinding triplek itu tergantung kalender berlambang Nahdatul Wathan (NW), sebuah organisasi keagamaan terbesar di Lombok, daerah asal Nasrudin. Delapan karung berisi gabah bertumpuk di ruangan dekat pintu.

Pagi itu, Nasrudin menerima tamu yang juga keluarga. Namanya Nurhadi. Dia guru mengaji di Sebakung. Mereka duduk di ruang tengah dan berbincang tentang mengubah pola pikir dengan mengembangkan ekonomi tak hanya padi, misal, juga tanaman palawija.

Menurut hitungan mereka, meskipun biaya menggarap padi makin tinggi tetapi sulit ditinggalkan karena beras pembawa harapan.

Nasrudin merasakan, bertani kini enak dilihat tetapi tak enak dirasa. Mengapa begitu? Saat memandang hasil padi, katanya, hati akan lebih tenang meskipun perjuangan makin berat, termasuk kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) hingga mengerek harga barang naik.

Nurhadi menyayangkan tak maksimal di sawah pada masa muda. Pada awal ketika sawah mulai berjalan, pria 60 tahun ini justru tak menghiraukannya. Dia banyak keliling di pesisir. Dia ke Samarinda, Grogot dan Kalimantan Selatan, jadi buruh tambak.

“Enak cari uang, lupa kelola sawah sendiri.”

Seandainya tenaga masih kuat menggali tanah membuat tanggul mungkin akan berbeda kondisi hidupnya. “Ndak kayak gini kita.”

Menjelang siang, Sri Wahyuni, istri Nasrudin, beranjak dari dalam rumah. Dia menyiapkan semprotan untuk memupuk tanaman cabai yang berjarak sekitar 500 meter dari tempat tinggalnya.

Sri mengayuh sepeda menuju sawah yang sebagian ditanami cabai. Sepanjang jalan terlihat hamparan sawah baru saja panen beberapa hari lalu.

Di lahan kelola Sri disebut lahan R milik negara. Di lahan itu, dia juga menanam sayur mayur seperti sawi, terung dan kacang panjang.

“Daripada (tanah) nganggur.” kata Sri.

 

Nasrudin bersama Istri Sri Wahyuni . Selain Menggarap lahan sawah mereka juga menanam lombok. Foto: Abdallah Naem/Mongabay Indonesia.

 

***

Wasimin dan Nurhadi adalah generasi awal yang datang sebagai warga transmigran. Rombongan Wasimin berasal dari Ciamis Jawa Barat. Wasimin tiba di Sebakung pada September 1986. Disusul kelompok Nurhadi dari Lombok Timur Nusa Tenggara Barat sebulan kemudian. Mereka dibekali lahan seluas dua hektar. Yakni lahan pekarangan dan lahan untuk bercocok tanam.

Di Sebakung Jaya mereka diberi tugas untuk memelopori pembangunan sawah. Wasimin bilang, saat pertama datang mereka mendapati lahan dengan rumput tinggi dan hutan belukar. Untuk menyambung hidup mereka diberi sokongan pemerintah berupa jaminan beras.

“Dapat bantuan beras pemerintah selama setengah tahun,” katanya.

Setelah itu banjir melanda, pemerintah memperpanjang subsidi beras selama setengah tahun lagi.

Merintis sawah adalah perjuangan tak kenal lelah. Warga sepanjang tahun bekerja dengan sistem bergilir. “Gotong royong sama teman. Kalau sendiri kurang semangat juga,” ujar Wasimin.

Menurut mereka, merintis sawah di Sebakung perlu waktu 5-10 tahun hingga berjalan normal.

Saat sawah mulai produksi tantangan lain datang. Pada 1992, kemarau menerpa. Sawah mengering. Tanah terbakar. “Di situlah patok patok batas hilang terbakar,” kisah Nurhadi.

Usai terbakar, warga tak lagi menanam seperti biasa. Mereka langsung menghambur benih. Tanah otomatis seperti kena pupuk.

Pada saat bulir padi mulai berisi, banjir datang menerjang. “Banyak yang tidak ambil padinya,” kata Nurhadi.

Setelah itu, panas dan tak lama setelah itu banjir kembali. Bendungan Gunung Intan jebol lagi yang menyebabkan lahan persawahan mereka tenggelam. “Di sini kayak lautan.”

“Bendungan ini kecil aja. Alirannya ke Desa Babulu, tidak mau mengalur ke sini (Sebakung),” kata Wasimin.

Warga di Sebakung berharap, bendungan irigasi yang akan dibangun di Muara Talake mengalir ke desa mereka.

“Rencananya pemerintah mau bangun irigasi tetapi tidak tau kapan,” kata Nurhadi.

Talake, tak jauh dari perbatasan PPU di bagian selatan.

 

Perpaduan padi, lombok dan Kolam Ikan. Foto: Abdallah Naem/Mongabay Indonesia.

 

Di Desa Sebakung, sistem persawahan masih model tadah hujan. Biasa mereka menanam dua kali setahun. Mereka punya sistem pintu air di hilir. Kalau mulai musim tanam, tinggal tutup pintu air agar lahan berair.

Tono, ketua kelompok tani bilang, periode tanam 2009 ke bawah hasil panen baik. Saat itu, dia masih dapat 108 karung gabah. Pada 2009-2014 pendapatan petani masih lumayan. Sejak delapan tahun terakhir, hasil panen terus merosot.

Selain hama seperti tikus dan walang sangit, katanya, lahan persawahan juga terus berair. “Tidak pernah kering.”

Kondisi parah berlangsung empat tahun terakhir. “Hujan terus. Susah keluarnya. Kalau sudah penuh ya mau diapa lagi,” katanya.

Apalagi, katanya, kalau air laut dari atas maka air akan tertahan alias tak bisa keluar.

Pada musim tanam kemarin, katanya, baru semai padi beberapa hari, tumbuh sekitar tujuh cm terendam air selama satu minggu.

“Tenggelam sampai pematang penuh air. Semua habis. Mungkin itu (penyebab) penyakitnya banyak,” ujar Tono.

Suyono, petani di Babulu yang bertahan dengan sawah dan sayur mayur. Dia mengelola kebun cabai sekitar setengah hektar. Lahan sawah dia buatkan tanggul. Tanggul yang mereka sebut adalah tumpukan tanah bedengan seperti pematang untuk media menanam cabai. Di antara tanggul itu itu ada kolam ikan.

Awal bulan dia panen 83 kg seharga Rp35.000 perkilogram. Cabai sudah berumur empat bulan. Biasa, umur tanaman cabai bisa sampai satu tahun. Setiap tiga hari panen.

“Ini rumah saya dari hasil tanam lombok (cabai),” ujar Suyono tersenyum.

“Kalau sawit saya itu tidak tergiur.”

Menurut dia, sawit ini ada jangka waktunya. Begitu sudah tua, tanam lagi. “Padi ini selamanya.”

Kalau hitungan Suyono, menanam sawit di lahan sawah berarti dua kali mengeluarkan modal. “Bikin tanggul dan bibit,” katanya.

“Sekarang orang orang tergiur sawit.”

Dia senang, di sekitar kediamannya tidak ada yang setuju tanam sawit. “Karena itu lahan padi.”

Di sini, katanya, biasa tanam padi setahun sekali, sekarang setahun dua kali.   “Hitungan sama aja. Biasa dapat 50 (karung), sekarang dapat 25 karung setiap panen. Makanya orang itu mumet pikirannya digoyang sama sawit. Kalau saya tidak,” kata Suyono.

Dia sadar, mengerjakan padi perlu proses panjang, mulai dari angkut gabah, jemur sampai jadi beras perlu mengeluarkan biaya. Belum lagi harga solar naik.

“Beras (harga) tetap. Ongkos naik. Orang tani ya mati.”

Suyono sejak awal juga menanam sayur. Dia memadukan padi dengan tanaman palawija. “Kadang kadang tomat. Lombok kriting. Timun,” katanya.

Menurut dia, cabai juga harga baik. Dia pernah jual cabai Rp85.000 per kg.

Pemerintah PPU berencana jadikan Balulu sebagai lumbung pangan bagi warga Ibukota Negara Nusantara (IKN Nusantara). Warga tak terlalu peduli.

Yang jelas mereka bergulat dengan ketidak pastian cuaca, ancaman pengganggu tanaman pangan dan lonjakan pembiayaan pertanian. Mereka merisaukan kalau lumbung pangan dalam rumah mulai tak terisi.

Sri bersama Nasrudin tetap akan setia menggarap padi di sawah mereka dan lahan sewa yang dipadu tanaman palawija.

Bagi Nasrudin, Nurhadi, dan Sri Wahyuni, menanam padi adalah pembangkit harapan dan penyejuk jiwa.

“Namanya kita petani kalau ada satu karung dua karung beras berdiri di rumah, hati agak dingin,” kata Nurhadi.

 

Lahan-lahan sawah di Kecamatan Babulu, PPU, perlahan-lahan jadi kebun sawit. Centra pangan pun terancam. Foto: Abdalla Naem/ Mongabay Indonesia

 

Dia keluhkan, situasi pengelolaan pertanian di Babulu tak berpihak pada yang lemah. “Siapa yang kuat itulah yang menang,” ujar Nurhadi.

Mulyono, Kepala Dinas Pertanian PPU, mengatakan, soal harga BBM mahal, Dinas Pertanian PPU sudah membahas bersama Pertamina. Perusahaan negara ini, katanya, akan memberikan subsidi khsusus untuk pertanian. “Sudah ada pembahasan skema seperti mengambil ke POM BBM. “

Bicara peralihan tanam dari sawah ke sawit, dia bilang, di level provinsi ada peraturan perlindungan pangan. Mulyono bilang, akan buat aturan turunan di kabupaten. “Masih kita dalami.”

Selain itu, Kabupaten PPU juga merencanakan proyek food estate 1.500 hektar di tiga desa di Babulu, yakni, Desa Gunung Intan, Gunung Mulia, dan Sebakung Jaya. Skema pembiayaan, katanya, akan berasal dari APBD Kaltim dan APBN.

Dia mengusulkan, dalam sebuah pertemuan bahwa sebaiknya pembiayaan APBN 70%, provinsi 20% dan kabupaten 10%.

Besaran pembiayaan food estate ini juga belum ditentukan. Rencana model food estate di PPU, kata Mulyono, tak persis sama dengan yang sudah ada.

Food estate ini berbasis lahan masyarakat melalui kelompok tani. “Skema pengelolaan melalui pembinaan bukan langsung dikuasai. Skema melalui kelompok,” katanya.

Yohana Tiko, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Timur mengingatkan, model food estate dengan skema perusahaan akan membuat petani tak bisa mandiri dan tak bisa menentukan harga.

Lebih baik, katanya, sistem irigasi lahan yang diperbaiki. Juga, katanya, kerjasama antara pemerintah dan petani yang dimaksimalkan. “Bagaimana perawatan pertanian sawah dan kemasannya. Tidak usah pakai food estate.” (Selesai)

 

Suyono dikenal sebagai petani lombok yang berhasil. dia juga tanam pafi dan pelihara ikan di sekitar tanaman lomboknya. Foto: Abdallah Naem/Mongabay Indonesia.

********

Exit mobile version