Mongabay.co.id

Lepas Liar di Solok, Konflik Harimau Manusia Terus Terjadi

 

 

 

 

Putri Singgulung, harimau Sumatera, kembali kepas liar ke habitatnya di satu kawasan konservasi di Sumatera pada 16 November lalu. Lepasliar ini kali kedua setelah harimau betina ini muncul usai lepas liar di hutan Solok, 27 November 2020. Kali ini, harimau yang berumur tiga tahun ini dinilai bisa beradaptasi di habitat baru.

Ardi Andono, Kepala BKSDA Sumbar mengatakan, pelepasliaran harimau sudah sesuai prosedur dengan menerapkan prinsip kehati-hatian agar tak menimbulkan dampak negatif terhadap satwa maupun warga sekitar.

Untuk mencegah harimau keluar kawasan, BKSDA membentuk tim pemodelan spasial ekologi dan pemeriksaan tanah kelayakan lokasi pelepasan. Hal ini, katanya, dilakukan bersama Yayasan Sintas Indonesia dan Departemen Biologi Universitas Andalas. Hasil pemodelan lokasi yang dipilih dinyatakan layak.

”Saat ini, yang perlu adalah pemantauan dan monitoring pascapelepasliaran untuk memastikan Putri aman dan nyaman di rumah barunya,” katanya.

Putri dan saudaranya, Putra Singgulung, dievakuasi karena berkonflik dengan manusia di Nagari Gantuang Ciri, Kecamatan Kubung, Solok, sekitar dua tahun lalu. Usianya waktu itu diperkirakan delapan bulan atau masih anak-anak.

Keduanya kemudian menjalani rehabilitasi di Pusat Rehabilitasi Harimau Dharmasraya (PRHSD) Arsari di Sumbar yang dikelola Yayasan Arsari Djojohadikusumo, sejak Juni 2020. Putri masuk terlebih dahulu pada 13 Juni 2020, disusul Putra 29 Juni 2020.

Pada 27 November 2020, BKSDA Sumbar melepasliarkan Putra-Putri Singgulung di suaka margasatwa di Kabupaten Solok. Menurut Kepala BKSDA Sumbar waktu itu, Erly Sukrismanto, lokasi masih di bentangan Taman Nasional Kerinci Seblat.

Kedua harimau kembali masuk permukiman, bahkan berkeliaran di jalan raya di Nagari Simpang Tanjuang Nan IV, Kecamatan Danau Kembar, Solok. Putri ditangkap di Jorong Rawang Gadang pada 6 Desember, kemudian Putra menyusul ditangkap di Jorong Lurah Ingu sehari kemudian. Mereka kembali menjalani rehabilitasi di PRHSD Arsari.

 

Putri Singgulung dan saudaranya, Putra Singgulung, dievakuasi karena berkonflik dengan manusia di Nagari Gantuang Ciri, Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok, Sumbar sekitar dua tahun lalu. Usianya waktu itu diperkirakan delapan bulan atau masih anak-anak. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Catrini Pratihari Kubontubuh, Direktur Eksekutif Yayasan Arsari Djojohadikusumo, pengelola PRHSD Arsari, bersyukur bisa merehabilitasi Singgulung yang punya historis tidak berhasil dilepasliarkan saat berusia sekitar delapan bulan.

”Akhirnya, sekarang dilepasliarkan setelah dua tahun direhabilitasi dengan proses intensif mendorong sifat liarnya muncul kembali, mampu berburu mangsa hidup, dan menjauhi manusia,” katanya.

Pelepasliaran harimau ini menggunakan helikopter milik Kementerian Pertahanan dan TNI Angkatan Udara. Hal ini perlu diteruskan ke depan mengingat pentingnya lokasi lepas liar yang aman di tengah-tengah hutan dengan akses terbatas terhadap kegiatan manusia.

Terkait Putra, harimau jantan itu masih dalam proses intensif rehabilitasi karena kemajuan tidak sebagus Putri. ”Tapi, kami yakin Putra bisa dilepasliarkan. Hanya menunggu waktu untuk proses kesiapannya,” katanya.

Bambang Hendroyono, Pelaksana tugas Direktur Jenderal (Dirjen) Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan, pemerintah bersama para pihak berupaya mencegah dan menanggulangi konflik antara manusia dan satwa liar.

Saat terjadi konflik, kata Bambang, satwa liar sering menjadi korban hingga perlu kesadaran masyarakat di sekitar habitat harimau. Kalau lokasi permukiman rawan konflik, warga diminta segera melaporkan ke BKSDA agar mendapatkan arahan terkait upaya mitigasi dan penanganan konflik.

”Kami berharap catatan dari proses rehabilitasi dan pelepasliaran Putri yang berbeda dari yang lain akan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan di Indonesia, khusus rehabilitasi harimau.”


Konflik harimau di Agam

Di Solok, lepas liar, di Kabupaten Agam, tepatnya di Baringin, Nagari Sungai Tanang, pada Oktober lalu, dua anjing peliharaan warga diduga kena mangsa harimau. Hal ini diketahui dari auman yang didengar warga.

“Ada dua anjing dimakan sekitar kandang. Sepertinya diseret ke bawah jurang,” kata Yelfi, warga setempat.

Tidak hanya Yelfi, peristiwa ini juga menyebabkan ketakutan di tengah masyarakat, banyak kedai tutup, masyarakat enggan keluar rumah dan memilih berdiam diri.

Ardi mengatakan, harimau yang muncul di Baringin, diduga masih sama dengan di Koto Tinggi, Nagari Koto Tuo, Agam.

Harimau di Koto Tinggi, Nagari Koto Tuo, Agam, pekan lalu juga sempat menghebohkan warga sekitar karena memangsa empat anjing peliharaan.

Ardi bilang, lokasi masih terbilang berdekatan sekitar kaki Gunung Singgalang. “Bersebelahan ya, berdekatan lokasinya, masih harimau sama,” katanya.

Petugas BKSDA, katanya, segera datang ke Baringin. Mereka akan menghalau harimau ke Gunung Singgalang.

“Penghalauan masih sama, dengan bunyi-bunyian menggunakan meriam atau semacamnya,” kata Ardi.

 

Putri Singgulung. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Habitat rusak

Beebah Hariyo T Wibisono, pegiat konservasi harimau, mengatakan, tak ada satupun habitat harimau di Sumbar yang cukup luas untuk mendukung populasi satwa ini hidup dalam ‘rumah’ secara ideal. Konflik manusia dengan harimau pun berpotensi terus terjadi.

Soal harimau makan anjing peliharaan di Baringin Nagari Sungai Tanang, kata Beebah, kawasan ini memang sudah rusak.

“Kondisi hutan sisa di hamparan Malampah hingga ke Agam itu sudah tidak layak lagi untuk harimau, teman-teman di Sumbar itu akan selalu berurusan dengan harimau (konflik),” katanya.

“Dalam situasi seperti itu, pertanyaannya, apakah setiap konflik harus diselesaikan dengan penangkapan dan pemindahan? Perlu memikirkan penanganan jangka panjang dalam menangani konflik ini,” katanya.

Dia bilang, langkah bisa dilakukan BKSDA Sumbar dalam menangani konflik satwa terutama harimau, pertama, mempertahankan luas hutan tersisa.

Kedua, mengurangi semaksimal mungkin tekanan manusia terhadap ekosistem hutan, misal, perburuan satwa mangsa, air sehat, dan segala sesuatu yang dapat menurunkan kualitas ekosistem hutan.

Ketiga, membangun sosial koridor. Yaitu, bekerja dengan masyarakat untuk sedapat mungkin mengalokasikan lahan-lahan kelolaan masyakarat sebagai perluasan daerah jelajah harimau dan konektivitas fisik di antara petak hutan tersisa.

Saat ini, kata Beebah, sedang mendorong untuk penilaian koridor sosial. “Di lapangan melakukan survei di kawasan non hutan, khusus Malampah. Disana kami meneliti apakah harimau menggunakan kawasan itu apa tidak karena cukup sering terjadi perjumpaan,” kata Beebah.

 

Putri Singgulung saat akan lepas liar. Foto: Dok. PR-HSD/

 

Mereka juga ingin melihat faktor penyebab harimau sering keluar. “Harus ada analisis karena tanpa itu akan sulit menangani konflik. Yang terjadi akhirnya bukan preventif tapi reaktif. Jika sudah ada konflik baru reaksi jadi sulit, karena memang informasi-informasi penggunaan ruang oleh harimau masih belum banyak kita ketahui di Sumbar.”

Keempat, membekali masyarakat dengan pengetahuan tentang ekologi dan perilaku harimau terutama agar mereka lebih toleran terhadap kehadiran satwa ini.

“Upaya-upaya ini, ada pada tingkat pemerintah daerah, tidak cukup hanya BKSDA.”

Kelima, memperkuat kembali praktik-praktik kearifan lokal dan budaya masyakarat pinggir hutan terkait dengan kelestarian harimau.

Dia tidak bisa mengklaim, upaya penangkapan dan pemindahan harimau sesuatu yang salah, sebaliknya itu adalah upaya terakhir.

“Penangkapan seharusnya jadi opsi terakhir karena menangkap harimau berkonflik tak akan menyelesaikan masalah,” katanya.

 

Nagari ramah harimau

Menyikapi beberapa peristiwa konflik satwa liar dan tindak pidana terhadap satwa harimau, BKSDA Sumatera Barat bekerjasama dengan Yayasan Sintas Indonesia melakukan pelatihan dan pembentukan Tim Patroli Anak Nagari (Pagari) di Nagari Batang Barus, Solok.

Tim ini, katanya, sebagai upaya mendorong pelibatan aktif masyarakat yang berdomisili di nagari rawan konflik harimau dengan kegiatan penanganan dan deteksi dini.

Ardi berharap, dengan tim ini dapat mencegah potensi konflik dan bisa merespon laporan kejadian cepat dan tepat. Selain itu, mudah-mudahan bisa jadi nagari ramah harimau. Atau setidaknya, dapat mandiri dalam penanganan konflik harimau.

 

Putri Singgulung saat berada di kandang perawatan di Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya [PR-HSD]. Ia menjalani perawatan sebelum dilepasliarkan. Foto: Dok. PR-HSD/

*******

 

Exit mobile version