Mongabay.co.id

Kala Perairan Palu dan Sorong Tercemar Mikroplastik, Siapa Penyumbangnya?

 

 

 

 

 

Perairan sungai sampai laut di berbagai daerah di Indonesia dalam ancaman cemaran mikroplastik seperti terjadi di Kota Palu, Sulawesi Tengah dan Kota Sorong, Papua Barat. Begitu setidaknya hasil dari penelitian Tim Ekspedisi Sungai Nusantara.

Di Kota Palu, tercemar mikroplastik akibat sampah yang hanya dibuang sembarangan. Dari hasil penelitian dari Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) berkolaborasi dengan Komunitas Seangle dan Perkumpulan Telapak, Sulawesi Tengah ditemukan sampah plastik dan air sudah terkontaminasi mikroplastik.

Prigi Arisandi, peneliti tim ESN mengatakan, perairan Teluk Palu tercemar mikroplastik rata-rata 112,6 partikel mikroplastik dalam 100 liter air. Temuan itu berdasarkan hasil uji kualitas air di perairan Teluk Palu pada 12-13 Oktober lalu di tiga lokasi, yaitu; Pantai Patung Kuda, Dupa Indah dan Tanjung Karang Donggala.

“Mikroplastik yang kita temukan itu dari sampah plastik seperti tas kresek, styrofoam, botol plastik, sedotan, alat penangkap ikan, popok dan sampah plastik lain. Karena paparan sinar matahari dan pengaruh fisik pasang surut, sampah plastik rapuh dan terpecah jadi remah-remah kecil,” kata Prigi.

 

 

 

Perairan Teluk Palu juga tercemar klorin, nitrat dan phospat berasal dari limbah cair yang tak terkelola dan langsung dibuang ke sungai.

Klorin, katanya, salah satu senyawa kimia desinfektan yang banyak digunakan untuk mendesinfeksi limbah cair industri.

Adapun, nitrat adalah senyawa yang banyak dihasilkan dari kotoran manusia, limbah industri, atau limbah organik lain seperti hasil samping pupuk pertanian.

Sedang, phospat berasal dari limbah domestik rumah tangga dan industri, termasuk deterjen yang berbahan dasar fosfor.

“Mikroplastik ini termasuk senyawa pengganggu hormon. Jika ditemukan dalam tubuh manusia atau darah manusia akan terjadi gangguan hormone reproduksi, pertumbuhan hormon dan daya tahan tubuh. Salah satunya adalah terjadi menopause dini,” kata Direktur Eksekutif Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) ini.

Sampah di sekitar tanaman mangrove di Teluk Palu. Foto: Tim ESN

 

Mikroplastik di perairan, katanya, bisa mengkontaminasi biota yang juga jadi sumber pangan manusia. Ancaman mikroplastik terhadap seafood di Teluk Palu pernah diungkap jurnal penelitian milik Roni Hermawan, Yeldi S Adel, Renol, Mohamad Syahril, dan Mubin dari Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan Palu. Jurnal berjudul “Kajian Mikroplastik pada Ikan Konsumsi Masyarakat di Teluk Palu, Sulawesi Tengah” terbit Mei 2022 ini memperlihatkan, ada 18 ikan tercemar mikroplastik dari 220 sampel yang jadi obyek pengamatan.

Mikroplastik dalam pencernaan ikan itu semua dari serpihan (fragment) yang merupakan larutan material plastik rapuh. Mikroplastik fragment mendominasi pencernaan ikan.

“Ikan katombo sering dikonsumsi masyarakat karena murah, daging enak, mudah dibersihkan dan setok melimpah di pasaran. Jadi ikan dengan nilai ekonomi tinggi,” tulis mereka.

Penelitian itu juga menyebutkan, ada sekitar 10-20 meter ekosistem karang di sepanjang Teluk Palu, yang jadi rumah biota laut mengalami kerusakan karena gempa dan tsunami 2018.

Hasil tangkapan ikan di Teluk Palu mengalami penurunan kalau dibandingkan sebelum bencana yang menelan 4.340 korban jiwa itu.

 

 

 

Audit merek

Tim ESN berkolaborasi dengan Komunitas Seangle dan Perkumpulan Telapak Sulawesi Tengah juga melakukan brand audit untuk memperoleh informasi tentang merek apa saja yang menjadi sumber mikroplastik di Teluk Palu.

Abizar Ghiffary, Koordinator Komunitas Seangel Kota Palu mengatakan, ada empat lokasi titik brand audit di Pantai Talise, Pantai Dupa Layana Indah, Kawasan Wisata Mangrove Kabonga di Donggala, dan Pantai Tanjung Karang di Donggala.

Dia bilang, sampah-sampah yang menumpuk di empat lokasi itu berupa kemasan makanan minuman, produk personal care dan botol air minum.

“Kami memungut sampah plastik sebanyak 200 spesimen. Yang paling banyak jenis sampah sachet sekitar 72% dari total yang kami pungut,” kata Abizar.

 

Sampah di perairan Kota Sorong. Foto: Tim ESN

 

Brand audit ini dalam rangka pembersihan pantai dan terumbu karang dari sampah plastik. Sejak 2018, kata Ghiffary, sudah rutin bersih-bersih pantai dan terumbu karang dari sampah plastik serta penanaman mangrove maupun transplantasi karang.

Dia bilang, bila sampah plastik mencemari pantai terus-menerus akan berdampak pada mangrove dan terumbu karang. Sampah-sampah plastik akan menjerat dahan-dahan mangrove yang tumbuh. Bahkan, katanya, kalau ada plastik ukuran besar membelit batang mangrove dan arena pengaruh arus, otomatis akan mencabut batang dan akhirnya mati.

“Sampah plastik yang makin banyak juga berdampak pada matinya terumbu karang, karena sampah-sampah plastik seperti sachet, styrofoam dan tas kresek menutupi terumbu karang dan menyebabkan kematian.”

Prigi mengatakan, hasil brand audit di empat lokasi itu, Wings menjadi urutan pertama penyumbang sampah plastik atau sekitar 47%. Produknya seperti so klin, mie sedap, minyak goreng sabrina, krisbee.

Unilever urutan kedua penyumbang sampah plastik sekitar 15% dengan produk seperti rinso, clear, sunsilk, rexona, dan pepsodent. Kemudian Indofood, Mayora, Garudafood, lalu P&G, Nestle, Nabati, Siantar Top, Santos dan lain-lain.

Selain itu, kata Prigi, botol plastik minuman ringan dan air minum dalam kemasan juga banyak, seperti produk dari Mayora (le minerale), Danone (aqua), Coca-cola (fanta, sprite), OT (teh gelas) dan Alam Mega Jaya Palu (deal).

“Seharusnya botol-botol plastik ini bisa di daur ulang dan bisa dicegah masuk ke perairan, dibutuhkan upaya dari pemerintah kota. Warga kota Palu agar berhenti gunakan botol plastik sekali pakai,” katanya.

Dia tekankan, perusahaan-perusahaan juga harus bertanggung jawab terhadap sampah-sampah mereka.

Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor Nomor P.75/2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen mengatur pengurangan sampah oleh produsen dari 2020-2029.

 

Mikroplastik, yang berasal dari plastik, kini sudah memasuki tubuh manusia, baik di darah dan paru-paru.
Foto : 5Gyres, dari Universitas Oregon State

 

Peraturan ini merupakan turunan dari UU Nomor 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah. Dalam peraturan itu, produsen harus benar-benar bertanggungjawab atas produknya, mulai dari perencanaan pengurangan sampah, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan.

Pengurangan timbulan sampah oleh produsen ini melalui penggunaan bahan produk dari material yang terurai, pendaur ulangan sampah, dan pemanfaatan kembali kemasan.

Selain itu, dalam pendaur ulangan sampah, dan pemanfaatan kembali sampah harus diiringi dengan penarikan sampah yang disertai penyediaan fasilitas penampungan.

Tak cukup pada penggunaan material yang tepat, produsen wajib perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan laporan pengurangan sampah. Selain itu, produsen memiliki kewajiban mengedukasi konsumen agar berperan dalam pengurangan sampah.

Pemerintah juga dapat memberikan penghargaan dan publikasi kinerja tidak baik (naming and shaming) kepada produsen.

“Produsen besar seperti Wings, Unilever, Indofood, Mayora dan Garuda Food harus bertanggung jawab atas sampah sachet yang dihasilkan dan terbuang ke sungai. Karena sampah jenis sachet ini tidak dapat didaur ulang dan plastik berlapis-lapis.”

Pada awal November lalu, Tim ESN juga penelitiana perairan di Kota Sorong, Papua Barat.  Mereka berkolaborasi dengan Komunitas Generasi Peduli Sungai Klamono (GPSK) meneliti perairan di Kepala Burung Tanah Papua ini juga sudah terkontaminasi mikroplastik.

Dampak kontaminasi mikroplastik ini, selain mengancam ekosistem perairan dan keanekaragaman hayati laut, juga ancaman serius bagi kesehatan masyarakat Sorong yang kerap mengkonsumsi ikan.

Prigi bilang, bentuk mikroplastik sama dengan plankton hingga ikan menganggap sebagai makanan. Jadi, makin banyak sampah plastik masuk ke laut akan makin besar mikroplastik dan makin besar peluang ikan makan plastik.

Kandungan mikroplastik di perairan Kota Sorong ini, terlihat dalam penelitian air pada empat sungai: Remu, Klawuyuk dan Klawalu (Kota Sorong) dan Klamono (Kabupaten Sorong).

“Hasilnya, mikroplastik rata-rata 148 partikel di sungai-sungai dalam Kota Sorong. Sedangkan pada lokasi kontrol di Sungai Klamono, empat partikel dalam 100 liter air,” kata Prigi.

Prigi bersama Aminuddin Muttaqin, alumni Teknik Lingkungan UPN dan pasca sarjana Biologi Unair meneliti perairan Kota Sorong selama empat hari pada awal November lalu.

Jenis mikroplastik paling dominan adalah fiber (54%) atau benang-benang dari serat tekstil atau bahan benang pakaian berjenis polyester. Kemudian, fragmen pecahan plastik (38%), dan film atau filament (6%) yang umumnya dari plastik bening, tas kresek plastik, plastik wrapping atau pembungkus.

Sekitar 2% jenis granula yang berasal dari microbeads atau mikroplastik butiran dari scrub, pemutih wajah, bahan kosmetik dan bahan odol serta sabun cair.

Dari temuan ini, kata Prigi, menunjukkan, pengelolaan sampah plastik di Kota Sorong, buruk. Tim ESN dan GPSK menemukan banyak sampah plastik jenis sachet, botol plastik dan kemasan di selokan-selokan kota.

Sampah seperti plastik sekali pakai seperti kantong plastik (kresek), sedotan, kemasan sachet, styrofoam, serta botol air minum sekali pakai dan popok banyak di perairan Sorong.

Sampah barang pabrikan itu menumpuk di perairan yang berpotensi merusak ekosistem air dan ancaman kesehatan.

 

Rahmat Fajar, Ketua RT 01 RW 05 Kelurahan Remu Selatan, Distrik Sorong Manoi, Kota Sorong. Foto: Tantowi Djauhari/ Mongabay Indonesia

 

Aksi warga

Problem sampah, katanya, tak melulu soal pelayanan pemerintah daerah. Kesadaran masyarakat dan tata kelola sampah di level bawah, katanya, berperan penting.

Seperti dilakukan Rahmat Fajar, Ketua RT 01 RW 05 Kelurahan Remu Selatan, Distrik Sorong Manoi, Kota Sorong. Setiap pagi dia memberdayakan lima warga untuk mengumpulkan sampah dari rumah-rumah penduduk yang mayoritas bermukim di bantaran Sungai Remu.

Tak kurang dari setengah ton sampah dihimpun dalam kontainer Tempat Penampungan Sementara (TPS) di kompleks, kemudian diangkut ke TPA di Bambu Kuning.

Fajar memberikan sanksi sosial bagi warga yang kedapatan membuang sampah di sungai, seperti tidak melibatkan mereka dalam kegiatan-kegiatan di lingkungan. Atas kesepakatan bersama juga, Fajar mengutip iuran Rp15.000 per keluarga setiap bulan, sebagai uang kebersihan dan membayar honor petugas lingkungan.

“Saya selalu sampaikan ke masyarakat, membuang sampah di sungai salah satu penyebab banjir. Kalau sudah banjir, masyarakat juga yang terdampak dan dirugikan,” kata Fajar.

GPSK dan peneliti ESN melakukan brand audit, dengan mengumpulkan 211 keping sampah dari kemasan produk pabrikan di perairan Sorong. Sedikitkan, lima nama produsen besar dengan kemasan produk mendominasi tumpukan sampah.

“Kami menemukan lima produsen kebutuhan sehari-hari yang sampahnya memenuhi perairan pesisir Kota Sorong. Ada Unilever, Wings, Mayora, Danone dan Nestle. Khusus Unilever, sampah yang ditemukan adalah sachet multilayer yang sulit di daur ulang karena plastik berlapis-lapis,” kata Prigi.

Mereka juga mengajak kelompok masyarakat ikut menjaga lingkungan termasuk perairan agar tak membuang sampah plastik sembarangan. Mereka juga mengingatkan, produsen wajib bertanggung jawab atas sampah-sampah mereka.

Dody Aleman Wamblesa, Koordinator GPSK mengatakan, sampah menumpuk di Sorong ini juga dipicu sarana tempat sampah di pemukiman warga minim. Tak ada sistem layanan penjemputan sampah dan ketersediaan sarana TPS -3R (reduce, reuse, recycle).

“Tidak ada pengelolaan sampah dan penyediaan sarana tempat sampah yang memadahi oleh Pemerintah, sehingga masyarakat membuang sampah ke sungai atau dibakar,” katanya.

 

 

*******

 

 

 

Exit mobile version