Mongabay.co.id

Konsinyering Ombudsman Bahas Tergerusnya Kawasan Hutan di Kepulauan Riau

 

 

 

 

 

Gedung sekolah ini berdiri di antara tumpukan pasir bekas timbunan di Pancur Tanjung Piayu, Kota Batam, Kepulauan Riau. Pembangunannya terbengkalai. Timbunan pasir belum rapi. Batang pohon masih terlibat bertumbangan terkena timbunan pasir.

Belakangan, pembangunan sekolah dipermasalahkan karena dicurigai membabat kawasan hutan lindung dan menimbun kawasan mangrove sekitar.

Dari kejauhan sudah bisa terlihat plang peringatan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, terpasang.

““Dilarang melakukan kegiatan apapun di areal ini.”

“Ini hasil dari laporan kita beberapa waktu lalu, sekarang pembangunan sudah berhenti,” kata Sony, Ketua Akar Bhumi Indonesia.

Sony memperlihatkan, sebagian kawasan yang tertimbun merupakan hutan lindung mangrove dengan tutupan rapat. Pada pintu masuk ke sekolah sudah terpancang plang pemberitahuan kawasan itu hutan lindung.

“Kondisi seperti ini banyak terjadi di Batam, tidak hanya untuk pembangunan gedung sekolah, terjadi juga perusakan hutan lindung untuk perumahan dan industri, kebanyakan menimbun mangrove,” katanya.

Beberapa waktu lalu, tiga direktur perusahaan di Kota Batam dijatuhkan hukuman penjara 4-7 tahun dengan Rp1-Rp6 miliar karena diketahui membangun tanpa izin di hutan lindung.

Tiga perusahaan itu adalah PT Kayla Alam Sentosa (KAS), PT Alif Mulia Jaya Batam (AMJB), dan PT Prima Makmur Batam (PMB).

 

 

 

Hutan hilang

Melihat karut marut pengelolaan dan pengawasan kawasan hutan, Ombudsman Kepri memanggil para pihak yang berurusan tentang kehutanan.

Ombudsman menggelar konsinyering konsepsi sinergi pencegahan dan penegakan hukum atas pelaku perusakan hutan di Kepri, 3 November lalu. Dari konsinyering itu hasilkan bersinergi menjaga hutan ke depan. Setelah penandatanganan komitmen, Ombudsman akan membuat rapat lanjutan membahas peta jalan (roadmap) pencegahan kerusakan hutan di Kepri, sekaligus mengevaluasi secara berkala.

Lagat Parroha Patar Siadari, Kepala Ombudsman Perwakilan Kepri, mengatakan, konsinyering ini atas kekhawatiran Ombudsman melihat kondisi kehutanan di Kepri.

Data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kepri, setidaknya 46% kawasan hutan di Kepri sudah diokupansi.

“Fenomena keterancaman hutan sudah status mengkhawatirkan, pelaku mulai dari masyarakat, perusahaan secara legal dan ilegal, termasuk dilakukan pemerintah,” kata Lagat dalam sambutan membuka konsinyering ini.

Konsinyering ini, katanya, jadi wadah sinergitas antar instansi di Kepri dalam mengatasi masalah kerusakan kawasan hutan. “Yang penting kita samakan persepsi dulu, kemudian nanti kita rancang roadmap dan dievaluasi,” katanya.

Ombudsman, katanya, hanya menjalankan tugas yang tertuang dalam Undang-undang yaitu, pengawasan tugas instansi terkait kehutanan. “Kami bukan mencari pekerjaan, hanya memastikan bapak-ibu menjalankan tugas.”

Berbagai alasan dalam penanganan pencegahan kerusakan kehutanan di Kepri ditemukan Ombudsman mulai dari kekurangan anggaran hingga kekurangan sumber daya manusia.

Lagat juga menyinggung kerusakan hutan karena aktivitas tambang yang terkesan dibiarkan di Kota Batam. Pertambangan ini juga diduga membabat hutan di kota ini.

“Seperti tambang ilegal di Batam sudah ada sejak puluhan tahun lalu, tetapi tidak jelas penegakan hukumnya. Itu dilakukan bukan oleh masyarakat tetapi sudah industri tambang pasir, terus kita diamkan, sampai kapan seperti ini?” katanya.

 

Pembangunan perumahan di Kota Batam, yang menghilangkan hutan. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Dia  berharap, setelah konsinyering secara berkelanjutan aktivitas seperti itu tidak berlanjut, apalagi sampai merusak kawasan hutan.

Bherly Andia, Kabid Tata Kelola Kehutanan dan Pemanfaatan Hasil Hutan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kepri, mengatakan, dari 382.000 hektar kawasan hutan di Kepri, 47% tidak lagi berhutan.

Yang paling rusak, katanya, di Kota Batam, Kabupaten Bintan dan Kabupaten Karimun, karena merupakan free trade zone (FTZ) investasi perusahaan. “Di daerah itu juga terjadi peningkatan penduduk yang signifikan,” katanya.

Data DLHK, kawasan hutan banyak berubah menjadi industri, pertambangan, pertanian lahan kering, perumahan dan lain-lain. Dia berharap, melalui sinergitas yang dibangun Ombudsman ini, bisa menyelesaikan masalah yang ada. “Misalnya tambang pasir ilegal di Nongsa Batam, sudah kita tegur dan lakukan tindakan, tetapi sampai saat ini masih ada, upaya penegakan hukum susah dilakukan,” katanya.

Sampai saat ini, terkait kerusakan hutan lindung di Kepri, mereka akan membuat tata batas, lalu mengeluarkan kawasan hutan lindung yang berdampak penting dan cakupan luas bernilai strategis ini. “Kondisi kehutanan di Kepri akumulasi puluhan tahun lalu.”

Hendrik, pendiri Akar Bhumi Indonesia mengatakan, mereka berusaha melawan pelaku perusakan hutan di Batam. Apalagi, katanya, air baku Batam sangat bergantung kepada kondisi hutan di sekelilingnya. “Melawan perusak hutan itu berat.”

 

 

***

Budi Setiawan, Kepala BPKHTL Wilayah XII Tanjungpinang menyebutkan, empat tipologi kerusakan kawasan hutan yang berdampak kepada luasan hutan di Kepri. Pertama, kawasan FTZ yang beririsan dengan kawasan hutan. “Hal ini banyak terjadi di Batam, karena pengelola FTZ bergigi, dan lebih tua,” katanya.

Terjadi tumpang tindih aturan pemberian izin pemanfaatan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan BP Batam. “Disini perlu peraturan bersama lebih lanjut, jangan sampai membuat bingung, apakah nanti perlu dikeluarkan Permenko yang mengacu kepada kepada KLHK dan BP Batam?” katanya.

Kedua, hak atas tanah yang beririsan dengan kawasan hutan. Misal, ada sertifikat tanah yang notabene berada pada kawasan hutan. Kasus seperti ini, kata Budi, sebenarnya sudah diatur dalam PP 43/2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, atau Hak Atas Tanah.

Untuk itu, perlu pendataan ulang yang terintegrasi dalam bentuk penyusunan peta indikatif tumpang tindih.

Setelah masuk dalam peta, dilakukan adu dokumen siapa lebih dulu menetapi kawasan itu. Kalau dokumen hak atas tanah lebih dulu daripada kawasan hutan, maka kawasan hutan mengalah begitu sebaliknya. “Dari peta ini Kantor Pertanahan bisa mencabut izin, yang tumpang tindih, syaratnya harus masuk peta. Bagaimana menyelesaikan kalau tidak masuk peta?”

Budi mengatakan, sudah beberapa kali melakukan pertemuan dengan Kementerian ATR/BPN, soal tata ruang yang tidak sesuai kawasan hutan di Kepri. “Kalau tata ruang kabupaten kota tidak sesuai dengan kawasan kehutanan, artinya tata ruang kabupaten kota tidak sesuai dengan tata ruang provinsi, karena tata ruang provinsi sudah sesuai dengan kawasan hutan.”

Ketiga, ada kawasan hutan beririsan dengan penguasaan korporasi atau perusahaan tertentu. Persoalan seperti ini, katanya, sudah ada solusi di PP 24.2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif.

BP Batam, katanya, sudah memanfaatkan aturan ini dengan cara melakukan pendaftaran untuk pelepasan kawasan hutan. “Jadi, pelepasan kawasan hutan by name by address, yang mengusulkan pelepasan BP Batam, maka dilepaskan untuk BP.”

Setelah itu, BP Batam mengurus hak pengelolaan lahan (HPL) di Kementerian ATR/BPN. Kemudian HPL terbit atas nama BP Batam. Setelah itu, BP Batam mengeluarkan pengelolaan lahan untuk perusahaan.

Keempat, kawasan hutan beririsan dengan penguasaan non korporasi. Penyelesaian ini terdapat pada PP 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan yaitu menggunakan percepatan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan (PPTKH).

Penguasaan non korporasi di kawasan hutan, katanya, bisa mendaftarkan melalui perorangan, instansi, dan badan sosial/keagamaan untuk pelepasan kawasan hutan. “Solusinya nanti bisa pengadaan tora, pengelolaan perhutanan sosial, perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan,” katanya.

Pengelolaan lahan ini, katanya, hanya bisa untuk permukiman, fasilitas umum atau fasilitas sosial maupun lahan garapan. “Di luar itu tidak bisa, misal, ada pabrik kecil-kecilan menggunakan skema ini, tetap tidak bisa,” katanya.

Budi katakan, pelepasan kawasan hutan bisa untuk perkebunan sawit. Ada keistimewaan untuk izin sawit yaitu menggunakan skema 110 A UU Cipta Kerja. “Kenapa istimewa? Ini saya tidak tahu, 110a ini sudah dijalankan di Riau, rencananya di perusahaan sawit di Bintan juga akan dijalankan,” katanya.

Budi juga berharap instansi dengan bangunan kantor berada di kawasan hutan diminta segera mendaftarkan pelepasan kawasan hutan. Sedangkan hutan konservasi tidak ada pelepasan hanya bisa skema kemitraan. “Selebihnya, bisa dilepaskan, hutan produksi dan hutan lindung, semua bisa.”

Setelah diskusi, peserta konsinyering membaca secara bersama komitmen konsinyering dan setelah itu melakukan penandatanganan komitmen.

 

Bangunan di Kota Batam, yang membabat hutan mangrove. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

*********

 

Exit mobile version