Mongabay.co.id

Suarakan Persoalan Sampah di Lombok Lewat Karya Seni

 

 

 

 

Presiden Soekarno menoleh ke arah kiri dan sedikit mendongak jadi salah satu foto ikonik, selain ketika membaca teks proklamasi. Foto itu banyak menginspirasi orang dalam membuat karya seni, seperti lukisan. Ini juga yang menginspirasi Mantika dan Talita, mahasiswi Desain Komunikasi Visual Universitas Bumigora Mataram.

Mereka membuat foto kolase para Presiden Indonesia. Mulai Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Gusdur, Megawati Soekarno Putri, Soesilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo. Foto-foto ini mereka pajang dalam satu frame memanjang satu meter. Karya mereka ini jadi lebih unik karena terbuat dari daur ulang sampah.

Dari jauh terlihat foto vector itu memainkan berbagai warna. Terlihat seperti sebuah lukisan. Foto jadi istimewa ketika dilihat dari dekat. Warna-warna yang dihasilkan dari sampah plastik, berbagai bungkus makanan ringan, minuman ringan, hingga bungkus makanan kucing.

Plastik tersebut dipotong-potong, kemudian ditempelkan hingga membentuk wajah para presiden.

Kopiah Presiden Soekarno terbentuk dari tempelan bungkus pocari sweet, wajah presiden pertama RI ini tebentuk dari tempelan bungkus mie instan, biskuit. Kopiah presiden keempat, Gusdur terbuat dari tempelen biskuit dan bungkus makanan kucing. Ciri khas Gusdur tertawa lepas juga terlihat dalam foto ini.

“Di rumah pelihara kucing, nah bungkus makanan itu yang kami pakai,’’ kata Tahira, mahasiswi Universitas Bumigora Mataram, perupa yang membuat karya ini, belum lama ini.

 

Perahu dengan jala yang penuh sampah karya kolabirasi Dimas Adiwijaya yang kolaborasi dengan anak-anak muda Lombok menampilkan kondisi laut yang penuh dengan plastik. Bahkan beberapa kali nelayan mendapatkan plastik saat menjaring ikan. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Karya dua mahasiswi jurusan desain komunikasi visual ini jadi perhatian pengunjung. Lukisan mereka dipajang bersama puluhan karya lain dalam pameran di Museum Negeri NTB di Kota Mataram, Oktober lalu.

Dimas Adiwijaya, Art Exhibition Director kegiatan ini, mengatakan, para pengunjung bisa memiliki tafsir bebas terhadap karya Tahira dan Mantika itu. Pengunjung bisa melihat sebagai karya kreatif memanfaatkan sampah, bisa juga sebagai kritik terhadap penanganan sampah di Indonesia. Hingga kini, persoalan sampah tidak pernah tuntas.

Dimas, pendiri Nusantara Mural, terbang jauh dari Jakarta ke Lombok untuk berkarya. Sebelum membangun karyanya yang berjudul “Jala Ikan (Plastik) 50 Tahun” dia berkeliling ke berbagai daerah di Pulau Lombok.

Dia berdiskusi dengan para pegiat lingkungan, mengunjungi bank sampah, dan menikmati keindahan alam Lombok. Hingga muncul ide membangun perahu setinggi empat meter, dengan jaring raksasa yang dipenuhi ikan dan sampah.

Dimas tak kerjakan sendiri perahu itu tetapi berkolaborasi anak-anak muda Lombok. Sebagian besar bukan seniman.

Mereka mengumpulkan sampah plastik di rumah masing-masing lalu sampah dibuat jadi ikan. Sebagian sampah dibiarkan bentuk aslinya, masukkan dalam jaring, bercampur dengan miniatur ikan.

Dimas dan tim yang diberikan nama Lombok Trash Art Project menyuarakan tentang kondisi laut di Lombok.

Cerita nelayan menjaring ikan, tetapi yang terangkat sampah plastik. Kondisi inilah yang ingin ditampilkan Dimas.

“Lombok dengan keindahan pantainya, sebagai tujuan pariwisata juga berjuang melawan sampah platik,’’ katanya.

Pelukis dari Lombok, Lalu Syaukani melukis satu lumba-lumba di atas kanvas. Lumba-lumba itu tersenyum seakan menyapa semua pengunjung. Di dalam lukisan itu Syaukani menuliskan pesan. “Laut bunkalah tempat membuang sampah bro! Ingat mereka di sana dan mereka punya hak untuk hidup.”

Syaukani, pelukis cukup kondang di Lombok sering berpameran di kawasan wisata. Dia juga memiliki banyak pelanggan dari pelaku wisata. Dalam kunjungan dan pameran itu, Syaukani kerap melihat aktivitas pengangkutan sampah. Dia juga sering melihat sampah yang ditumpuk sembarangan.

“Saya berpikir untuk membuat karya-karya yang akan menampilkan sisi lain pariwisata. Ada dampak lingkungan,’’ katanya dalam diskusi yang diselenggarakan sebelum pameran.

Lesh Dewikam menampilkan karya gabungan antara lukisan dan benda tiga dimensi. Dia melukis seorang perempuan yang membuka masker. Di sekitarnya bertebaran masker kotor, dengan bercak berwarna warni.

Karya ini jadi unik karena menggabungkan lukisan yang dicat di atas kanvas dari serat daun nanas. Serat daun nenas ini bikinan UMKM di Lombok, yang digagas anak-anak muda. Masker yang ditampilkan dalam karya berjudul “Triangle Love” ini mengingatkan tentang banyak sampah masker di masa pandemi.

 

Mantika dan Talita berdiri di depan karya mereka yang menampilkan foto para presiden RI yang ditempeli plastik. Semua plastik ini berasal dari sampah yang mereka hasilkan di rumah masing-masing. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Masalah bersama

Pameran yang mengambil tema A Tale of Nature and Trash ini benar-benar memanfaatkan sampah sebagai medianya. Selain itu, setiap karya yang masuk, baik itu karya lukisan, fotografi, seni 3D, patung, mengambil tema sampah.

Martina Susanti, penggagas pameran ini mengatakan, tale yang kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti kisah atau cerita. Kalau dijabarkan jadi sebuah tuturan membentang tentang suatu peristiwa.

Kalau bicara tentang kisah, katanya, akan beragam macam di dalam kehidupan manusia dan atas dasar itulah pameran seni rupa ini.

Martina contohkan wisata gunung. Gunung yang bukan destinasi wisata, katanya, pendaki bisa menikmati keindahan alam tanpa sampah. Namun, di Gunung Rinjani, tumpukan sampah sering viral di media sosial.

Berdasarkan data Balai Taman Nasional Gunung Rinjani, pada 2020 sampah Rinjani periode 2017-2020 mencapai 23,6 ton. Rinciannya, jalur pendakian Aik Berik 47,6 kg (2020), Timbanuh 3,63 kg (2020), Sembalun 592,2 kg (2020), dan Senaru 1,756 ton (2019).

“Tergambar jelas jalur favorit pendakian beriringan dengan banyaknya sampah. Ini masalah besar.”

 

Pengunjung melihat karya seni rupa yang dipamerkan di Museum Negeri NTB. Pameran ini mengambil tema sampah plastik. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

*******

 

Exit mobile version