Mongabay.co.id

Pindang Ikan dalam Khazanah Kuliner Sumatera Selatan

Hadirnya kelompok perempuan peduli Sungai Musi merupakan kabar baik yang harus didukung semua pihak demi kelestarian sungai tersebut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Berada di wilayah yang kaya sumber daya alam dan menjadi pusat perdagangan di Nusantara, memungkinkan Sumatera Selatan menjadi daerah yang banyak disinggahi dan bermukimnya para pedagang.

Kehadiran pada pedagang dari berbagai negara dengan budayanya, pada akhirnya bersentuhan dengan kebudayaan masyarakat Palembang, khususnya sebagai pusat perdagangan dan pelabuhan masa itu.

Hasil pertemuan tradisi pengolahan makanan, yang saat ini masih ditemukan, dan menjadi bagian dari kebudayaan kuliner masyarakat Palembang adalah pindang.

Masakan pindang hadir sebagai bagian menu keseharian keluarga di Sumatera Selatan, dibuktikan dengan banyaknya variasi yang menyesuaikan kondisi lingkungan masyarakat.

Misalnya, masyarakat Meranjat mengenal pindang meranjat yang menggunakan terasi dan nanas sebagai rampainya untuk memberikan rasa segar pada kuah pindang.

Pindang selapan, memiliki rasa yang khas karena penggunaan terasi lebih kuat dibandingkan pindang meranjat. Orang Sekayu memiliki pindang sekayu yang menggunak congkediro [tomat cherry] untuk memberikan rasa asam pada kuah pindang tersebut.

Masyarakat Pagar Alam mengenal pindang serani, bumbu-bumbunya diiris dan menggunakan cungkediro untuk memberikan rasa asam, serta kecap sebagai warna pada kuah. Masyarakat di hulu, pindang dimasak bersama asam tempoyak [buah durian difermentasi] sehingga memberikan aroma dan citra rasa berbeda.

Baca: Pindang, Jejak Akulturasi Budaya Masyarakat Sumatera Selatan

 

Kelompok perempuan peduli Sungai Musi sudah terbentuk di Kecamatan 15 Ulu, Palembang, Sumatera Selatan. Sungai Musi sangat bersejarah bagi masyarakat Sumatera Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pada dasarnya pindang adalah teknik memasak, yaitu memasak dengan cara merebus. Pada umumnya, sebutan pindang merujuk pada makanan yang tidak menggunakan santan atau berkuah bening.

Berbagai variasi pindang ini tetap memuat unsur utama dari pindang Sumatera Selatan yaitu; pertama, menggunakan ikan air tawar [baung, toman, lais , gabus, tebakang], terkadang berbagai jenis ikan air tawar. Selain menggunakan ikan segar, pindang juga dapat berisi ikat salai [asap] serta telur ikan.

Kedua, bumbu dasar yang digunakan adalah standar pada semua varian pindang yaitu cabai, bawang merah dan putih, kunyit, lengkuas, serta jahe. Bumbu-bumbu tersebut merupakan bagian dari gambaran hubungan antara budaya masyarakat Sumatera Selatan dengan semua budaya para pedagang yang hadir di Sumatera Selatan.

Baca: Kisah Cabai, Bumbu Wajib di Dapur Asal Benua Amerika

 

Jahe, cabai dan rempah lainnya sebagai bumbu pindang yang dapat kita temukan di pasar. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Bumbu pindang dan gambaran akulturasi

Secara umum bumbu pindang terdiri dari cabai, bawang merah, bawang putih, kunyit, lengkuas, dan jahe. Semua bumbu utama itu adalah jenis yang umum digunakan dalam kuliner masyarakat Indonesia. Jika merujuk sumber, tanaman tersebut berasal dari negara-negara yang memiliki hubungan dagang dengan masyarakat Palembang.

 

No. Nama Bumbu Pembawa Kegunaan
1. Cabai/Capsicum Portugis Menghadirkan rasa pedas,  sebagai pewarna merah           alami dan mengandung Vitamin C, B6, K1, dan A.
2. Kunyit/Curcuma domestica India Memberi warna, menyamarkan aroma ikan, dan memuat khasiat antibiotik.
3. Jahe/ Zingiber officinale Tionghoa Menyamarkan aroma makanan, dan berkhasiat menghangatkan badan.
4. Lengkuas/Alpinia galanga India, Arab, Tionghoa Memberikan rasa gurih, mengurangi aroma amis pada ikan pada masakan dan memiliki khasiat pengobatan antiinfeksi.
5. Bawang putih/ Allium sativum L. Tionghoa dan Arab Memberi rasa gurih dan berkhasiat pengobatan.
6. Bawang merah/Allium cepa L India Penguat rasa, memberi rasa gurih, memberi warna coklat pada masakan.
7. Daun salam/Syzygium polyanthum Lokal Rempah pengharum makanan dan sebagai obat sakit perut.
8. Nanas/Ananas comosus Portugis/Spanyol Memberikan rasa asam manis yang menyegarkan serta membuat daging ikan menjadi lebih empuk.
9. Daun kemangi/Ocimum sanctum India Memberikan aroma yang khas pada masakan.
10. Batang serai/Cymbopogon citratus DC Cylon/Srilangka Penyedap rasa, memberikan aroma, mengurangi bau amis, dan berkhasiat mengobati sakit kepala.
11. Terasi Jawa/Cirebon Memperkuat aroma dan memberikan aroma gurih yang khas.
12. Ikan lokal Sajian utama  pindang.

 

Diolah dari berbagai sumber.

 

Berdasarkan daftar nama bahan yang digunakan, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar jenis bumbu tersebut sempat menjadi komoditas perdagangan di Nusantara.

Titi Pudjiastuti, sejarawan dari Universitas Indonesia [UI] mengungkapkan bahwa keberadaan kunyit telah banyak disebut dalam naskah kuno yang ditemukan di Jawa dan Bali seperti dalam serat Centini, Rajah Jampi Jawi, dan kitab Pribon. Disebutkan kunyit dikenal masyarakat Jawa dan Bali sebagai rempah untuk pengobatan.

Berdasarkan catatan sejarah tersebut, dapat diasumsikan bahwa pedagang dan pendatang dari India membawa dan memperkenalkan kunyit dalam budaya masyarakat di Nusantara, termasuk di  Palembang.

Dari Palembang, kunyit menyebar ke wilayah hulu, namun belum ditemukan data yang menunjukkan bahwa kunyit menjadi komoditas perdagangan yang penting masa itu. Namun, kunyit memiliki peran penting dalam pengobatan dan kuliner masyarakat di Sumatera, ditandai dengan sebagian besar masakan menggunakan rempah tanah ini. Terutama, yang kental dengan pengaruh India-nya seperti gulai kare dan rendang.

Para pedagang India dan Arab juga membawa tanaman bawang merah dan lengkuas yang kemudian dijadikan bumbu utama dalam pengolahan pindang masyarakat Sumatera Selatan. Semangkuk pindang, merepresentasikan hadirnya pengaruh Tionghoa dengan digunakannya bawang putih dan jahe.

 

Pindang ikan patin, masakan khas masyarakat sekitar rawa gambut dan sungai di Sumatera Selatan. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Masakan adaptif

Dalam buku “Ginger the Genus, Zingiber” dijelaskan bahwa tanaman jahe sudah dibudidayakan oleh masyarakat India dan Tiongkok. Jahe lebih banyak digunakan pada kuliner Tionghoa bersama bawang putih, terutama pada masakan yang ditumis dan berkuah.

Amos, menulis dalam naskah “Ramalan tentang Gempa, Obat, Doa, dan Azimat” menjelaskan bahwa jahe sudah digunakan masyarakat Melayu untuk pengobatan. Begitu pula dengan bawang putih yang memiliki sejarah panjang kegunaanya. Bawang putih pun menjadi bagian penting dalam kuliner Tionghoa, dan diadopsi menjadi bagian yang penting bagi kuliner di Palembang khususnya, dan Sumatera Selatan umumnya.

Cabai adalah jenis rempah yang masuk ke Nusantara melalui kehadiran pedagang Portugis dan Spanyol, sekitar abad ke-15 dan 16. Bangsa Portugis memperkenalkan tanaman ini dan menjadikannya sebagai komoditas perdagangan yang dijual ke Eropa. Sehingga, di beberapa wilayah Nusantara terdapat petani menanam cabai.

Tidak ada data kapan cabai ditanam di Sumatera Selatan, namun Fadly Rahman menjelaskan bahwa pasar-pasar di kota-kota pelabuhan di Nusantara memperdagangkannya seperti di Gezicht op de markt van Bantam [Pemandangan di Pasar Banten] pada 1598.

Perdagangan cabai juga diungkapkan Fadly Rahman bahwa Willem Lodewyckz menulis laporan pada tahun 1596 yang merinci komoditas perdagangan di lapak-lapak yang diperdagangkan di pasar Banten tersebut, salah satunya adalah cabai.

Fadly Rahman juga mengungkapkan, Residen Padang H.J.J.L Ridder de Stuers [1850] melaporkan alasan masyarakat Padang tidak menyukai lada karena dianggap membuat panas di mulut  dan lambung. Sehingga, masyarakat Minang lebih menyukai cabai, menggantikan peran lada, yang menjadi komoditas perdagangan penting di Sumatera, termasuk di Sumatera Selatan.

Selain menyerap pengaruh dari budaya luar, masyarakat Sumatera Selatan juga memadukan bumbu-bumbu dengan teknik memasak tradisional masyarakat di Sumatera yaitu merebus. Sehingga, menghasilkan rasa alami dari ikan yang digunakan dalam pindang tersebut.

Semakin segar ikan yang digunakan maka rasa kuah pindang akan semakin gurih. Masakan pindang menjadi sangat adaptif dengan segala sumber daya yang dimiliki masyarakat setempat, selain jenis ikan juga rampai atau gelaiannya seperti nanas dan cungkediro, untuk menambah rasa asam pada kuah pindang.

Berbagai varian tersebut menggambarkan bagaimana pindang begitu adaptif, dapat dimasak kapan pun dengan kondisi apa pun pada masyarakat Sumatera Selatan, tanpa perlu mengeluarkan biaya mahal. Yang membedakan pindang adalah jenis ikannya, semakin langka ikannya maka semakin mahal pula pindangnya.

Bagaimana posisi pindang dalam khazanah kuliner di Sumatera Selatan?

Pertama, pindang sebagai simbol kerakyatan, semua orang mampu dan dapat menikmatinya. Berbeda dengan jenis kuliner Palembang lain, seperti gulai anam dan malbi yang memerlukan bahan yang tidak semua masyarakat Sumatera Selatan mampu menyediakannya. Dua jenis kuliner tersebut hanya hadir pada waktu-waktu tertentu, yaitu hari-hari besar dan penting serta ketika menyambut tamu.

Kedua, pindang sebagai simbol kemampuan beradaptasi masyarakat Sumatera Selatan dengan menerima unsur-unsur dan pengaruh dari luar budaya, namun tidak meninggalkan ciri dari budaya asli.

Ini ditandai dengan teknik memasak dengan adaptasi terhadap pilihan ikan, sebagai bagian utama pindang itu sendiri.

 

* Dr. Amilda Sani, Wakil Dekan I Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah Palembang. Tulisan ini opini penulis.

 

Sumber bacaan:

 

Exit mobile version