Mongabay.co.id

Riau Bisa Berkontribusi Tekan Krisis Iklim, Caranya?

 

 

 

 

Cuaca di Kota Pekanbaru, Riau, susah diprediksi. Dalam September sampai November ini saja, biasa siang menjelang sore, matahari begitu terik disertai udara panas, berubah jadi hujan angin. Kala hujan, tak pelak menimbulkan banjir di sejumlah lokasi terlebih pemukiman di sekitar daerah aliran sungai. Sebaliknya, ketika kemarau datang, ancaman kebakaran hutan dan lahan pun menghantui.

Okto Yugo, Wakil Ketua Kordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) mengatakan, masyarakat Riau merana di setiap musim. Bila musim kemarau, akan menghirup asap karena kebakaran hutan dan lahan. Saat musim hujan, katanya, akan terdampak banjir antara lain karena kehilangan tutupan hutan.

Kondisi ini, katanya, menyebabkan ribuan masyarakat terserang ISPA saat karhutla dan 53 orang meninggal dunia karena banjir, terhitung sejak 2008-2019. Ribuan warga mengungsi setiap tahun.

Dampak krisis iklim nyata di Riau, bahkan bak makanan sehari-hari. Sebelum memasuki musim hujan tahun ini, kekeringan sempat terjadi di Kampar, Riau. Puluhan hektar sawah gagal panen di Kecamatan Bangkinang, dan menyebabkan kerugian mencapai puluhan juta rupiah. Gagal panen karena kekeringan saat musim kemarau lalu, juga melanda sawah-sawah lain di seluruh Kabupaten Kampar. Kekeringan ini merupakan yang terburuk selama dua puluh tahun terakhir.

 

Air gambut di Taman Nasional Zamrud. Foto: Rahmi Carolina/Mongabay Indonesia

 

 

Komitmen pemerintah

Untuk mengurangi pelepasan emisi guna menekan dampak perubahan iklim, Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) punya target forestry and other land use (FoLU) akan mencapai kondisi net sink pada 2030. Riau, salah satu daerah sasaran untuk beraksi agar rencana itu tercapai.

Agus Justianto, Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari, mengatakan, dalam rencana operasional FoLU Net Sink 2030, terindifikasi 8,49 juta hektar jadi perhatian khusus di Riau. Dia berharap, para pemegang izin dapat meningkatkan status kesiagaan atas karhutla, yang berpotensi menghambat pencapaian FoLU Net Sink 2030.

Komitmen sektor FoLU ini, katanya, digadangkan bukan hanya untuk kepentingan nasional juga berkontribusi kepada masyarakat global menuju pemulihan hijau, sekaligus membangun ekonomi inklusif, tangguh dan berkelanjutan.

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, tiga jalur saling terkait terdiri dari, pertama, menghentikan deforestasi dan memelihara kelestarian hutan, kedua, memulihkan lahan terdegradasi dan memperluas agroforestri, ketiga, pemanfaatan hutan secara berkelanjutan dan membangun rantai nilai hijau.

 

Gambut Kerumutan. Foto: Perkumpulan Elang

 

Senada dikatakan Gubernur Riau, Syamsuar soal program “Riau Hijau” sejalan dengan Indonesia FoLU Net Sink 2030. Capaian FoLU Net Sink sangat ditentukan pengurangan emisi dari lahan gambut, dan peningkatan kapasitas hutan alam dalam penyerapan karbon restorasi dan perbaikan tata air gambut. Juga, restorasi dan rehabilitasi hutan, pengelolaan hutan lestari, serta optimasi lahan tak produktif.

“Selain aspek kehutanan dengan ekosistem gambut dan mangrove, Riau Hijau juga mencakup perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pertanian, energi, transportasi, dan industri, terutama dalam upaya pengelolaan limbah dan penurunan emisi,” katanya.

Riau, memiliki hamparan hutan, lahan gambut dan mangrove luas. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2020 menyebutkan, luas lahan gambut di Riau 5.355.774 hektar dari 9.604.529 hektar total di Sumatera, atau 55,76%. Gambut seluas itu

terbagi dalam 2.637.704 hektar untuk fungsi lindung dan 2.717.670 hektar fungsi budidaya. Sedangkan luas hutan mangrove Riau berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) 224.895 hektar pada 2022. Semenanjung Kampar dan Kerumutan, jadi pusat perhatian karena punya hamparan lahan gambut, hutan alam termasuk mangrove cukup luas.

 

Ikan awetan nelayan. Foto: Perkumpulan Elang

 

Janes Sinaga, Direktur Eksekutif Perkumpulan Elang, mengatakan, lanskap Semenanjung Kampar dan Kerumutan, bagian dari hamparan hutan gambut dan mangrove yang berada dalam satu ekosistem utuh. Dua ekosistem ini memiliki potensi besar jadi bagian dari upaya mengurangi emisi karbon global.

Lanskap Semenanjung Kampar seluas 697.867 hektar terbentang antara Siak dan Pelalawan, terdiri dari tutupan hutan alam dan rawa gambut. Sedangkan ekosistem Kerumutan seluas 1.333.525 hektar berada di Kabupaten Pelalawan, Indragiri Hilir dan Indragiri Hulu. Dari seluruh luasan itu, sekitar 60% Semenanjung Kampar dan 25% ekosistem Kerumutan berada di Kabupaten Pelalawan dengan di dalamnya ada 27 desa.

Bupati Pelalawan, Zukri mendukung komitmen Indonesia mencapai target penyerapan karbon dalam skema FOLU Net Sink, yang akan fokus restorasi dan pemulihan ekosistem Semenanjung Kampar dan Kerumutan. Dia juga menetapkan tujuh program andalan, dan masuk dalam RPJMD kabupaten ini.

Zukri menyebut tujuh program itu merupakan bagian penting dari arah pembangunan yang dia sebut sebagai “Visi Pelalawan Sejuk”. Program ini antara lain, penyelesaian lahan perkebunan sawit dalam kawasan hutan, revitalisasi Sungai Kerumutan, penyusunan rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut (RPPEG). Kemudian, reboisasi tutupan hutan rusak pada ekosistem Semenanjung Kampar dan Suaka Margasatwa Kerumutan, percepatan pengelolaan hutan dalam skema perhutanan sosial hingga pemanfaatan potensi jasa lingkungan seperti ombak Bono.

 

Hutan alam dan gambut Kerumutan. Foto: Perkumpulan Elang

 

Dia bilang, dalam percepatan program perhutanan sosial, Pemerintah Pelalawan mendorong pengalokasian wilayah kelola masyarakat seluas 12.113,90 hektar untuk 11 desa di Semenanjung Kampar dan 9.816 hektar di 17 desa di sekitar SM Kerumutan. Untuk reboisasi, katanya, akan fokus pada wilayah kelola perhutanan sosial dengan hutan rusak.

“Pemerintah Pelalawan menyelesaikan tahapan penyusunan dokumen RPPEG hingga final. Penyusunan dokumen ini jadi penting karena memuat rencana jangka panjang pengelolaan dan perlindungan lahan gambut untuk 30 tahun ke depan, 2020 –2050.”

“Ini akan mendorong pengelolaan berkelanjutan hingga bisa membawa kesejahteraan masyarakat. Komitmen ini diharapkan mampu memungkinkan pemulihan lingkungan sekaligus menjaga kekayaan keanekaragaman hayati,” kata Janes.

 

Pondok nelayan di Lanskap Semenanjung Kampar. Foto: Rahmi Carolina/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, hutan alam dan gambut Semenanjung Kampar-Kerumutan, selain habitat alami beragam spesies, juga sumber perekonomian bagi nelayan. Kawasan gambut, merupakan sumber protein bagi masyarakat.

Nelayan gambut, katanya, menangkap ikan dengan cara tradisional pakai lukah, jaring, kail, tajur, ambat dan jala. Ikan mereka jual hidup, segar atau dalam kondisi awetan. Ikan-ikan yang biasa dari perairan gambut antara lain, ikan tapah, lele, gabus, selais, baung, belida, toman dan lain-lain.

Selain sumber protein, katanya, gambut di dua ekosistem itu juga apotek alam serta sumber pangan. “Masyarakat lokal memanfaatkan tanaman khas gambut seperti keduduk sebagai obat tradisional dan pucuk paku merah, juga umbut rotan untuk dikonsumsi.”

Janes katakan, ada penurunan kebakaran hutan gambut dalam tiga tahun terakhir. “Ini bisa jadi kesempatan baik bersama-sama mendorong hutan gambut di Riau jadi solusi iklim dari Indonesia untuk global.”

 

Exit mobile version