Mongabay.co.id

Mbah Moedjair, Sang “Pencipta” Ikan Mujair yang Terlupakan

 

 

 

 

 

Tahu ikan mujair? Hampir dipastikan semua orang di Indonesia tahu jenis ikan ini.   Mujair hampir didapati di seluruh wilayah perairan di Indonesia.  Di danau, sungai, bahkan budi daya macam tambak. Siapa dan bagaimana ikan jenis itu jadi bernama mujair? Mungkin belum banyak yang tahu. Mujair hidup di air tawar itu berkat ketekunan Mbah Moedjair, lelaki kelahiran Kabupaten Blitar, Jawa Timur.

Mbah Moedjair, lelaki Jawa dengan pekerjaan sebagai jogoboyo, juru pengatur air irigasi di Desa Papungan, Kecamatan Kanigoro, Blitar. “Berkat kesabaran dan keuletan, beliau berhasil membudidayakan mujair, yang tadinya hidup di laut jadi ikan air tawar yang kita kenal sekarang ini,”  kata Jojok, cicit Mbah Moedjair,  belum lama ini.

Pria 38 tahun ini bilang, ihwal penemuan mujair itu tanpa sengaja. Kala itu, 25 Maret 1936, Mbah Moedjair yang berusia 44 tahun tengah berpergian ke Pantai Selatan,  Blitar. Tepatnya di Desa Serang, Kecamatan Panggung.

Ketika berada di sana, tak sengaja, Mbah Moedjair mendapat gerombolan ikan yang dinilai cukup unik. Ikan-ikan itu memasukkan anak-anaknya yang masih kecil ke dalam mulut. Rupanya, itu membuat Mbah Moedjair tertarik.

“Oleh Mbah, ikan-ikan itu diambil dan dibawa pulang untuk coba dibudidayakan.  Beliau jalan kaki dari pantai selatan ke rumah. Kira-kira ya sehari semalam, kan jaraknya hampir 40-an kilometer,” katanya.

Majalah Star Weekly Nomor 744Eedisi 2 April 1960, seperti dikutip dalam buku Moedjair: Sejarah Tersembunyi Ikan Mujair karya Yanu Wibowo (2022) disebutkan, kepergiatan Mbah Moejair ke Teluk Serang saat itu untuk memperingati suroan. Dalam menanggalan Jawa, 1 Suro jadi hari sakral.

“Moedjair berangkat bersama tujuh orang perangkat, termasuk perangkat desa. Dia membawa kaleng minyak tanah dan seser (alat yang dipakai menangkap ikan)” tulis Star Weekly, sebagaimana dikutip dalam buku terbitan Maret 2022 itu.

 

Makam Mbah Moedjair di Blitar. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Usaha membudidayakan ikan dengan nama latin Oreochromis mossambicus itu gagal. Begitu dilepaskan di kolam air tawar, ikan-ikan yang disebutkan berasal dari  Afrika itu mati. Tak ada tersisa. Kendati kecewa, Mbah Moedjair tak patah arang.

Menurut Jojok, selang beberapa hari, dia kembali ke Pantai Serang untuk mengambil ikan-ikan itu lagi. Kali ini ikan-ikan itu tidak langsung dimasukkan ke kolam air tawar. Dia lebih dulu mencampurkan air laut agar air dalam kolam lebih payau. Lagi-lagi usaha itu tidak membuahkan hasil. Sampai pada percobaan ke-10, ikan yang dibawa dari Pantai Serang mampu bertahan hidup dan berkembang biak.

“Mbah Moedjair mencampurkan air payau dengan air tawar di penangkaran. Karena beliau memandang, kekurangan pada percobaan pertama adalah karena perubahan habitat airnya yang drastis. Dari payau ke tawar,” tulis Yanu Aribowo, penulis buku Moedjair: Sejara Tersembunyi Ikan Mujair.

 

 

Jalan kaki 40 kilometer

Jarak antara Pantai Serang dengan Desa Papungan menjadi tantangan tersendiri bagi Mbah Moedjair. Dengan membawa pikulan, sebagaimana diceritakan dalam Majalah Penjebar Semangat edisi 20 Januari 1951, Mbah Moedjair berjalan kaki menelusuri jalanan sepanjang 40 kilometer itu. Tak jarang, sebagian ikan yang dibawa banyak mati.Usaha itu baru mulai membuahkan hasil setelah perjalanan ke-10 bolak-balik membawa ikan dari Pantai Serang ke Papungan.

Itu pun tidak semua hidup. Oleh Mbah Moedjair, ikan yang berhasil bertahan hidup itu terus diamati. Sampai ada dua ikan yang didapati berkembang dengan baik.

Selanjutnya, ikan itu lantas dipindah ke kolam lain. Selain lebih leluasa, juga agar bisa memberikan perhatian lebih. Tak dinyana, sebulan kemudian, ikan bertelur dan menghasilkan anakan sangat banyak.

“Betul, setelah sebulan di kolam baru ini sudah penuh ikan-ikan kecil anak sepasang ikan tadi, lalu berkembang menjadi sangat banyak,” tulis Yanu, mengutip laporan Majalah Penjebar Semangat Nomor 93 Edisi 20 Januari 1951.

 

Komplek Makam Mbah Moedjair. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Selanjutnya, ikan-ikan itu mulai dijual ke warga sekitar yang membuat nama Mbah Moedjair mulail dikenal.

Majalah Star Weekly ke XV Nomor 744 Edisi 2 April 1960 merekam keberhasilan Moedjair melakukan domesitifkasi mujair ini.

Oleh Mbah Modjair, ribuan ikan itu ditampung di tiga kolam berbeda. Sayangnya, lahan bekas kolam itu dipakai kini berganti kepemilikan. Kondisi juga kurang terawat karena penuh semak belukar.

“Dengan keberhasilan itu, terbukalah lembaran sejarah baru bagi dunia perikanan. Mulai saat itu, bintang Pak Moedjair naik. Banyak keuntungan yang diperolehnya, baik moril maupun materiil,” tulisnya.

Surat kabar De Indische Courant 20ste Jaargang Nomor 199, edisi 12 Mei 1941 dalam rubrik khusus secara tidak langsung mengakui keberhasilan Mbah Moedjair itu.

Dalam laporannya, surat kabar berbahasa Belanda itu semula menyebut ikan mas sebagai spesies paling cocok untuk budidaya ikan sawah (tambak). Tetapi, tergeser mujair yang baru ditemukan lima tahun sebelumnya (1936).

“Pak Mujair, pemulia ikan, melepaskan ikan itu di kolam air tawar, ikan berkembang. Hal lebih penting, mujair mampu bereproduksi lebih mudah daripada ikan yang ada,” tulis De Indische.

Beberapa media lain seperti De Vrije Pers 8de Jaargang edisi 27 Agustus 1951 atau Java Bode edisi 23 Maret 1954 juga menurunkan laporan serupa.

Menurut buku Tilapia: Biology,culture, and nutrition yang publis 2006  menyebut, mujair budidaya Mbah Moedjair berkembang dan menyebar ke berbagai wilayah. Tak hanya di Indonesia, juga lintas benua.

Karena makin sibuk dengan urusan ikan, Mbah Modjair kemudian memutuskan mundur dari jabatan sebagai jogoboyo.

“Hampir semua mujair di Indonesia, Asia, Eropa, Amerika Tengah, Amerika Utara dan Amerika Selatan adalah keturunan ikan yang diboyong Mbah Moedjair dari muara sungai Serang,” tulis Yanu.

Buletin perikanan terbitan, Fishery Bulletin of The Fish and Wildlife Service volume 62 tahun 1963: Tank Culture of Tilapia, secara khusus membahas soal mujair ini.

Disebutkan, hingga dua dekade lalu, mujair hanya mendapat perhatian kecil sebagai makanan dan ikan buruan di daerah asalnya, Afrika Timur.

Bahkan, para ahli perikanan dan biologi ternama di zaman Hindia Belanda pun, tidak ada yang mengenal ikan ini sebelum ditemukan Mbah Moedjair.

“Tidak ada ikan budidaya ikan tilapia (mujair) di Afrika sebelum akhirnya ikan ini muncul secara misteris di Jawa Timur,” tulis bulletin. itu.

 

Penghargaan kepada Mbah Moedjair. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Terima penghargaan

Perlu sembilan kali percobaan sebelum akhirnya Mbah Moedjair berhasil membudidayakan mujair di percobaan ke-10. Seluruh rangkaian uji coba itu dilakukan Mbah Moedjair dalam rentang 25 Maret 1936, momen ketika pertama kali ikan dibawa pulang hingga akhir 1936.

Bukan sukses yang mudah. Menurut cerita Jojok, perlu dua hari dua malam bagi Mbah Moedjair untuk berangkat ke Pantai Serang dan kembali pulang ke rumahnya di Papungan, sekali jalan. Belum lagi keterbatasan peralatan dan pengetahuan yang dimiliki.

Meski begitu, kegigihan dan kerja keras eyangnya itu membuahkan hasil.

Beberapa lembaga internasional seperti Indo Pacific Fisheries Council juga memberikan pengakuan pada si mbah. Bahkan, setelah sidang di Tapaksiring, Bali, lembaga yang berbasis di Bangkok, Thailand ini memberikan penghargaan khusus kepada Mbah Moedjair.

Jauh sebelumnya, pada 1939, penghargaan paling penting didapat Mbah Moedjair melalui konferensi ahli perikanan darat yang digelar Djawatan Perikanan Darat (DPD)—saat ini Kementerian Kalautan dan Perikanan) di Surabaya kala itu. Berkat usulan kepala DPD saat itu, W.H. Schuster, disepakati penyematan nama Mbah Moedjair sebagai nama lokal mujair.

“Dalam konferensi ahli perikanan darat yang diadakan di Surabaja pada November 1939, Schuster, kepala Djawatan di Surabaja, memperkenalkan seekor ikan yang belum dikenal, ditemukan di Blitar, Karesidenan Kediri (Jawa Timur)” tulis dalam buku Studies on Tilapia Mossambica Peters in Indonesia (1952).

Yanu Aribowo, penulis buku Moedjair: Sejarah Tersembunyi Ikan Mujair menyatakan, berita penyematan nama sang penemu sebagai nama lokal ikan mujair itu pun terpublikasi di surat kabar Soerabaijasch Handelsblad 88ste Jaargang nomor 270 edisi 16, November 1940.

Selain itu, apresiasi juga datang dari Kantor Karesidenan Kediri yang kala itu masih di bawah Pemerintahan Hindia Belanda. Dijelaskan Yanu, Karisedenan Kediri memberikan opsi kepada Mbah Moedjair antara menerima bintang emas (tanda jasa) atau uang. Karena alasan ekonomi, penghargaan emas dipilih Mbah Moedjair.

Kan kalau bintang emas tidak boleh dijual. Digadaikan juga tidak boleh. Akhirnya yang dipilih ya uang,” terang Cicit Mbah Moedjair ini. Sekalipun beberapa tahun berikutnya, Mbah Moedjair diangkat sebagai staf di Djawatan Perikanan Darat oleh pemerintah, seperti laporan Star Weekly edisi 2 April 1960.

Bahkan, saat peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-6 pada 1951, Mbah Moedjair juga diundang guna mendapat penghargaan tingkat nasional. Momentum itu pun terekam dalam laporan surat kabar De Vrije Pers edisi 27 Agustus 1951. Penghargaan ini diberikan Kementerian Pertanian Indonesia dengan Nomor: 1/TD/R1., yang ditandatangani langsung Menteri Pertanian kala itu, Soewarto.

Mongabay yang berkunjung ke kediaman kerabat Mbah Moedjair berkesempatan melihat salinan penghargaan itu. Tertulis, “Bahwa kami Menteri Pertanian atas nama Pemerintah Republik Indonesia memberi surat tanda djasa kepada Sdr. Moedjair, tempat tinggal Desa Papungan, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, sebagai penghargaan menemukan suatu djenis ikan jang diberi nama ikan mudjair, yang ternjata memberi manfaat besar bagi masyarakat Indonesia,” tulis piagam itu.

Mujair yang dibudidayakan. Foto: Wikimedia Commons/Destinationkho/CC BY-SA 3.0

 

Sisakan misteri?

Kendati domestifikasi mujair dari ikan air asin menjadi air tawar berhasil, keberadaan mujair di Pantai Serang dari tempat asalnya di Afrika masih menjadi tanda tanya. Itu karena tidak banyak literatur yang menyebutkan.

Yanu Wibowo dalam Moedjair: Sejarah Tersembunyi Ikan Mujair (2022) menyebut, kuat dugaan ikan itu dibawa para penggemar ikan aquarium, sebagaimana ditulis sejumlah laporan. Di tempat asalnya, kata Yanu, ikan ini banyak dibudidayakan sebagai ikan aquarium.

“Dalam perjalanan, ikan ini tidak cocok sebagai ikan aquarium karena perilaku suka mengaduh tanah dan membuat air keruh,” kata Yanu, sebagaimana dikutip dari Biologische Inventarisatie van de Binnenvisserij Indonesie (1947).

Terlepas dari bagaimana riwayat mujair sampai di Indonesia dari tempat asalnya di Afrika, apa yang dilakukan Mbah Moedjair adalah langkah besar.

Untuk menghormatinya, sebuah prasasti pun dibuat di lokasi makam Mbah Moedjair dan jadikan 26 Maret 1936 sebagai tanggal ketika pertama kali dia menemukan mujair.

Mama mujair begitu popular hingga kini. Mengalahkan popularitas Mbah Moedjair, sosok yang gigih melakukan domestifikasi secara otodidak.

Mbah Moedjair, meninggal dunia Sabtu, 7 September 1957. Tiga tahun kemudian, pemerintah melakukan pemugaran pada makamnya dari yang semula hanya gundukan tanah menjadi seperti yang terlihat sekarang ini.

 

 

Jojok, cicit Mbah Moedjair memegang lukisan sang ‘pencipota’ ikan mujair. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

*****

Exit mobile version