Mongabay.co.id

Sumur Api Pemantik Kemandirian Energi Desa Krendowahono

 

 

 

 

Kampung Dukuh, Desa Krendowahono, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah ini tergolong terpencil.  Ada hutan keramat Krendowahono, dengan situs sejarah dan budaya di desa ini. Nama desa berasal dari kata krendo atau keranda dan wahono yang berarti hutan. Dulu,  tempat ini dipercaya sebagai pembuangan narapidana Keraton Surakarta.

Sungai Cemoro di pinggir desa menjadi pembatas wilayah antara Kabupaten Karanganyar dan Sragen di sisi timur. Sekitar tiga kilometer ke arah utara terdapat Museum Sangiran, yang merekam jejak manusia purba. Berjarak satu kilometer di sisi selatan ada Museum Dayu yang merekam hal sama. Sebelah barat desa adalah Jalan Solo Purwodadi.

Warga Desa Krendowahono kebanyakan petani hutan dan peternak. Sebagian lahan mereka tanami dengan jati. Kontur wilayah berbukit dengan tanah berkapur.

Selama ini,  mereka mengeluhkan sulit mendapatkan air bersih. Untuk minum sehari-hari warga mengandalkan air isi ulang. Sebagian penduduk terpaksa mencari air ke sumur emas, mata air yang tak pernah kering di Dayu, desa tetangga.

Pada Oktober 2019,  Sholikin, warga kampung Dukuh itu membuat sumur bor dengan bantuan Baznas. Tak cuma sekali dia membuat lubang. Setelah mengebor sedalam 120 meter lagi-lagi yang didapat hanya air asin.

“Suatu malam, kami berkumpul sambil mengobrol di dekat lubang sumur bor. Saat itu air surut. Karena penasaran kami mendekat ke lubang sumur dan menyalakan korek api. Kami kaget, tiba-tiba api langsung menyambar,“ kata Sholikin, juga ketua RT di Kampung Dukuh.

Kabar sumur dengan air yang bisa menyala di pekarangan milik Sholikin itupun menyebar. Banyak orang lalu tertarik mengunjungi rumahnya. Sumur api Krendowahono juga viral di media sosial. Khawatir membahayakan, sumur pun diberi garis polisi oleh aparat.

Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Tengah lalu menerjunkan tim meneliti kandungan air dan fenomena sumur api ini. Saat itu, Sholikin belum tahu pasti penyebab mengapa air yang keluar dari sumur bor bisa terbakar atau mengeluarkan api.

Tak ingin menyia-nyiakan sumber api, kala itu diapun memasang tungku sederhana terbuat dari kaleng bekas. Di atasnya diletakkan wajan atau panci untuk memasak. Warna api oranye kemerahan.

“Ada sekitar satu tahun saya kalau masak di luar,” kata Ika, istri Sholikin.

 

Sumur di pekarangan Sholihin yang selayaknya untuk dapatkan sumber air bersih, malah dapat sumber energi. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Di sumur bor yang terletak di pekarangan samping rumah itu Ika biasa menjerang air atau masak makanan. Awalnya, warga  hanya menonton, kemudian tak sedikit tetangga yang ikutan memanfaatkan kompor di atas lubang sumur bor itu. Sumber api menyala 24 jam.

Kini Ika tak perlu lagi membawa peralatan masak ke pekarangan. Instalasi pipa sepanjang sekitar 25 meter telah menghubungkan sumber api itu ke kompor dapur di dalam rumah. Jaringan pipa juga menjangkau rumah tetangganya.

Kesulitan air bersih itu menjadi berkah lain. Sudah hampir tiga tahun Ika mampu mengurangi pengeluaran bulanan karena nyaris tak perlu lagi membeli gas elpiji. Dia hanya membeli untuk cadangan atau jika ada kebutuhan memasak lebih banyak dan cepat.

“Sebenarnya cukup tanpa harus membeli tabung gas melon. Tapi agak lama karena tungku cuma satu,” katanya sambil memasak air.

Kini, tak perlu waktu lama mendidihkan air. Api berwarna biru dengan tekanan gas cukup besar.

Menurut Sholikin, ada 30 rumah menikmati jaringan pipa gas dari sumur bor miliknya. Masing-masing rumah hanya boleh menyambungkan ke satu titik tungku. Kalau lebih dari satu tekanan gas akan turun hingga panas berkurang.

Menurut Ika, gas tidak bisa selama 24 jam karena mesin instalasi istirahat beberapa jam pada malam hari dan aktif lagi keesokan hari.

Dengan gas rawa ini, warga Kampung Dukuh bisa berhemat. Masing-masing rumah hanya kena biaya Rp20.000 setiap bulan. Sebanyak Rp10.000 untuk biaya perawatan. Sangat murah kalua dibandingkan membeli gas melon yang di pasaran sekurang-kurangnya Rp20.000 untuk penggunaan kurang lebih satu minggu.

Warga hanya gunakan gas untuk keperluan memasak sehari-hari. Belum ada yang memanfaatkan untuk usaha kecil guna menambah pendapatan keluarga.

“Sementara hanya untuk keperluan rumah tangga. Kalau bisa untuk jualan makin hemat. Semoga lama-lama bisa untuk mencari pendapatan tambahan,” harap Ika.

 

Sholihin di ruang instalasi biogenic shallow gas di rumahnya di Krendowahono. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Gas rawa

Wilayah Krendowahono diperkirakan dulu adalah rawa atau cekungan yang secara perlahan tertutup lapisan tanah. Biomassa di dalamnya lalu mengalami penguraian dan menghasilkan gas metana. Selain dari biomsasa, gas metana juga bisa dari fermentasi asetat pada lapisan yang kaya zat organik. Bisa juga dari proses reduksi karbon dioksida oleh bakteri dari batuan vulkanik secara kimiawi.

Penjelasan lain, gas rawa atau  biogenik shallow gas merupakan gas alam yang terbentuk dari aktivitas bakteri itu terdapat di dalam tanah yang menyerupai kantong-kantong. Dalam suatu perlapisan batuan, keberadaan kantong berisi gas ini bisa terjadi secara acak.

Jadi fenomena air yang bisa terbakar di Krendowahono,  sebenarnya peristiwa alam biasa. Di mana, saat gas metanogenik bercampur air itu menyala karena bertemu dengan pemantik api.

Taufan Riza Pahlevi, seksi energi pada Cabang Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Wilayah Solo menjelaskan, gas rawa biasa ada di endapan rawa purba.

“Kalau di sini secara geologi masuknya ada di atas formasi Kalibeng. Kalibeng itu yang tertua. Ada di zona situs Sangiran. Situs Sangiran itu dari suatu dome, ia tererosi hingga menjadi cekungan. Museum Sangiran dengan Krendowahono cuma berbatasan dengan sungai.”

Lapisan tanah Sangiran terbagi menjadi lima formasi mulai dari paling atas, yaitu,  Notopuro, Kabuh, Grenzbenk, Pucangan, yang paling dasar sekaligus paling tua adalah Kalibeng, terbentuk lebih 1,8 juta tahun lalu. Sangiran dulu dasar laut yang mengalami pengendapan dan menjadi rawa-rawa.

Di pekarangan rumah Sholikin, ruang instalasi berisi mesin kompresor dan separator diletakkan berdekatan dengan lubang sumur bor. Ruangan itu sekaligus menjadi alat peraga bagi siapapun yang ingin mengetahui pemanfaatan gas rawa.

“Gas di sini ditarik oleh kompresor, menuju tabung separator. Separator memisahkan gas dan air. Hingga ketika sudah terpisah, gas metan di atas lalu dialirkan ke rumah-rumah melalui pipa yang diberi tekanan. Air yang di bawah lalu diberi lubang pembuangan.”

Menurut Taufan, meski pemetaan potensi kandungan gas rawa bisa dilakukan, namun pemanfaatan lebih sering menunggu manivestasi gas lebih dulu, seperti di Krendowahono. Saat ini, ESDM  sudah merampungkan pemanfaatan ulang gas rawa di Desa Grabus, Ngrempal, Kabupaten Sragen.

“Di sana itu pernah dieksplorasi. Ketika aliran berhenti warga tidak bisa melakukan apa-apa, lama-lama ditinggal. Nah, kami kelola lagi. Dibor lagi sedalam 60 meter, ketemu. Jadi, harus ada manivestasi dulu bahwa di situ ada gas rawa yang bisa dikembangkan.”

Dengan kajian geolistrik, di atas kertas gas rawa di Krendowahono punya potensi pemanfaatan hingga 11,5 tahun. Artinya selama itu pula, sebagian warga di desa itu bisa menikmati energi alam dengan sangat murah. Sebelum kandungan gas rawa habis, bisa diupayakan membuat lubang baru di tempat lain.

 

Sholikin, warga Desa Krendowahono dan peralatan kompresor untuk memampatkan gas rawa. Foto: Nuswantoro/. Mongabay Indonesia

 

Mandiri energi

Sujarwanto Dwiatmoko,  Kepala Dinas ESDM Jawa Tengah mengatakan, pemanfaatan gas rawa menjadi salah satu inovasi di bidang energi di Jawa Tengah. Sebelumnya,  di Desa Bantar, Kecamatan Wanayasa, Banjarnegara juga dikembangkan gas rawa untuk mendukung kemandirian energi desa.

Awalnya,  gas rawa untuk 25 keluarga, kemudian diperluas jadi 100 keluarga dengan memanfaatkan antara lain dana desa.

Desa Pegundungan, Kecamatan Pejawaran, Banjarnegara juga menggunakan gas rawa. Sebanyak 25 rumah menerima manfaat, dan akan dikembangkan untuk lebih 100 rumah.

Sebelumnya,  Desa Rajek, Kecamatan Godong, Kabupaten Grobogan, menggunakan gas rawa sejak lima tahun lalu. Sebanyak 25 rumah memanfaatkan gas rawa ini.

Secara tradisional, ada warga yang memanfaatkan gas rawa dengan memasak langsung di sumber gas. Karena mudah terbakar dan bisa menimbulkan ledakan maka perlu pengelolaan dengan benar.

Dinas ESDM Jawa Tengah mengalokasikan dana sekitar Rp200 juta untuk pembangunan pipa jaringan dan instalasi biogenic shallow gas di Krendowahono.

“Salah satu yang agak sulit adalah memisahkan gas dari air. Seperti di Krendowahono itu bisa kita manfaatkan gasnya untuk 60 rumah tangga. Tapi anggaran kita hanya bisa membantu 30 rumah tangga. Ini yang sedang kita dorong agar mereka menambah sendiri,” katanya.

Marlistya Citraningrum, Manager Program Akses Energi Berkelanjutan Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan, gas biogenik dari senyawa organik seperti tanaman dan rerumputan yang membusuk dan terurai dengan bantuan bakteri. Karena berasal dari residu senyawa organik, umumnya gas biogenik ditemukan di lapisan tanah dangkal dan mudah ditemui.

“Karena jumlah relatif kecil dan tersebar, gas biogenik harus dimanfaatkan atau dinaikkan tekanannya hingga mudah dialirkan dan digunakan.”

Untuk itulah, selain separator juga perlu kompresor. Terlebih kalua penerima manfaat cukup banyak dan tersebar di beberapa lokasi.

“Beberapa desa di Jawa Tengah memiliki potensi gas biogenik cukup banyak. Sedikitnya ada delapan daerah punya potensi gas rawa, yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif untuk memasak. Instalasi pemanfaatan gas biogenik ini juga relatif berbiaya rendah dan bisa digunakan secara komunal.”

Bersama Dinas ESDM Jawa Tengah, IESR mengadakan Jelajah Energi kedua pada 10 hingga 11 November lalu. Kegiatan ini bertujuan mengangkat isu transisi energi di Jawa Tengah, diseminasi informasi, serta meningkatkan eksposur industri hijau dan program kampung iklim di Jawa Tengah.

Desa Krendowahono,  menjadi salah satu lokasi yang dikunjungi peserta yang terdiri dari wakil instansi, perguruan tinggi, dan media.

 

 

*********

Exit mobile version