Mongabay.co.id

Berawal dari Krisis Sampah yang Mampu Diselesaikan, Bupati Banyumas Berbagi Kisah di COP27 Mesir

 

SALAH satu cerita pahit yang dialami oleh Bupati Banyumas Achmad Husein adalah ketika terjadi krisis sampah pada 2017-2018 silam. Kabupaten di Jawa Tengah (Jateng) itu benar-benar pusing tujuh keliling dengan penanganan sampah. Salah satu penyebabnya adalah penolakan warga terkait dengan tempat pembuangan akhir (TPA) Kaliori di Kecamatan Kalibagor.

“Saya sebetulnya sudah ingin melupakan. Soalnya, waktu itu tersiksa betul, luar biasa keras. Tidak saja di-bully, tetapi juga ada demo berkali-kali. Padahal, waktu itu merupakan masa akhir periode pertama sebagai bupati. Dan berlanjut pada saat saya sudah cuti kampanye. Meski posisi tengah cuti kampanye, saya tetap mendatangi warga untuk mencari solusi,”jelas Bupati membuka cerita saat wawancara di Ruang Joko Kahiman, Purwokerto, Rabu (23/11/2022) malam.

Jadi, waktu itu memang kondisi persampahan di Banyumas cukup berat. Begitu penutupan TPA Gunung Tugel, maka TPA yang menjadi andalan adalah TPA Kalibagor. Namun kemudian, warga meminta agar TPA Kaliori tutup. Warga demo dan memblokade jalan. Bayangkan saja, setiap harinya waktu itu ada 100 truk sampah yang setiap hari dibuang ke TPA setempat. Tetapi, tiba-tiba tidak dapat membuang. Jelas saja, akhirnya menjadi krisis sampah,”ungkapnya.

Ketika itu, lanjut Bupati, waktunya sekitar Februari-Maret. Kemudian, dirinya mencoba bernegosiasi dengan warga. Akhirnya, sambil mencari solusi lain, maka warga bisa memberikan kesempatan hingga akhir tahun.

“Tetapi, setiap bulannya harus ada pengurangan jumlah sampah yang dibuang di TPA Kaliori. Misalnya, bulan awal kesepakatan masih tetap 100 truk. Kemudian bulan-bulan berikutnya dikurangi menjadi 60 truk dan kemudian 40 truk. Dan terakhir pada Desember hanya tinggal 18 truk,”paparnya.

baca : Banyumas Darurat Sampah. Ada Apa?

 

Sejumlah warga terlihat memulung di tempat pembuangan sampah (TPA) Kaliori, Banyumas, Jateng, yang kembali dibuka pada pekan lalu. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Lalu ke manakah sampah-sampah lainnya sehingga ada pengurangan? Pemkab memang mempercepat pembuatan tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) dan hanggar. “Untuk melengkapinya, kami mencoba beberapa peralatan pendukung di TPST. Selain itu juga pembentukan kelompok swadaya masyarakat (KSM) yang mengelola sampah di Pusat Daur Ulang (PDU),”jelasnya.

Menurut Bupati, proses pembangunan TPST dan PDU memang dimassifkan di Banyumas. Selain itu, juga pengadaan sejumlah peralatan pendukung operasional di TPST dan PDU. Di antaranya adalah mesin pemilah sampah hingga peralatan untuk pembakaran limbah. “Awalnya ada yang mengusulkan alat namanya insinerator. Namun, harganya sangat mahal, mencapai Rp800 miliar. Jelas untuk pemkab tidak memungkinkan,”ungkapnya.

Misalnya saja, pada awal-awal ada pekerja yang memilah sampah. Kecepatan setiap harinya, hanya mampu memilah 10% hingga 15% sampah. Sehingga memang masih belum optimal. Apalagi, peralatan untuk pengolahan sampah plastik juga belum ditemukan.

Menurut Bupati, dirinya menemukan sebuah mesin pemisah sampah kecil di Pasir, setelah dicoba sempat macet. Begitu bisa jalan, pemilahannya masih kasar. “Akhirnya, saya meminta tolong teman di Bekasi untuk membuatkan. Saya pakai uang pribadi, karena begitu inginnya mendapatkan alat pemilah yang bagus. Kemudian dicoba macet. Setelah perbaikan bisa jalan, namun pemilhannya masih kasar. Lalu, saya melihat lagi di Tangerang. Alatnya besar, tetapi kapasitasnya hanya 1 ton per jam,”jelasnya.

Husein tidak patah semangat, kemudian ada informasi mengenai mesin pemilah sampah yang bagus di Bantargebang. “Saya melihat mesin yang ada di situ, kemudian membuatnya. Setelah melakukan modifikasi dua kali, maka mesin pemilah sudah beres saat sekarang. Pemilahannya bersih, sehingga antara sampah anorganik dan organik benar-benar terpisah,”katanya.

Dengan terpisahnya sampah tersebut, maka sampah organik selesai. Sebab, sampah organik dapat langsung menjadi pakan maggot. “Sehingga saat ini di TPST atau PDU, sebagian besar pasti membudidayakan magot. Sebab, dengan adanya maggot, maka persoalan sampah organik selesai. Selain itu juga menjadi bahan pembuatan pupuk,”katanya.

baca juga : Warga Gugat Pemkab Banyumas Soal TPA Sampah, Mengapa?

 

Pemilahan sampah di salah satu TPST di Banyumas. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

Meski organik sudah selesai, masih perlu dipikirkan sampah plastiknya. Perjalanan mengolah sampah plastik tidaklah gampang. “Saya mencoba berusaha untuk bagaimana caranya agar sampah plastik selesai. Saat ini sampah plastik dipakai untuk pembuatan paving,”jelasnya.

Untuk dapat menjadi bahan pembuatan paving, perjalannya juga tidaklah mudah. Membutuhkan proses panjang, sehingga pada akhirnya bisa mengolah plastik menjadi paving.

“Misalnya pakai alat bernama extruder. Saya dipinjami alatnya. Setelah digunakan ternyata pavingnya tidak kuat. Sampai pada akhirnya, kita sampai berganti 15 kali molding plastik. Dan akhirnya bisa. Ada dua cara yakni dengan cetakan hidrolik dan mesin injeksi plastik. Dengan peralatan hidrolik, dapat mencetak 500 paving, tetapi kalau dengan mesin injeksi dapat mencapai 1.500 paving. Nanti paving-paving tersebut bakal kami pakai di kawasan wisata baru di Jl Bung Karno. Namun, materialnya sekarang rebutan,”katanya.

Sebab, ada juga sampah plastik yang saat sekarang dijual ke pabrik semen PT Solusi Bangun Indonesia (SBI) Cilacap sebagai bahan bakar industri semen yakni refuse derived fuel (RDF). “Kita setor ke PT SBI setiap harinya telah mencapai 15 ton. Padahal, kita diberikan target hingga 40 ton,”katanya.

Karena itulah, lanjut Bupati, dirinya mempunyai ide untuk masyarakat. Jika memiliki sampah plastik, gunting saja kecil-kecil dengan ukuran sekitar 5 cm. “Saya baru menyiapkan aturan, nantinya kita yang membeli sampah plastik yang telah dipotong-potong. Barangkali bisa Rp500 per kg. Sehingga dalam sebulan di sebuah RT bisa mencapai 1 ton, maka akan memperoleh pendapatan hingga Rp500 ribu. Lumayan juga dapatnya, hanya dengan mengumpulkan sampah plastik yang telah dipotong-potong,”katanya.

baca juga : Upaya Penanganan Sampah di Banyumas, Dari TPST, Mesin Pirolisis Hingga TPA BLE

 

3-Pekerja tengah memasukkan sampah plastik untuk dicacah dengan menggunakan mesin. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Tanpa TPA

Sejak terjadinya krisis sampah pada 2018 lalu, sebetulnya Bupati Banyumas telah memikirkan tampa tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Karena itulah, pemrosesan sampah menjadi fokusnya dengan membangun TPS 3R dan PDU.

“TPS 3R pada umumnya merupakan bantuan dari Kementerian PUPR. Jumlahnya yang besar atau TPS 3R dengan hangar dan peralatan ada di 18 lokasi. Sedangkan PDU atau yang kecil ada di 11 lokasi. Jadi secara total tempat pengolahan sampah di Banyumas ada 39 lokasi,”katanya.

Bupati mengatakan pengelolanya berbasis masyarakat yang dikerjakan oleh KSM. Mereka melakukan pengelolaan sampah mulai dari pemilahan sampai pengolahan sampah organik maupun anorganik. “Setiap harinya ada 138 dump truk sampah di Banyumas baik organik serta anorganik. Yang terserap dan diproses di PDU dan TPS 3R atau TPST cukup banyak dan sisanya berupa residu sebanyak 15 truk,”katanya.

Lalu ke manakah 15 truk residu yang merupakan sisa tersebut. Pemkab Banyumas tidak perlu bingung, karena kini telah mempunyai Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Berbasis Lingkungan dan Edukasi (BLE). “Di TPA BLE ini, residu yang masuk ke sini beragam. Umumnya adalah kain, bantal, bahkan kasur juga ada. Di lokasi setempat ada mesin pirolisis yang membakar dengan suhu tinggi hingga 800 derajat Celcius,”katanya.

Hasil akhir sampah yang dibakar pada mesin pirolisis berupa abu. Abu tersebut dapat menjadi bahan baku paving.

“TPA BLE di Banyumas merupakan bantuan dari Kementerian PUPR. Keberadaannya baru diresmikan pada Rabu (6/7/2022) lalu. TPA BLE dibangun dengan biaya sebesar Rp49,7 miliar rupiah dengan komposisi anggaran dari APBN sebesar Rp41,9 miliar (84,31%) dan APBD sebesar Rp7,8 miliar (15,69%). Hal ini merupakan bentuk sinergi untuk pembangunan dan pengelolaan TPA. Pelaksanaan pembangunan dimulai sejak Oktober 2020 dan selesai pada Desember 2021.

Peresmian dilaksanakan oleh Ketua DPR RI Puan Maharani didampingi Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR Diana Kusumastuti di Desa Wlahar Wetan.
TPA BLE mampu menampung sampah 75 ton per hari dengan konsep memproses residu sampah yang berasal dari TPS 3R, TPST atau PDU yang ada di Banyumas. Residu sampah yang masuk langsung secara otomatis dicacah dan dipilah, kemudian hasil pilahan diproses lebih lanjut untuk dimanfaatkan.

Pengelolaan sampah di Banyumas tidak saja di bagian hilir saja, melainkan juga di hulu. “Kalau di hilir, sampah mulai diproses di TPST, TPS 3R atau PDU hingga TPA BLE. Sedangkan di tingkat hulu, kami memiliki dua aplikasi yakni Salinmas dan Jeknyong. Aplikasi tersebut bisa digunakan bagi warga yang telah memilah sampah di rumah. Jadi, dari hulu sampai hilir kita garap,”katanya.

baca juga : Garap Hulu Hingga Hilir Sampah, Banyumas Ingin Raih “Zero Waste” Akhir 2022, Bisakah?

 

Kendaraan pengangkut sampah melalui aplikasi online Jeknyong di Banyumas. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Berbagi di COP27

Keberhasilan pengelolaan sampah di Banyumas tidak saja menjadi contoh daerah di dalam negeri, namun juga di seluruh dunia. Bahkan, United Nations Framework Climate Change Conference (UNFCCC) mengundang Bupati Banyumas Achmad Husein pada perhelatan Konferensi Iklim Internasional atau Conference of Parties (COP) 27 di Sharm El Sheikh di Mesir yang berlangsung pada 14 November 2022 lalu.

Bagi Husein, diundang di Konferensi Iklim Dunia merupakan kehormatan. Dia memaparkan bagaimana pengelolaan di Banyumas dari hulu sampai hilir. “Banyumas mengupayakan penanganan sampah dari hulu sampai hilir. Namun, yang lebih fokus adalah penanganannya di hilir,”kata Bupati.

Dia menceritakan bahwa pada awalnya, Banyumas masuk dalam Asean Smart Green City. Dari Indonesia ada dua yakni Banyumas dengan Banyuwangi. Untuk Banyuwangi lebih fokus pada hulu melalui aplikasi. Sedangkan Banyumas hulu dan hilir. Hulu dengan aplikasi dan hilir lewat pengelolaan sampah.

“Banyumas memang sudah tidak lagi ada landfill atau TPA. Pengelolaan sampah sudah paripurna. Inilah yang menjadi kontribusi bagi Banyumas dalam rangka penurunan emisi. Oleh karena itu, diminta oleh UNFCCC untuk dibagikan kepada negara-negara lainnya. Jadilah saya diundang ke Mesir dalam COP27,”jelasnya.

Sewaktu paparan, lanjut Bupati, tidak hanya memaparkan untuk yang datang langsung di Mesir, melainkan juga bagi peserta yang mengikuti secara daring. “Saya memaparkan bagaimana penanganan sampah di Banyumas. Termasuk juga memutar video yang isinya adalah pengelolaan sampah. Di video tersebut menceritakan soal anak kecil dan bapaknya yang menjadi tukang sampah,”paparnya.

Dalam paparan, Bupati ditemani oleh dua bule dari Norwegia dan Denmark. Ada satu lagi dari Indonesia yakni perwakilan pabrik semen SBI Cilacap. “Tanggapannya sangat baik, bahkan dibilang extra ordinary. Banyak yang terkejut, karena dapat menyelesaikan persoalan sampah. Memang negara-negara lain ada yang memiliki mesin pengolah sampah besar-besar. Tetapi berbeda di Banyumas yang hanya kecil-kecil, tetapi berbasis komunitas. Masyarakat yang mengelola dengan membentuk KSM,”ujarnya.

 

Bupati Banyumas ketika presentasi di COP27. Foto : Pemkab Banyumas

 

Tidak hanya ke Mesir, Bupati Banyumas juga diundang oleh United Nations Capital Development Fund (UNCDF) untuk hadir ke Bangkok pada 5 Desember 2022 mendatang. “Agendanya adalah memaparkan usulan program yang dilaksanakan oleh Banyumas. Karena Banyumas akan menjadi pilot project Assean Smart Green City,”katanya.

Setelah paparan, nantinya mereka akan datang ke Banyumas untuk melihat secara langsung. Setelah itu, nantinya akan ada evaluasi dan ada dana yang dicairkan. “Saya telah membuat program dengan kalkulasi pendanaan sekitar Rp60 miliar. Kita mengajukan dana sebesar itu. Dapatnya berapa, kita tidak tahu,”katanya.

Tetapi, dari informasi yang dioperolehnya, paling tidak dana senilai Rp30 miliar bisa cair. Untuk apa dana tersebut jika berhasil diperoleh? Bupati memproyeksikan bahwa sebagian dana bakal digunakan untuk penyempurnaan dan pengadaan peralatan pengelolaan sampah,”ujar Husein.

Husein tidak hanya diundang di mana-mana untuk memaparkan pengelolaan sampah, tetapi juga sudah banyak kabupaten/kota yang datang ke Banyumas. Setidaknya tidak kurang dari 69 kabupaten/kota yang datang ke Banyumas untuk menimba ilmu pengelolaan sampah. “Tamu paling banyak adalah dari Sulawesi Barat. Seluruh kabupaten/kota sudah sampai di sini untuk belajar penanganan sampah,”katanya.

Bupati mengatakan meski bisa dikatakan sudah nol sampah karena ada pemilahan hingga pengelolaan, tetapi masih harus penyempurnaan lagi. Terutama untuk peralatan. Maka dari itu, jika nanti mendapatkan alokasi dana dari UNCDF, maka nantinya bakal dipakai salah satunya untuk penyempuranaan peralatan untuk pengolahan sampah. (***)

 

Exit mobile version