Mongabay.co.id

Survei: Burung Liar dari Indonesia Banyak Dijual Online di Filipina

 

 

Sebuah survei menunjukkan bahwa burung yang dilindungi hukum terancam akibat perdagangan liar, seperti burung beo yang langka dan terancam punah asli Indonesia, yang sering dijual melalui Facebook di Filipina.

Analisis dari penjualan online, hasil penyitaan pemerintah, dan data perdagangan yang disusun oleh pengawas perdagangan satwa liar berbasis di Inggris, TRAFFIC, menunjukkan permintaan pasar yang kuat di Filipina untuk burung asli Indonesia.

Meskipun pemerintah telah meningkatkan penyitaan dan para peneliti mengatakan peraturan penjualan di kanal online tetap tidak ada atau tidak konsisten, namun burung yang diburu secara potensial dapat dijual dari Filipina ke negara lain.

Peneliti menyurvei 20 grup Facebook yang diketahui menjual burung liar antara Januari 2018 dan Desember 2019, hasilnya ada 501 postingan penjual di Filipina yang menjual total 841 burung asli Indonesia. Spesies ini, yang tidak ditemukan di Filipina, sebagian besar berasal dari pulau Papua yang memiliki keanekaragaman hayati luar biasa.

Para peneliti mengidentifikasi 25 spesies burung yang berbeda dari postingan-postingan tersebut, 24 di antaranya diatur oleh CITES, konvensi global tentang perdagangan satwa liar.

 

Burung kakatua yang menjadi incaran untuk diperdagangkan secara ilegal. Foto: Reynaldo Cruz

 

Serene Chng, salah satu penulis laporan tersebut, mengatakan bahwa para peneliti menganalisa posting penjualan untuk indikasi secara visual bahwa burung telah ditangkap di alam liar: burung yang tampak terluka atau bulunya hilang karena ditangkap, atau tidak memiliki tanda yang digunakan oleh penangkaran seperti microchip atau cincin tertutup di sekitar kaki mereka. Lebih dari separuh postingan burung yang diiklankan dianalisa, diduga peneliti adalah hasil tangkapan liar.

Jenis burung yang paling banyak ditemukan di postingan perdagangan adalah Eclectus roratus [nuri bayan], dengan penjualan sebanyak 281 ekor, diikuti kakatua koki [Cacatua galerita, 152 ekor ditemukan], dan kakatua putih [Cacatua alba, 80 ekor ditemukan], yang merupakan spesies terancam punah.

“Ketiga spesies ini, mereka tidak dianggap sulit untuk dibiakkan di penangkaran,” kata Chng.

“Namun demikian, mereka pada akhirnya terus diburu dari alam liar untuk diperdagangkan karena ada bukti lanjutan, seperti catatan tentang perburuan, populasi liar yang menurun dan penyitaan dari upaya penyelundupan, sehingga kita tahu bahwa selain burung yang dibiakkan ada juga pengambilan terus menerus dari alam liar.”

 

Infografis perdagangan burung Indonesia-Filipina. Gambar: TRAFFIC

 

Jaringan perdagangan

Sebelum menerbitkan laporan tersebut, para peneliti memberi tahu Facebook tentang 20 grup yang menampilkan penawaran burung, yang diduga ditangkap di alam liar. Sementara Facebook menghapus 20 grup, TRAFFIC mencatat telah menemukan 144 grup baru yang menjual burung per Januari 2022.

Chng mengatakan, ini adalah contoh dari pola yang konsisten: peneliti dari grup seperti TRAFFIC akan memberi tahu Facebook atau platform lain tentang penjualan ilegal dan grup tersebut akan menghilang, hanya untuk yang lainnya muncul kembali. Meski berulang, upaya untuk terus melaporkan aktivitas ini secara efektif membuat penjual kecil menjadi enggan, kata Chng.

“Dalam kelompok yang sudah berdiri secara mapan untuk sementara waktu, ada lebih banyak peluang untuk membentuk koneksi pedagang-penjual yang lebih kuat karena mereka memiliki jaringan sendiri yang mereka pelihara, tetapi ketika [jaringan] ini terganggu, hal ini dapat memakan waktu untuk dibangun kembali,” kata dia.

Boyd Leupen, staf program Monitor Conservation Research Society yang telah mempelajari perdagangan burung dalam negeri Indonesia, mengatakan penjualan burung internasional hanyalah sebagian kecil dari permintaan lokal.

Menurutnya, hal ini bisa jadi karena Filipina memiliki populasi burung kicau domestik yang akan memenuhi permintaan pasar, sementara Indonesia, “Memiliki budaya memelihara burung kicau unik, yang mungkin kurang tersedia di [Filipina].”

“Sementara burung beo merupakan 99% dari perdagangan dalam laporan [Filipina], mereka adalah minoritas di pasar domestik [Indonesia] di mana jumlah perdagangan mereka dianggap tidak menarik daripada burung pengicau [Passeriformes],” katanya, menambahkan bahwa burung beo juga diminati secara internasional.

Meskipun dia belum melakukan studi pasar di Indonesia sejak merebaknya COVID-19, Leupen mencatat peningkatan perdagangan burung kicau dalam negeri secara online. Dia menunjuk survei baru-baru ini yang menyatakan lebih dari 100.000 postingan penjualan online, menawarkan 247 spesies burung pengicau yang berbeda untuk dijual di pasar domestik Indonesia antara April 2020 dan Juni 2021.

 

Analisis dari penjualan online, hasil penyitaan pemerintah, dan data perdagangan yang disusun oleh pemantau perdagangan satwa liar TRAFFIC menemukan bukti bahwa burung dijual secara online di Filipina, termasuk spesies yang diatur oleh CITES. Foto: TRAFFIC

 

Leupen mencatat bahwa perdagangan burung pengicau dan burung beo tampaknya sebagian besar terpisah, tetapi keduanya menunjukkan perlunya penegakan hukum lebih kuat.

“Pada 2018 Pemerintah [Indonesia] merevisi daftar spesies dilindungi, menambahkan banyak spesies burung, yang dapat dilihat sebagai upaya untuk mengatur perdagangan lebih baik,” tulisnya. “Namun, perdagangan burung di [Indonesia] sangat mengakar secara budaya sehingga perdagangan ilegal atau tidak berkelanjutan sering kali bukan prioritas penegakan.”

Chng juga menekankan perlunya penegakan hukum lebih ketat, sementara penyitaan oleh pihak berwenang di Filipina dan Indonesia meningkat dan perdagangan tidak resmi terus berkembang.

Laporan TRAFFIC juga membandingkan data perdagangan dari pemerintah Filipina dan negara lain. Filipina melaporkan ekspor 1.034 burung dari 21 spesies antara tahun 1979 dan 2019, tetapi negara lain melaporkan menerima delapan kali lipat dari jumlah tersebut. Sementara, negara tersebut telah memiliki undang-undang yang melarang perdagangan satwa liar dari penjual mana pun tanpa izin.

 

Burung kakatua yang diperdagangkan ilegal dimasukkan dalam kandang dengan kondisi berdesakan. Foto: Emerson Y.Sy

 

Laporan tersebut menemukan ekspor enam spesies burung yang terdaftar di bawah CITES Apendiks I, yang perdagangan komersialnya dilarang, dan tidak ada fasilitas ekspor yang disetujui di Filipina.

Salah satu solusi potensial yang direkomendasikan Chng adalah mengadakan inspeksi rutin terhadap fasilitas penangkaran berlisensi, yang merupakan masalah global.

“Banyak contoh fasilitas penangkaran terdaftar yang sebenarnya bukan penangkaran burung atau jenis satwa lainnya,” katanya. “Mereka mengambil hewan dari alam liar dan menahan, menjual, dan menyerahkannya sebagai hasil penangkaran.”

Chng menambahkan, “Kita dapat melihat sebuah tempat dan mengatakan bahwa tidak mungkin ada pembiakan yang terjadi di sini.”

 

Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini: Survey finds thriving online market for Indonesian birds in Philippines. Artikel diterjemahkan oleh Akita Verselita.

 

Exit mobile version