Mongabay.co.id

Seko dan Rampi , Jantung Sulawesi yang Terancam Tambang

 

 

“Bisakah Seko maju tanpa ada perusahaan?” begitu lontaran pertanyaan seorang imam di Seko, pada satu malam. Banyak pertanyaan seperti ini datang padanya.

Dia pribadi yakin Seko bisa maju tanpa perusahaan atau investasi skala besar.  Tetapi sebagian warga seakan tak yakin dan bertanya-tanya bagaimana mereka bisa maju kalau tak ada perusahaan masuk.

Seko, kampung halaman sang imam adalah satu kecamatan di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan.  Ada 12 desa terbagi dalam tiga wilayah besar yaitu Seko Padang, Seko Lemo dan Seko Tengah. Daerah ini berada sekitar 120 kilometer dari Masamba, ibukota Kabupaten Luwu Utara.

Untuk bisa sampai ke sana, perlu waktu minimal tujuh jam berkendara motor dengan modifikasi khusus yang siap berhadapan dengan tanjakan, turunan penuh lubang dan lumpur. Kalau musim hujan, waktu tempuh bisa dua kali lipat, bahkan terkadang harus menginap di jalan.

Sudah jadi rahasia umum di Luwu Utara, Seko, begitu sulit diakses, infrastruktur jalan masih sangat buruk, hingga perlu waktu berjam-jam bisa sampai ke kecamatan ini.

Jalan buruk sudah puluhan tahun. Dalam ingatan masyarakat Seko,  tak pernah  ada jalan layak yang menghubungkan antara Kecamatan Seko dengan Masamba.

Tanjakan dan turunan jadi menu utama ditambah kubangan lumpur yang dalam. Belum lagi lubang memanjang serupa parit biasa masyarakat Seko sebut “terowongan”.  Motor dan mobil harus menyeberang sungai sedalam paha orang dewasa.

Terkadang, pengendara motor harus mengalami kerusakan setelah mesin tertutup air sungai.

Kecamatan Rampi,  yang bertetangga dengan Seko mengalami hal sama.  Jalanan yang menghubungkan antara Rampi dan Masamba, begitu buruk. Tak ada tanda-tanda perbaikan.

Perbaikan jalan jadi tuntutan utama masyarakat di dua kecamatan ini. Hampir semua orang yang dijumpai menginginkan hal sama: perbaikan jalan. Hasil pertanian seperti beras Seko (tarone) dan hasil perkebunan seperti kakao dan kopi begitu sulit menjangkau pasar hingga para petani dapatkan harga setimpal. Akses jalan buruk seperti persoalan abadi, berlangsung terus menerus.

Dalam catatan antropolog Ian Caldwell,  yang mengunjungi Seko pada 1992 lewat sebuah perjalanan berkuda dengan seorang pemandu lokal, bermula dari Sabbang sampai Kalumpang yang kini masuk wilayah Sulawesi Barat.

Dia menyatakan,  wilayah yang dijalani ini berhutan lebat dan potensi tambang besar. Di Eno, pusat dari Kecamatan Seko, dia melihat masyarakat yang sudah berkecukupan mendiami wilayah ini. Landasan pacu pesawat, antena televisi dan rumah-rumah baru modern sudah tersaji di Seko. Namun,  kebutuhan akses terhadap dunia luar dan fasilitas dasar jadi harapan masyarakat Seko.

Bagi Caldwell, akses dan fasilitas dasar buruk buah dari penelantaran ketimbang sebagai proses yang berlangsung begitu saja.

Puluhan tahun setelah Caldwell datang ke wilayah ini, akses jalan masih sangat buruk. Kuda sudah jarang digunakan sebagai mengangkut hasil bumi menemui pasar. Kuda berganti kendaraan motor, sebagai transportasi utama.

 

Pengojek di Seko, barang barang keperluan warga dari Masamba. Kondisi jalan begitu buruk. Foto:Ady Anugrah Pratama

 

Ancaman tambang

Seko dan Rampi adalah jantung Sulawesi. Jantung disini dimaknai dalam dua pengertian, pertama, Seko adalah sumber air untuk Sulawesi Barat yang mengalirkan air dari Sungai Bitue (Seko) sampai pada DAS Karama. Sementara Rampi adalah hulu dari empat DAS besar: Balease, Kallaena, Lariang Hulu dan DAS Poso.

Ibarat jantung dalam tubuh yang memompa darah ke seluruh tubuh, Seko dan Rampi mengalirkan air ke tiga provinsi, yaitu, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan.

Kedua, jika dilihat dari peta, secara geografis Seko dan Rampi berada di tengah Pulau Sulawesi.

Sebagai jantung Sulawesi, Seko dan Rampi,  memiliki fungsi ekologis untuk memastikan ketersediaan air bagi banyak wilayah di Sulawesi, saat musim kemarau. Pada musim penghujan, kedua wilayah ini memiliki fungsi sebagai penyimpan air agar tak banjir. Kedua fungsi itu, hanya dapat berjalan dengan baik kalau ekosistem hutan terjaga.

Ekosistem hutan tersisa di Sulawesi Selatan,  sekitar 1,3 juta hektar. Kabupaten Luwu Utara,  merupakan daerah yang memiliki ekosistem hutan terluas dibanding daerah lain, luas 511.535 hektar atau 38%. Lebih dari setengah hutan di Luwu Utara, terkonsentrasi di dua wilayah yang disebut sebagai jantung Sulawesi yaitu Seko dan Rampi, seluas 275.096 hektar.

Luasan yang terjaga ini menunjukkan, selama ini masyarakat yang hidup dan bermukim di Seko dan Rampi,  terbukti mampu mengelola hutan secara arif dan berkelanjutan.

Saat ini, ada tiga konsesi pertambangan aktif di Kabupaten Luwu Utara, antara lain kontrak karya PT Citra Palu Mineral,  sekitar 23.629 hektar, berada di Seko dan Rampi. Lalu,  izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi PT Kalla Arebamma di Seko seluas 6.812 hektar dan di Rampi 12.010 hektar.

Rencana pertambangan kedua perusahaan itu merupakan ancaman nyata bagi ekosistem hutan di Luwu Utara. Luas ekosistem hutan dalam ketiga konsesi itu mencapai 33.792 hektar. Karena itu, kalau rencana pertambangan Kalla Arebamma dan Citra Palu Mineral berjalan, Seko dan Rampi,  sebagai jantung Sulawesi terancam kehilangan fungsi ekologisnya sebagai pengatur tata air.

Selain mengancam ekosistem hutan yang memiliki jasa ekologis dan keanekaragaman hayati tinggi, ketiga konsesi pertambangan secara langsung mengancam kehidupan masyarakat Seko dan Rampi. Di sana ada perkampungan, sumber air, lahan pertanian, kebun, situs budaya, dan fasilitas umum yang masuk dalam konsesi pertambangan.

Di Kecamatan Seko, Kalla Arebamma,  mengantongi izin usaha produksi dengan komoditas bijih besi. Sampai sekarang, belum ada operasi pertambangan Kalla Arebamma. Dari luasan konsesi itu terbagi jadi dua blok, yaitu, Rantekama dan Tamalangka.

Untuk blok Rantekama, sebagian pemukiman, lahan perkebunan, dan lahan pertanian masyarakat di Desa Marante masuk wilayah izin usaha pertambangan.

 

Kakao, salah satu komoditas utama masyarakat Seko Foto Ady Anugrah

 

Luasan Blok Rantekama 2.080,79 hektar dan Blok Tamalangka 2.365,22 hektar. Di dalam Blok Rantekama,  ada kawasan hutan lindung 671,26 hektar dan hutan produksi terbatas 1.386 hektar, selebihnya area penggunaan lain (APL) 23,53 hektar.

Di Blok Tamalangka,  sebagian besar berada dalam kawasan hutan produksi terbatas sekitar 2.321, 69 hektar, selebihnya area penggunaan lain.

Di Kecamatan Rampi, Kalla Arebamma memegang konsesi seluas 12.010 hektar untuk emas. Berdasarkan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), terdapat tiga blok rencana tambang, yaitu Onondowa 1.116 hektar, Maleda 1.238 hektar, dan Bangko 1.368 hektar. Ketiga daerah yang akan ditambang itu didominasi hutan dengan keanekaragaman hayati tinggi.

Menurut keterangan warga Rampi, Blok Maleda dan Bangko merupakan habitat bagi burung alo dan kuskus, dua hewan endemik Sulawesi dilindungi.

Berdasarkan dokumen amdal Kalla Arebamma di Seko dan Rampi, perusahaan akan menambang dengan cara open pit (tambang terbuka). Berarti,  apapun di atas tanah, termasuk hutan harus terlebih dahulu dipangkas. Aktivitas ini, sangat berisiko tinggi di tengah situasi krisis iklim yang mengharuskan setiap pihak melakukan upaya-upaya mitigasi dan adaptasi.

 

Jalanan berupa padang luas yang merupakan akses utama menuju Eno, pusat pemerintahan Kecamatan Seko. Foto: Ady Anugrah

 

Abaikan ketentuan hukum

LBH Makassar dan Jurnal Celebes lakukan kajian izin Kalla Arebamma,  yang mengantongi IUP di Kecamatan Seko dan Rampi. Kajian dengan membaca dokumen Perda RTRW Luwu Utara, Peta Kawasan Hutan (SK 434/2009 dan SK 362/2019), IUP eksplorasi, amdal, izin lingkungan, dan IUP operasi produksi.

Kami juga bersurat ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mengkonfirmasi terkait izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Dokumen perizinan itu diperoleh langsung melalui instansi terkait, atau pun melalui kanal-kanal resmi pemerintah.

Dokumen yang diperoleh melalui permohonan informasi publik, dianalisis dan dibandingkan dengan data lapangan yang didapatkan dari observasi lapangan dan wawancara dengan warga di Kecamatan Seko dan Rampi. Dari hasil telaah izin ini, ditemukan beberapa dugaan pelanggaran.

Secara hukum, wilayah izin usaha pertambangan Kalla Arebamma bermasalah, pertama,  IUP di Kecamatan Seko bertentangan dengan Perda RT/RW Kabupaten Luwu Utara Nomor 02/2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Luwu Utara. Begitu pun dengan izin di Kecamatan Rampi, juga tidak sepenuhnya masuk RTRW Luwu Utara.

Dari luasan 12.010 hektar IUP Kalla Arebamma di Rampi, hanya 330 hektar sesuai RTRW atau sekitar 2,76%. Kalau konsisten pada rencana tata ruang wilayah, seharusnya tak boleh ada izin tambang terbit di wilayah ini.

Sebelum meningkatkan IUP eksplorasi menjadi IUP operasi produksi, perusahaan terlebih dahulu harus memperoleh izin lingkungan. Dalam proses memperoleh izin lingkungan, kesesuaian ruang antara rencana kegiatan dengan rencana tata ruang wilayah menjadi aspek penting. Bahkan, dokumen amdal tidak bisa diproses oleh Komisi Penilai Amdal, dan dikembalikan apabila lokasi kegiatan tak sesuai tata ruang wilayah.

Yang menarik, penyusun amdal Kalla Arebamma di Rampi secara eksplisit pada dokumen KA-Andal menyatakan,  rencana penambangan tidak sesuai RTRW Kabupaten Luwu Utara.

Selain itu, pada kedua Amdal Kalla Arebamma di Seko dan Rampi, tak ada satu pun lampiran mengenai kesesuaian ruang.

Kedua, dua konsesi milik Kalla Arebamma ini masih belum memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Ia terkonfirmasi berdasarkan surat resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 16 September 2022 yang menerangkan, Kalla Arebamma di Rampi dan Seko tidak memiliki IPPKH, baik untuk survei/eksplorasi maupun operasi produksi.

Sebelum mengantongi izin usaha produksi, Kalla Arebamma telah eksplorasi, sementara dalam proses perusahaan belum mengantongi IPPKH. Aktivitas eksplorasi oleh perusahaan tanpa mengantongi IPPKH  berarti melanggar hukum.

Merujuk pada ketentuan di Undang-undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan mewajibkan setiap aktivitas di dalam kawasan hutan, wajib mendapatkan IPPKH dari menteri, termasuk aktivitas pertambangan.

Dalam UU Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengerusakan Hutan (P3H) melarang aktivitas pertambangan di dalam kawasan hutan tanpa seizin pejabat berwenang. Kalau terjadi pelanggaran, berkonsekuensi hukum baik pidana maupun adiministrasi.

Selanjutnya, proses penerbitan izin dua perusahaan ini tanpa partisipasi dari masyarakat Seko dan Rampi. Masyarakat tak pernah dapat informasi lengkap terkait rencana pertambangan dua perusahaan itu. Juga tak pernah dimintai persetujuan, dan tak pernah diperlihatkan apalagi diberikan dokumen-dokumen perizinan, baik perizinan lingkungan maupun pertambangan.

Masyarakat Seko dan Rampi tegas menolak rencana pertambangan keduanya.

 

Sungai Bitue. Foto: Ady Anugrah

 

Dari proses mendapatkan izin lingkungan, perusahaan tak pernah melibatkan masyarakat melalui pengumuman dan konsultasi publik. Padahal, kalau mengikuti ketentuan UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada Pasal 26 menjelaskan,  dokumen lingkungan hidup disusun dengan melibatkan masyarakat melalui pengumuman dan konsultasi publik.

Peraturan turunannya, yaitu, Peraturan Pemerintah No. 27/2012 tentang Izin Lingkungan Hidup Pasal 9, dan diperjelas melalui Permen Lingkungan Hidup No. 17/2012 tentang keterlibatan masyarakat dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan hidup dan izin lingkungan. Dalam aturan itu, mewajibkan pemrakarsa melibatkan masyarakat terdampak, pemerhati lingkungan, dan masyarakat yang terpengaruh dalam proses penyusunan dokumen lingkungan.

Dalam Amdal Kalla Arebamma tak ada nama-nama warga Kecamatan Rampi yang ikut sosialisasi dan konsultasi KA-Andal walaupun dalam dokumen itu terdapat dokumentasi dan Berita Acara. Masyarakat Rampi tak pernah mendapatkan informasi terkait konsultasi publik dan keterlibatan masyarakat dalam Komisi Amdal.

 

 

Selamatkan Seko dan Rampi dari tambang

Di Seko, penolakan mulai muncul dan terus dilakukan. Tubarak, pemimpin tertinggi Masyarakat Adat Hono (Seko) bercerita tentang orang perusahaan yang menemuinya di Masamba. Perwakilan perusahaan ini berujar dan meminta izin kepada tubarak untuk menambang di Desa Marante, Seko.

Tubarak kaget, karena sebelumnya tak pernah mendengar kabar tentang rencana tambang di Seko. Permintaan izin oleh perwakilan perusahaan tambang dinilai upaya melangkahi,  bukan sama sekali upaya meminta izin kepada masyarakat Seko.

Tubarak langsung menyelenggarakan musyawarah adat di rumahnya. Hasilnya, para pemangku adat sepakat menolak tambang dan mengusir orang tambang di Seko.

 

Salah satu situs sejarah yang ada di Seko berupa Isong atau lesung yang berukuran besar yang berada di tengah kebun warga di Eno, Kecamatan Seko. Foto: Ady Anugrah

 

Alasan utama penolakan karena area pertambangan berada di wilayah yang sangat dijaga yaitu Rantekama dan Tamalangka. Tamalangka jadi hulu Sungai Bitue yang aliran menjadi sumber air utama masyarakat dari desa-desa di Seko. Sungai melintas ke Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Rantekama adalah daerah yang dijaga masyarakat dan merupakan kawasan hutan.

Pada 12 September 2022, di rumah adat Rampi di Desa Onondowa, komunitas adat yang tersebar di tujuh wilayah melakukan musyawarah adat khusus. Hasilnya,  seluruh komunitas adat menolak izin usaha pertambangan, apalagi kalau aktivitas pertambangan masuk Rampi.

Spanduk penolakan dari tujuh desa sudah terpasang, sebagai pernyataan sikap masyarakat Rampi terhadap keberadaan izin usaha pertambangan di wilayah mereka.

Kebutuhan utama masyarakat Seko dan Rampi adalah pemenuhan infrastruktur dasar seperti jalan. Pemerintah, baik kabupaten, provinsi sampai pusat harus menyambut tuntutan dan harapan masyarakat Seko dan Rampi ini.

Dengan mengelola tanah lewat bertani, berkebun dan beternak, masyarakat Seko dan Rampi sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari serta untuk membiayai kebutuhan pendidikan anak-anak mereka. Kehadiran perusahaan tambang hanya akan merusak ekonomi masyarakat, hubungan sosial kemasyarakatan, hutan dan lingkungan hidup.

Dampaknya,  akan dirasakan banyak orang, bukan hanya Seko dan Rampi, juga semua yang bergantung pada jantung Sulawesi.

 

 

Masyarakat Desa Onondowa, Kecamatan Rampi sedang melakukan panen. Foto: Riski Saputra

 

***

 

 

Penulis adalah Ady Anugrah Pratama, pengacara di LBH Makassar dan Riski Saputra, peneliti di Jurnal Celebes. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

 

Exit mobile version