Mongabay.co.id

Nasib Nelayan Pesisir Batam Kala Hutan Mangrove Terkikis

 

 

 

 

Deru mesin pompong terdengar dari pelataran rumah nelayan di tepi anak Sungai Pengabu, Kelurahan Tembesi, Kecamatan Sagulung, Batam, Kepulauan Riau, sore awal Oktober lalu. Perlahan, suara makin keras mendekati pelantar pertanda sampan nelayan baru kembali dari melaut.

Satu per satu nelayan melabuhkan kapal. Setelah berkemas, mereka segera membawa hasil tangkapan pulang.

“Sepi (hasil tangkapan), sudah tidak ada ikan lagi,” kata Abdul Ganip, nelayan 57 tahun usai menepikan kapal.

Ganip merasakan hasil tangkap ikan tak seperti dulu lagi. Sekarang, katanya, dapat ikan susah setelah kawasan mangrove di Sungai Pengabu, tertimbun.

Dia memperlihatkan isi teromos merah berisikan hasil tangkapan. Hanya ada beberapa ekor udang di termos itu.  “Inilah hasilnya, hanya bisa untuk makan, dijual tidak bisa,” katanya kepada Mongabay.

Hasil tangkapan menurun dia rasakan sejak dua tahun belakangan. Dia biasa sehari dapat tiga kilogram, sekarang mencari setengah kilogram sangat sulit.

Ganip pun kurangi alat tangkapnya. Awalnya,  tujuh bubu, sekarang tersisa dua. Bubu ini alat tangkap berbentuk keranjang yang dipasang di permukaan air. “Kayak mana lagi, dulu mencari Rp250.000 satu hari gampang, sekarang Rp50.000 susah,” katanya.

Ganip bilang, satu faktor tangkapan minim karena terjadi penimbunan di darat. Sebagian material dan tanah pun luruh hingga laut pesisir Putri Hijau kumuh. Tak pelak, ikan dan udang hilang.

Kondisi itu,  membuat mata pencaharian Ganip terganggu. “Kalau seperti ini hasilnya.”

Dengan hasil tangkapan seperti itu, katanya, tak bisa memenuhi keperluan keluarga. Dia pun terpaksa beralih jadi tukang bangunan.

Laut pesisir rusak hingga Ganip melaut lebih jauh. Kondisi itu menambah biaya bahan bakar kapal. “Apalagi minyak (BBM) sekarang sudah naik, dulu biaya sekolah aman, sekarang makan pun kurang,” katanya.

Ganip tidak bisa berbuat banyak. Dia tidak mengutarakan satupun harapan untuk pemerintah. “Sia-sia juga teriak, yang penting sekarang berusaha dulu bayar sekolah anak, sudah itu saja.”

 

 

 

Awang Gafar, nelayan 67 tahun ini pun rasakan hal serupa. “Dulu,  masih lumayan dan mewah hasilnya,” kata warga Bagan, Kelurahan Tanjung Piayu ini.

Desa Gafar berada di sebelah selatan Pulau Batam. Awang sudah melaut di Pesisir Bagan Piayu sejak 80-an. Dulu,  hasil laut pesisir Bagan banyak. Mencari udang dua kilogram sebentar, tetapi sekarang cari tiga ons saja susah.

“Dulu masih lumayan dan mewah hasilnya,” kata Gafar sambil duduk di pelantar rumahnya. Rumah Gafar berbentuk panggung. Di sekeliling pesisir ini terdapat tutupan mangrove.

Gafar menduga, satu penyebab hasil tangkapan berkurang karena laut pesisir Bagan rusak. “Limbah dari darat masuk ke laut, air jadi keruh, dan busuk, apalagi kalau hujan air jadi berwana putih,” kata Gafar.

Begitu juga dikatakan Abas. Pria 65 tahun ini juga mengalami penurunan hasil tangkapan melaut di pesisir Bagan. Terkadang katanya, pendapatan tak bisa membayar biaya yang dikeluarkan. “Modal saya sekali melaut Rp30.000, tetapi penghasilan tidak ada sampai segitu,” katanya.

Bantuan dari pemerintah untuk nelayan memang ada, katanya, tetapi setiap kelompok ada giliran mendapatkan bantuan itu. “Banyak yang meninggal duluan tetapi bantuan belum juga dapat.”

Nelayan lain, Khalid juga mengakui penghasilan melaut berkurang setiap tahun. Salah satunya, karena limbah turun dari timbunan di Perumahan Buada Garden.

Buana Garden,  satu lokasi pembangunan perumahan yang juga menyebabkan kerusakan mangrove. Nelayan terdampak pernah protes.

“Tiga hari hujan, berturut-turut kita sudah susah dapat ikan, limbah dari timbunan Buana Garden masuk ke laut, air berubah warna seperti teh susu,” katanya.

Dulu, kata Khalid, tidak pernah pakai umpan saat menjala udang. Sekarang,  pakai umpan saja hasil tidak memuaskan. “Saya untung bisa hidup dengan bantuan hasil panen kelapa.”

Tidak hanya di Tanjung Piayu Batam, di sebelah barat laut Pulau Batam pun nelayan pesisir mengalami penurunan hasil tangkapan.

Saparrudin, nelayan Patam Lestari, Kecamatan Sekupang Kota Batam mengatakan, beberapa tahun belakangan hasil tangkapan berkurang. “Tidak bisa dihitunglah, yang penting sekarang sudah susah,” katanya kepada Mongabay Oktober lalu.

 

Penimbunan mangrove di Kota Batam. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Dia contohkan, kepiting bakau dulu sangat berlimpah sekarang sudah susah. “Sekarang,  keluar duit untuk jajan anak-anak mikir dua kali, kalau dulu tidak, begitulah,” katanya.

Dia  duga, tangkapan berkurang karena lingkungan rusak. Dalam beberapa hari melaut dia menemukan air laut di Patam Lestari pemnuh limbah rumah tangga. “Bagaimana ikan mau hidup, laut rusak, limbah turun dari perumahan-perumahan itu, ini dulu semua bakau, sekarang sudah digusur [untuk perumahan],” katanya.

Saat ini, katanya,  ruang laut nelayan melaut makin sempit karena nelayan terus bertambah. Belum lagi, bahan bakar naik. “Dulu kita beli satu jeriken Rp180.000 sekarang Rp240.000, pendapatan begitu-begitu saja.”

Saparuddin tak mau berharap kepada pemerintah. Pemerintah, katanya, tenmtu sudah tahu kondisi ini. “Mereka sudah tau, contohnya foto copy KTP kita sering diminta, KK [kartu keluarga] kita, untuk bantuan, tetapi sampai sekarang tidak ada. Maka tak berharap, yang penting sekarang bisa kerja, banyak lagi orang susah dari kita,” katanya.

 

 

 

 

Hutan mangrove hilang

 Di lokasi Abdul Ganip melaut terjadi penimbunan hutan mangrove untuk perumahan. Penimbunan dan perusakan mangrove ini pernah dilaporkan Akar Bhumi. Akar Bhumi, merupakan organisasi lingkungan di Kota Batam.

Sony, Ketua Akar Bhumi mengatakan, sudah melaporkan penimbunan mangrove di Putri Hijau, Sagulung, Batam. Laporan itu hampir ke semua lembaga terkait setahun lalu.

Proses pembangunan perumahan sempat berhenti. Empat bulan terakhir ini kembali berjalan. “Lokasi penimbunan makin luas, kita sudah laporkan tetapi tidak ada tindakan,” kata Sony.

Akar Bhumi setidaknya sudah laporan 22 kasus kerusakan lingkungan di Batam. Paling banyak terjadi adalah kerusakan hutan mangrove. Padahal, katanya, hutan mangrove sangat penting bagi masyarakat.

Sony pun sering menerima laporan dari nelayan soal tangkapan berkurang saat cari ikan di laut.

Data Nusantara Atlas menunjukkan, luasan mangrove di Pulau Batam sekitar 5.873 hektar pada 1990, sekarang tersisa 2.395 hektar.

Dari pantauan satelit,  kerusakan oleh dua hal besar yaitu pembangunan perkotaan dan jadi waduk untuk pasokan air warga Batam.

Penelitian Bernadetta Alnybera Febriannaningsih dan Nurul Khakhim berjudul  “Aplikasi Citra Landsat Thematic Mapper dan Operasional Land Imager untuk pemetaan perubahan tutupan dan kerapatan mangrove 1990-2015 di Pulau Batam dan sekitarnya’ menyebutkan, 96% penyebab mangrove rusak di Batam karena ulah manusia, 4% faktor alam.

Dalam penelitian sama juga ditemukan terjadi penurunan mangrove. Pada 1990-2000,  terjadi penurunan luasan mangrove 18,45 km2 (1.845 hektar). Pada, pengamatan 2000-2015 seluas  21,78 km2 (2.178 hektar).

 

Hutan mangrove yang ditimbun untuk perumahan. Foto Yogi Eka Sahptura/ Mongabay Indonesia

 

Selain mengalami perubahan luas, Pulau Batam, Rempang, dan Galang mengalami perubahan kerapatan mangrove.

Luasan mangrove yang berkurang dari 1990-2000 disebabkan beberapa faktor antara lain 5,81%  berubah jadi bangunan industri,  hutan lahan kering (6,43%), dan kebun campuran (7,17%). Kemudian jadi lahan kosong (12,56%), perairan laut (9,86%), 11,11% jadi permukiman,  tambak ikan (0,38%), serta waduk (55,77%).

Berdasarkan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universtias Riau setiap tahun diperkirakan terjadi kerusakan kawasan mangrove sekitar 375,82 hektar di Batam.

Didy Wurjadi, Kepala Humas Badan Restorasi Gambut dan Mangrove mengatakan,  mangrove di pulau-pulau kecil seperti Batam penting terjaga sebagai pelindung dari ombak besar hingga mengantisipasi abrasi.

Selain itu, mangrove mampu mengikat zat pencemar dengan menetralkan dan menjernihkan perairan. Apalagi, katanya,  akar mangrove Rhizophora mucronata memiliki kemampuan menyerap limbah berbahaya.

 

Seorang nelayan kecil mendorong sampan di perairan Bagan Batam. Perairan ini tercemar akibat penimbunan mangrove di daratan. Foto Yogi Eka Sahputra .Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

*******

Exit mobile version