Mongabay.co.id

Indonesia Bakal Gugat Perdata PTTEP Australasia Terkait Tumpahan Minyak Montara

 

Pemerintah Indonesia akan mengajukan gugatan perdata atas kerugian lingkungan hidup akibat tumpahan minyak di Montara yang terjadi di laut Timor pada 2009 lalu kepada PTT Exploration & Production (PTTEP) Australasia

Hal tersebut diungkapkan Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Alue Dohong dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Maritim dan Investasi di Jakarta, Kamis (24/11/2022).

Alue mengatakan gugatan perdata ditargetkan akan dilaksanakan pada semester pertama 2023. Hasil keputusan pengadilan federal Australia terhadap gugatan class action petani rumput laut akan menjadi tambahan bukti.

Tambahnya, gugatan yang diajukan terkait kerusakan perairan laut serta kerugian akibat kerusakan ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu karang.

“Kalkulasi awal kami dulu, kerugian kita estimasi hampir Rp23 triliun. Kita juga ajukan gugatan perdata terkait biaya pemulihan atas kerusakan dengan estimasi sekitar Rp4,4 triliun,” bebernya.

Saat ini kata Alue, pihaknya terus mengumpulkan data dengan melibatkan para ahli termasuk menghitung luas spasial yang dihitung secara ilmiah. “Itu akan memperkuat kalkulasi biaya kerusakan lingkungan maupun biaya pemulihannya,” katanya.

Untuk pengajuan gugatan tersebut, pemerintah Indonesia akan membentuk tim task force dengan berkoordinasi bersama Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Australia serta memfasilitasi para saksi ahli dari Indonesia serta para korban terdampak ke Australia.

baca : Pencemaran Laut Terus Terjadi di NTB dan NTT, Pemerintah Diminta Bersikap Tegas

 

Menko Marves Luhut B Pandjaitan (tiga dari kiri) dan Wakil Menteri LHK Alue Dohong dalam konferensi pers tentang update penanganan kasus tumpahan minyak Montara di Kantor Kemenko Maritim dan Investasi di Jakarta, Kamis (24/11/2022). Foto : Kemenko Marves

 

Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan untuk memperkuat tim Task Force bekerja, akan disusun Perpres dengan Pemrakarsa melalui Kemenko Marves. Jika Perpres tersebut telah diterbitkan, pemerintah akan melayangkan gugatan di dalam dan luar negeri yang akan dikoordinasikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Hukum dan HAM.

“Tindak lanjut ke depan, kami tetap mendorong adanya Peraturan Presiden untuk menyelesaikan permasalahan ini mengingat ini baru dua kabupaten yang terselesaikan, masih ada 11 kabupaten yang belum terselesaikan. Di samping itu, kami melihat dari isu kerusakan lingkungan cukup besar. Oleh karena itu perlu kita selesaikan lewat Peraturan Presiden sebagai payungnya,” ujar Luhut.

Sebelumnya, pada 19 Maret 2021, Pengadilan Federal Australia di Sydney memenangkan gugatan 15.481 petani rumput laut dan nelayan NTT. Hakim pengadilan Federal David Yates mengatakan bahwa tumpahan minyak yang bersumber dari PTT Exploration & Production (PTTEP) Australasia tersebut telah menyebabkan kerugian secara material.

Selain itu, kata David, tumpahan minyak mengakibatkan kematian serta rusaknya mata pencaharian para petani rumput laut dan nelayan di NTT.

Putusan pengadilan yang kedua pada tanggal 25 Oktober 2021 juga memenangkan perwakilan petani rumput laut NTT terhadap PTTEP dan hasil negosiasi pada tanggal 16 September 2022 pada Gugatan Class Action terhadap kasus tumpahan minyak Montara tahun 2009.

Montara kini dioperasikan oleh Jadestone Energy yang berbasis di Singapura, setelah mengakuisisi aset Montara dari PTTEP pada 2018.

baca juga : IPB: Pencemaran Teluk Bima Akibat Fitoplankton

 

Tiga fotografer tengah mengambil gambar dampak pencemaran di Laut Timor akibat ledakan kilang di Blok Montara milik PTTEP di Autralia pada September 2009. Foto: WWF

 

Perjuangan Panjang

PTTEP Thailand telah menggelar penyelesaian di luar pengadilan dengan petani rumput laut Indonesia setelah setuju untuk membayar A$192,5 juta (US$127,4 juta) sebagai kompensasi atas tumpahan minyak yang diakibatkan ledakan Montara 2009 di lepas pantai Australia.

Ferdi Tanoni pendiri sekaligus ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) kepada Mongabay Indonesia, Kamis (1/12/2022) merasa bersyukur atas keputusan pengadilan federal di Australia.

Ferdi mengakui, sejak awal dirinya berjuang bersama para petani rumput laut dan nelayan agar perusahaan bisa mengaku bersalah dan memberikan ganti rugi terhadap kerugian yang diderita.

“Saya tidak ada uang, perkara ini butuh uang sebab saksi saja 40 orang dibawa dari Indonesia belum biaya lainnya.Ini kan perkara besar,” ungkapnya.

Dikutip dari BBC Indonesia, gugatan kelompok ini dibiayai oleh Harbour Litigation Funding Limited, salah satu penyandang dana litigasi terbesar di dunia.

Imbalannya, mereka akan mendapatkan sebagian dari hasil jika kasus ini berhasil dimenangkan.

Ferdi menegaskan, dana ganti rugi tersebut akan ditransfer langsung ke rekening para petani rumput laut dan nelayan.

Nilai ganti rugi ini hanya untuk 2 kabupaten yakni Kupang dan Rote Ndao dengan jumlah petani rumput laut dan nelayan yang sudah terdaftar.

Sementara untuk 11 kabupaten dan kota lainnya di NTT yang juga terdampak datanya sudah lengkap, tinggal menunggu waktu saja untuk ditindaklanjuti.

“Nanti kta lihat kedepannya bagaimana.Perusahaan ini harus berbesar hati karena mereka bersalah sehingga harus mengakuinya,” tegasnya.

baca juga : Perlu Upaya Serius Mencegah Tumpahan Minyak di Laut

 

Konsultan ekologi Simon Mustoe mengamati kumpulan residu yang ditemukan di air akibat tumpahan minyak akibat ledakan di kilang Montara Australia pada September 2009. Foto: Kara Burns/WWF

 

Ferdi merasa senang karena pada awalnya tidak berharap berhasil dalam perjuangan ini. Dia mengatakan bukan soal besaran nilai ganti rugi, tapi minimal perusahaan memberikan ganti rugi atas apa yang terjadi.

Ia menghimbau agar semua bisa bersabar menunggu realisasinya sebab  membutuhkan waktu. Namun dirinya berharap agar dalam waktu yang tidak terlalu bisa segera terealisasi ganti rugi tersebut.

“Perjuangan ini sudah 13,5 tahun dan tentu bukan waktu yang sebentar. Kami rakyat NTT banyak yang menderita, ada yang meninggal terkena dampak kasus ini,” ungkapnya.

Ferdi menegaskan, apabila perusahaan mau menyelesaikan secara keseluruhan dampak yang ditimbulkan maka pihaknya akan membuat ucapan terima kasih.

Hal ini menurutnya tentu akan berdampak baik kepada perusahaan tersebut karena merupakan perusahaan publik.

 

Gugat Kerusakan Lingkungan

Direktur Eksekutif Daerah WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi kepada Mongabay Indonesia mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh pendamping petani rumput laut dan nelayan bersama tim kuasa hukumnya.

Umbu Wulang menegaskan, kemenangan yang diperoleh menegaskan bahwa telah terjadi pencemaran laut yang mengakibatkan kerugian baik dari segi ekonomi maupun lingkungan hidup.

“Ini sebuah proses panjang yang sangat patut diapresiasi. Para petani, nelayan bersama tim kuasa hukumnya sangat konsisten mengawal poses hukum ini,” ungkapnya.

Umbu Wulang menyesalkan eksekusi putusan pengadilan federal ini dari Pemerintah Australia yang terkesan lama. Dirinya berharap Pemerintah Indonesia harus memastikan ganti rugi ini bisa segera direalisasikan.

Ia meminta agar masyarakat sipil dan pihak terkait lainnya harus mengawal hingga tahap eksekusinya supaya ganti rugi dan pemulihan ekosistim di laut bisa berjalan.

“Harus dikawal eksekusinya termasuk pemulihan ekosistimnya seperti konservasi kembali terumbu karang yang terkena dampak dan kawasan-kawasan yang selama ini terdampak dari pencemaran tumpahan minyak ini,” pintanya.

 

Petani sedang menanam rumput laut di Desa Tablolong, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, NTT. Produksi rumput laut di daerah tersebut terganggu sejak tumpahan minyak Montara. Foto : Antara Foto/Kornelis Kaha

 

Laut Timor Tercemar

Dikutip dari energyvoice.com, pencemaran perairan laut Timor, NTT akibat tumpahan minyak mentah (crude oil) pasca pasca ledakan pada pengeboran sumur Montara di lepas pantai utara Australia Barat pada  21 Agustus 2009. Tumpahan minyak di laut ini berlangsung selama 74 hari hingga sumur batuan dibor guna menghentikan kebocoran.

Pada saat kejadian, kilang minyak di Montara ini dioperasikan oleh PTT Exploration & Production (PTTEP) Thailand. Lokasinya sejauh 250 km sebelah tenggara Pulau Rote, Provinsi NTT.

Dampak dari kejadian ini menyebabkan para nelayan dan petani rumput laut di NTT mengalami kerugian.

Dikutip dari website Kemenko Marves, tumpahan minyak ini menyebabkan 90 ribu kilometer persegi laut Timor tercemari. Setidaknya 85 persen tumpahan minyak ini terbawa oleh angin dan gelombang laut ke perairan Indonesia.

Penelitian dari USAID Perikanan Lingkungan Hidup dan Pemerintah Provinsi NTT pada tahun 2011 menyebutkan, dampak dari tumpahan minyak ini mengakibatkan paling tidak ada 64 ribu hektare terumbu karang rusak.

Sekitar 60 persen terumbu karang di perairan Laut Sawu hancur serta ikan-ikan demersal serta udang banyak yang mengalami kematian.

Dikutip dari jurnal Penyelesaian Sengketa Pencemaran Laut Timor Akibat Kebocoran Sumur Minyak Montara Australia Antara Indonesia dan Australia oleh Maya Dwi Ambarwati Universitas Medan Area, tim nasional melakukan observasi dan pengambilan sampel.

Sebaran tumpahan minyak di Laut Timor berdasarkan pemantauan citra satelit tanggal 30 Agustus sampai dengan tanggal 3 Oktober 2009 seluas 16.420 km, Secara visual permukaan di Laut Timor pada daerah perbatasan ZEE Indonesia – Australia terdapat lapisan minyak.

Hasil uji laboratorium dan analisis sampel air laut dan tarball dari Laut Timor mengandung minyak dan senyawa aromatik serta karakteristik yang sama dengan sampel minyak mentah (crude oil) dari Montara Wellhead Platform.

 

Exit mobile version